Bagikan:

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Kesehatan sudah masuk tahap sosialisasi ke masyarakat dan pemangku kepentingan. Kabarnya, kata Sekretaris Jenderal Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), drErfen Gustiawan Suwangto, daftar inventaris masalah yang sudah terkumpul akan segera difinalisasi dan diserahkan ke DPR RI pekan ini.

Pembenahan regulasi bidang kesehatan melalui omnibus law diperlukan untuk menghindari tumpang tindih atau disharmonisasi. Juga, sebagai efisiensi dan menghilangkan ego sektoral dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

RUU Kesehatan mencabut 9 Undang-Undang (UU) dan mengubah 4 UU yang ada sebelumnya. UU yang dicabut adalah:

  1. UU nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
  3. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
  4. UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  5. UU nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU nomor 38 tahun 2014 tentang Perawatan
  8. UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan

Adapun UU yang diubah adalah:

  1. UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional
  2. UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Nasional
  3. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  4. UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Ilustrasi – Terdapat 13 aturan perundang-undangan yang terdampak dari RUU Kesehatan, 9 di antaranya dicabut dan lainnya mengalami perubahan. (Antara/Muhammad Adimaja/wsj)

“RUU Kesehatan diharapkan bisa menjadi jawaban akan kesulitan yang dihadapi tenaga kesehatan, di antaranya berkaitan dengan penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) oleh organisasi profesi.,” kata Erfen dalam Forum Group Discussion terkait RUU Kesehatan di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah pada 24 Maret lalu.

Itu, menurut Erfen, sesuai dengan instruksi Menteri Kesehatan yang ingin mempermudah para tenaga kesehatan dalam proses perizinan mereka. Alhasil, wewenang organisasi tenaga kesehatan yang ada saat ini harus dibatasi.

“Bila mengacu dari organisasi tenaga kesehatan atau kedokteran di Amerika Serikat, Inggris, Singapura tidak ada yang mengurusi perizinan. Selaiknya ormas, yang mereka urusi hanya mengenai kesejahteraan anggotanya, seperti memberikan bantuan hukum, membuat koperasi, bea siswa, dan sebagainya,” kata Erfen.

Berbeda dengan organisasi profesi tenaga kesehatan di Indonesia yang berkuasa dari hulu ke hilir.

“Saya tidak menyalahkan organisasinya karena itu memang ada di dalam UU 2004, kesalahan sudah ada dalam aturan. Terlepas nanti ada oknum-oknum yang selama ini dianggap melakukan power abuse di organisasi itu urusan lain, yang kita cermati itu sistem. Mengubah ini, berarti harus mengubah sistemnya,” imbuh Erfen.

Efektivitas RUU Kesehatan

Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Hukum Kesehatan Sundoyo juga menyambut baik RUU Kesehatan inisiatif DPR dengan metode omnibus law. Ini cukup bagus untuk mengurangi tumpang tindih dalam aturan perundang-undangan.

“Coba kita perhatikan dari 9 UU yang akan dicabut, antara satu dengan yang lain banyak yang tumpang tindih bahkan cenderung kontra. Kedua juga banyak kesamaan,” kata Sundoyo dalam Dialog FMB9 bertajuk ‘Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia: RUU Kesehatan’ pada 3 April lalu.

Contoh beberapa pengaturan dalam tenaga kesehatan mulai dari UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan, dan UU Kebidanan.

“Nah ini, kalau bisa kita simplifikasi, jadikan satu, bahas bersama-sama, ini akan lebih efisien. Sekaligus menghindari multitafsir dalam prakteknya. Karena beda satu kata saja dalam satu rumusan itu tafsirannya bisa bermacam-macam, implementasinya akan berpengaruh juga,” tambahnya.

Intinya, permasalahan kesehatan di Indonesia sangat kompleks membutuhkan solusi menyeluruh. Mulai dari pemenuhan sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas dan infrastruktur, hingga industri farmasi.

Dialog FMB9 bertajuk ‘Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia: RUU Kesehatan’ pada 3 April 2023. (Tangkapan YouTube FMB9ID_IKP)

Ketua Umum PB IDI, Moh. Adib Khumaidi justru mempertanyakan apakah RUU Kesehatan nantinya bisa memperbaiki permasalahan yang ada saat ini. Semisal mengenai pencabutan sejumlah aturan mengenai organisasi profesi.

Konstitusi selama ini telah memberikan wewenang kepada organisasi profesi dalam melakukan pengelolaan termasuk soal etika. Bila ini dihilangkan, bagaimana nasib para tenaga kesehatan dan tenaga medis nantinya. Terlebih, karakter pasien saat ini sudah jauh berbeda, mereka punya kecenderungan tinggi menuntut.

“Apakah kemudian UU ini memberikan sebuah perlindungan hukum terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Kita lihat pasal 282, 326, 327, 328. Di dalam pasal-pasal ini norma yang berkaitan dengan pasal perlindungan hukum hanya norma yang abstrak,” kata Adib dalam kesempatan sama.

Nantinya, ada tiga tuntutan yang bisa terjadi. Pertama, tuntutan dari majelis kehormatan disiplin. Kedua, tuntutan dalam ketentuan perundang-undangan pidana, dan tuntutan hukum yang berkaitan juga dengan masalah perdata.

“Bukan tidak mungkin, konsekuensinya semua dokter, tenaga kesehatan akan melakukan suatu upaya kesehatan berbiaya tinggi. Semua akan diperiksa supaya aman. Sangat kontradiktif dengan kondisi, mohon maaf, jaminan kesehatan nasional yang malah standar pelayanan minimal,” tuturnya.

Itulah mengapa, Adib meminta jangan tergesa-gesa, “Tidak terburu-buru. Mari kita bicarakan dari sisi kepentingan masyarakat, juga kepentingan tenaga-tenaga kesehatan yang melayani kesehatan.”

“Persoalan dasar dalam sistem kesehatan harus dibahas secara komprehensif, mulai dari sistem pembiayaan, pelayanan kesehatan, hingga pendidikan tenaga kesehatan dan tenaga medis,” imbuhnya.