Bagikan:

JAKARTA - Tiada yang meragukan kuasa Ibnu Sutowo mengembangkan Pertamina. Ia jadi salah satu tokoh yang membuat industri perminyakan Indonesia bergairah. Pun ia mampu menyulap Pertamina jadi mesin duit.

Prestasi itu tak membuat Sutowo berpuas diri. Ia ingin mengembang bisnis Pertamina supaya tak melulu andalkan ‘kolam’ perminyakan. Bisnis perhotelan pun dilakoni Pertamina. Nyatanya, ajian itu jadi senjata makan tuan. Alih-alih untung besar, bisnis perhotelan justru membuat Pertamina kewalahan.

Keinginan belajar yang kuat kerap jadi kunci kesuksesan. Narasi itu diamini oleh Sutowo. Pria kelahiran Yogyakarta, 23 September 1914 itu mulanya tak banyak pengalaman di dunia perminyakan. Semuanya berubah kala pemerintah Orde Lama memberikannya mandat untuk memimpin bekas peruhasaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij.

Ibnu Sutowo yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina era 1968-1976. (Perpusnas)

Perusahaan itu dinasionalisasi jadi PT. Eksplorasi Tambang Sumatra. Keinginan mempelajari seluk-beluk perminyakan muncul. Boleh jadi ia tak begitu paham perminyakan, tapi tidak dengan staf-stafnya. Ia memilih tenaga terlatih dalam dunia perminyakan.

Hasilnya gemilang. Perusahaan tua nan terlantar itu justru mampu mapan. Bahkan, jadi tambang duit Indonesia. Kemampuan Sutowo pun mengundang pujian, dari kepemimpinan Orde Lama hingga Orde Baru (Orba).

Kapasitas itu mendorong Orba menjalankan ide menggabungkan perusahaan perminyakan negara – Permina dan Pertamin-- ke dalam satu wadah. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) pun hadir pada 1968.

Kehadiran Perusahaan Negara (kini: BUMN) itu kian membuat nama Sutowo melambung. Ia dielu-elukan jadi sosok yang membangun Pertamina dari nol hingga besar. Pertamina kerap mendatangkan untung kepada negara. Keuntungan Pertamina itu dapat menambah amunisi negara membangun banyak hal.

“Dengan begitu pada tahun-tahun itu Pertamina melancarkan secara sekaligus proyek-proyek yang telah lama kami rencanakan. Sukses Pertamina sebagai perusahaan nasional mungkin terasa semakin menonjol karena waktu itu banyak perusahaan negara lainnya yang ambruk. Maka orang ramai membicarakannya.”

“Namun, di samping banyak yang kagum melihat pesatnya kemajuan yang dicapai Pertamina, terdapat pula mereka yang memandangnya dengan curiga dan buruk sangka. Dan di belakang kekaguman orang pada Pertamina itu mereka menyebut nama saya. Apa boleh buat. Ada pula yang mengeritik. Tetapi saya tak peduli terhadap suara-suara yang mengeritik,” ungkap Ibnu Sutowo sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita (2008).

Kewalahan Bisnis Hotel

Sutowo kian percaya diri membangun Pertamina. Insting bisnisnya mulai dikedepannya. Sutowo ingin Pertamina dpaat menggarap investasi di segala bidang. Ajian itu supaya Pertaminia tak melulu mengandalkan kolam perminyakan belaka.

Investasi besar-besaran dalam berbagai bidang digalakkan. Pertamina sampai ikut berinvestasi di bidang perhotelan pada 1970-an. Investasi itu dilakukan dengan harapan supaya memperoleh sumber pembiayaan besar dari pasaran modal luar negeri.

Hotel-hotel dengan manajemen Pertamina mulai hadir di seantero negeri dari Pulau Jawa hingga Bali. Banyak di antara hotelnya bermerek Patra, dari Patra Anyer Hotel hingga Patra Bandung Hotel. Bisnis perhotelan itu dianggap mampu mendatangkan keuntungan melimpah.

Nyatanya, jauh panggang dari api. Urusan bisnis perhotelan bukan hal mudah. Kondisi itu sama dengan bisnis lain Pertamina di luar perminyakan yang justru tak membawa keuntungan menjanjikan. Investasi perhotelan justru menambah pundi-pundi utang Pertamina.

Kantor Pusat Pertamina. (Wikimedia Commons)

Kondisi itu berlangsung hingga Sutowo dilengser oleh Soeharto dan Orba pada 1976. Bisnis perhotelan yang digarap Pertamina tak kunjung memperoleh hasil melimpah. Alhasil, penerus Sutowo kemudian terpaksa melepas beberapa hotelnya anak usaha Pertamina, PT. Patra Jasa pada 1989. Fakta itu jadi bukti bahwa keluar dari bisnis inti sama sekali tak mudah.

“Mengurus bisnis minyak memang tak mudah. Mulai dari mencari cekung-cekung deposit, menjaring mitra produksi, hingga memasarkannya. Licin seperti belut Nah, kalau ditambah dengan usaha-usaha lain di luar migas, pasti lebih ruwet. Mungkin karena itulah, setelah Pelita Air Service disapih pada tahun 1985, maka April lalu Pertamina melepas delapan hotelnya kepada PT. Patra Jasa.”

“Melepas bukan berarti menghibahkan ataupun menjual. Jangan salah. Buat Pertamina, melepas artinya menyapih anak perusahaan itu. Sebelumnya Pertamina ikut mengelola, di samping ikut menanggung kerugian. Tapi kini hak dan kewajiban itu sepenuhnya berada di tangan PT. Patra Jasa,” terang Budi Kusumah dan kawan-kawan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Yang Cerah-Cerah, Lincah (1989).