Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 10 tahun yang lalu, 8 April 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik langkah Gubernur DKI Jakarta, Jokowi Widodo (Jokowi). SBY menyebut langkah Jokowi menaikkan upah minimum seharusnya tak diekspolitasi dengan tujuan politis.

Sebelumnya, terpilihnya Jokowi dan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur DKI Jakarta kerap mengundang kritik. Gaya kepemimpinan keduanya dianggap terlalu menarik perhatian. Jokowi, utamanya. Gaya blusukannya sering dianggap sebagai pemimpin yang kurang kerjaan.

Kehadiran Jokowi dan Ahok sebagai pemimpin Jakarta periode 2012-2017 dianggap bak harapan baru. Keduanya digadang-gadang dapat membawa Jakarta dengan ke arah lebih baik. Mereka pun mencoba melanggengkan gebrakan baru.

Cara-cara lama yang membuat jarak antara pemimpin dengan rakyat jauh ditinggalkan. Jokowi-Ahok kemudian mulai mengadopsi gaya baru. Pemimpin Jakarta itu kerap terjun langsung ke masyarakat untuk mencatatkan problema yang ada. Tujuannya supaya Pemerintah DKI Jakarta dapat mengeluarkan sebuah produk kebijakan yang memihak rakyat.

Orang-orang menyebut gaya itu sebagai blusukan. Saban hari Jokowi menjadikan blusukan sebagai ajian. Langkah itu diapresiasi banyak pihak. Namun, tak sedikit yang menyebut blusukan ala Jokowi jauh dari kata efektif.

Aksi blusukan Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. (Antara/M Agung Rajasa)

Sebab, kegiatan blusukan yang dilakukan hampir tiap hari. Padahal, seorang pemimpin harusnya dapat melakukan kegiatan lain yang lebih berguna. Misalnya, segera menggodok aturan yang memihak rakyat. Alih-alih kreatif, banyak yang menyebut gaya blusukan Jokowi sebagai kurang kerjaan. Alias, buang-buang waktu.

“Di sisi lain, blusukan Jokowi juga mengundang banyak kritik pedas dari berbagai lapisan masyarakat. mulai dari politisi, pejabat negara, pengamat, staf khusus Presiden SBY, sampai mantan Gubernur DKI ramai-ramai mengkritik blusukan Jokowi. Blusukan Jokowi dianggap sebagai kekeliruan dalam memerintah Jakarta,” terang Hadi Satyagraha dalam buku Kekeliruan Manajer (2015).

Kegiatan blusukan Jokowi bukan satu-satunya hal yang memancing kritikan. Langkah politik lainnya kerap dianggap kontroversial. Utamanya, kala Jokowi menaikkan upah minimum untuk Jakarta dari Rp 1.529.000 jadi RP 2.200.000. kenaikkan itu dianggap banyak pihak sebagai langkah politis.

Kritikan pun muncul dari orang nomor satu Indonesia, SBY. Ia menyebutkan seharusnya urusan kenaikan upah minimum tak dieksploitasi dengan tujuan politis. Apalagi kenaikan yang dilakukan mencapai 43,87 persen. Harusnya Jokowi dapat berlaku bijak. Ia disarankan lebih merujuk kepada faktor ekonomi, bukan politik.

“Sebagai tanggapan terhadap kenaikan upah minimum provinsi di Jakarta, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono Nampak mengkritik Joko Widodo pada Kongres Nasional Apindo tanggal 8 April 2013, berkomentar bahwa upah minimum seharusnya tidak dieksploitasi untuk tujuan politis dalam hal bahwa upah minimum tersebut dijadikan persoalan populis.”

“Satu hari kemudian, di forum yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, memberi pernyataan yang sama. Keduanya berargumen bahwa penetapan upah minimum harus melibatkan pertimbangan faktor-faktor ekonomi tetapi bukan politik dengan pengertian bahwa politik telah memengaruhi Jokowi,” ungkap Surya Tjandra dalam buku Citizenship in Indonesia: Perjuangan atas Hak, Identitas, dan Partisipasi (2019).