Bagikan:

JAKARTA - Ibnu Sutowo pernah dianggap sebagai biang keladi masalah Pertamina. Kuasa Sutowo campur aduk urusan Pertamina dan pribadi jadi muaranya. Seisi Pertamina pun dituduh korup. Namun, posisi Ibnu Sutowo tak dapat digoyang.

Ia justru mampu melenggang-langgeng bak sosok dermawan dalam bersedekah, tapi dengan uang Pertamina. Sedekah itu membuatnya dikenal royal di kalangan pejabat. Semuanya karena nilai sedekah yang Ibnu Sutowo berikan bejibun. Dari sedekah kegiatan pribadi hingga sifatnya sosial.

Tindak-tanduk Ibnu Sutowo dalam dunia perminyakan Indonesia tiada dua. Ia mampu mengubah bekas konsesi perusahaan Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij yang sudah uzur jadi menguntungkan. Pertamina pun lahir karenanya.

Hasilnya gemilang. Pemerintah Orba ketiban untung. Ibnu Sutowo pun kemudian beride supaya Pertamina berkembang pesat. Ia membawa Pertamina tak melulu mengandalkan pendapatan dari minyak saja. Ia membuat Pertamina mulai melirik bisnis perhotelan, asuransi, hingga biro perjalanan. Kuasa itu mendapat restu Orde Baru (Orba).

Ajian itu nyatanya membuat Pertamina rugi bukan main. Orang-orang menyalahkan Ibnu Sutowo di balik semuanya. Suara paling keras muncul dari jurnalis kawakan, Mochtar Lubis. Pertamina dianggapnya sebagai sarangnya penyimpangan uang negara.

Ibnu Sutowo yang pernah menjabat sebagai Direktur Pertamina (1968-1976). (Perpusnas)

Semuanya karena Ibnu Sutowo dianggap memimpin Pertamina dengan semberono hingga tak adil. Alhasil, Pertamina isinya melulu praktek penyimpangan, dugaan korupsi, hingga pemborosan. Namun, negara tak berani mengganggu eksitensi itu. Kalaupun ada yang berani mengganggu eksistensi Ibnu Sutowo, mereka akan disingkirkan.

“Kepada Saudara Ibnu Sutowo (Direktur Utama Pertamina) bahwa tak seorang juga di antara pegawai-pegawai Pertamina yang telah ditindak itu adalah sumber-sumber informasi tentang Pertamina yang kami siarkan. Pimpinan Pertamina telah bertindak sembrono, tidak adil, tak sportif, sewenang-wenang, dan kalap terhadap puluhan pegawai yang selama ini bekerja baik dan setia.”

“Tindakan sewenang-wenang yang demikian semberononya seharusnya jadi bukti bagi pemerintah (dan Menteri Pertambangan). betapa pimpinan Pertamina yang sekarang amat sangat tidak memenuhi syarat pimpinan dan manajemen perusahaan yang besar seperti Pertamina ini. Juga tindakan itu menunjukkan, betapa pimpinan Pertamina merasa diri amat ditelanjangi dan secara gegabah mencoba menutupi apa yang disangkanya lubang-lubang kebocoran informasi tentang hal-hal yang tidak beres dalam Pertamina,” terang Moctar Lubis dalam buku Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya (1997).

Sedekah Ibnu Sutowo

Kepemimpinan Ibnu Sutowo kerap membawa masalah. Kebiasaannya melanggengkan gaya hidup mewah jadi yang paling utama. Pertamina di bawah kuasanya kerap berlaku boros. Bahkan, untuk merayakan Hari Ulang Tahun Pertamina, Ibnu Sutowo sampai menggelarnya di luar negeri.

Pemborosan itu juga dilanggengkan dengan kebiasaan bersedekah Ibnu Sutowo. Kebiasaan itu dianggapnya adalah sebuah kewajaran. Sebab, ia berasal dari militer. Tentara siap sedia membantu siapa saja, katanya. Ia mampu mengeluarkan sedekah sampai mencapai 500 ribu dolar AS per tahun untuk kepentingannya pribadi.

Sepintas tindakan itu tak menyalahi aturan. Apalagi, jika sedekah yang dikeluarkan dari kantongnya pribadi. Kenyataannya justru sebaliknya. Ia kerap menggunakan uang Pertamina untuk mendukung hasratnya sebagai donatur.

Ia mampu melenggang-langgeng bersedekah dan menyumbang di segala macam yayasan sosial karenanya. Dari pembangunan masjid hingga asrama tentara. Khalayak tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Namun, segenap rakyat berang kala sedekah yang diberikan Ibnu Sutowo tak melulu diarahkan kepada kaum yang membutuhkan. Sebab, ‘sedekah’ yang dilakukan juga menyasar pejabat dan politisi. Alias, mereka yang notabene hidup berkecukupan.

Kantor Pusat Pertamina di Jakarta. (Wikimedia Commons)

Sedekah itu kadang kala berbentuk bingkisan mahal. Perangkat bermain golf yang harganya mahal, misalnya. Gaya hidup itu nyatanya menjadi bumerang bagi Ibnu Sutowo. Ia mendapatkan kecaman dari berbagai macam pihak. Kecaman itu kemudian membuat Orba ambil sikap dengan melengserkan Ibnu Sutowo dari jabatannya. 

“Saya juga bisa dagang di bidang tembakau. Saya putarkan juga uang saya, dengan mendirikan beberapa apotek, pabrik tekstil, kebun karet, dan saham-saham di enam atau tujuh perusahaan waktu itu. Tetapi semua itu tidak ada hubungan dengan Pertamina.”

“Waktu itu saya pun menjadi salah seorang donatur untuk menyumbang segala macam badan. Saya seorang tentara dan saya menolong siapa saja yang bisa saya tolong. Melalui Pertamina waktu itu saya menyumbang berdiri stasiun televisi, masjid, lapangan terbang, hotel-hotel, dan asrama untuk tentara di kota dan di desa,” cerita Ibnu Sutowo sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita (2008).