Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 106 tahun yang lalu, 4 Maret 1918, Flu aneh (kemudian dikenal sebagai Flu Spanyol) terdeteksi pertama kali dari seorang juru masak tentara, Albert Githell di Kamp Funston Kansas, Amerika Serikat (AS). Flu itu kemudian menyebar ke seantero dunia karena tentara AS ikut Perang Dunia I.

Sebelumnya, Kamp Funston dikenal luas sebagai kamp latihan yang memfasilitasi puluhan tentara AS. Kala itu seisi kamp disibukkan dengan segala macam skema latihan dalam rangka Perang Dunia I dan flu aneh menyebar.

Banyak orang beranggapan bahwa mereka yang dalam kondisi lemah dapat mudah tertular virus. Sepintas tiada yang salah. Namun, anggapan itu tak sepenuhnya besar. Pandemi tak mengenal urusan fisik, apalagi agama.

Kondisi itu dapat dilihat dari awal mula hadirnya virus Influenza di Amerika Serikat. Mulanya beberapa dokter setempat mendeteksi adanya virus flu aneh pada Januari 1918. Namun, peringatan itu tak indahkan.

Seorang pasien penderita Flu Spanyol sedang dirawat. (Wikimedia Commons)

Kejadian pertama yang dianggap sebagai pintu masuk Flu Spanyol pertama kali muncul dari keluhan seorang juru masak militer, Albert Githell pada 4 Maret 1918. Ia mengeluh memiliki gejala sakit tenggorokan, demam, pilek, hingga sakit kepala. Dokter setempat pun tak mengganggap ada yang aneh. Albert coba dirawat secara intensif. Malang tak dapat ditolak. Nyatanya yang memiliki gejala yang sama dengan Albert terus bermunculan.

Bahkan jumlahnya mencapai 1.000 orang tentara terserang flu aneh di Kamp Funston yang notabene dikenal sebagai pusat latihan 56.222 tentara AS. Flu itu mulai menjangkiti saluran pernapasan. Puluhan orang diketahui meninggal dunia gara-gara virus aneh itu. Akhirnya, hari di mana (4 Maret 1918) Albert tertular flu dikenal dunia sebagai kasus pertama Flu Spanyol.

Masalah muncul. Kehadiran flu coba diabaikan oleh militer AS. Informasinya kala itu berusaha disembunyikan. Sebab, penyebaran informasi terkait adanya wabah penyakit dapat mengurangi semangat tentara AS yang sedang giat dalam menghadapi Perang Dunia I.

“Namun Kamp Funston-lah yang membuat virus tersebut menyebar dengan begitu masif. Hal itu tidak terlepas dari begitu derasnya arus tentara yang keluar-masuk dari kamp tersebut menuju Eropa. Mereka pun berperan sebagai ‘carrier’ aktif dari virus influenza tersebut. Dari Kamp Funston, virus influenza menyebar dengan cepat ke New Jersey, South Carolina, Colorado, dan berbagai wilayah lainnya di Amerika.”

“Pada 18 Maret 1918, sempat muncul laporan bagaimana virus influenza tersebut telah menyerang pos militer Amerika di Kamp Forest dan Greenleaf di Georgia. Memasuki bulan April 1918, kasus penularan di Amerika terus bertambah, dari 50 negara bagian di Amerika, sebanyak 30 di antaranya melaporkan kasus influenza dan pneumonia di wilayahnya,” ungkap Sejarawan Ravando Lie dalam buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919 (2020).

Pemberitaan media massa di Amerika Serikat tentang pandemi Flu Spanyol pada 1918. (Wikimedia Commons)

Sikap abai pemerintah AS terhadap Flu Spanyol harus dibayar mahal. Seisi dunia dipaksa merasakan ganasnya Flu Spanyol yang dapat menular dengan cepat. Semuanya karena mobilitas militer AS yang tinggi dalam Perang Dunia I.

Penyebaran virus influenza kian masif masuk Eropa. Prancis jadi pintu masuknya. Semua itu karena keterlibatan AS sebagai bagian dari Blok Sekutu (Prancis, Inggris, Rusia, dan lain sebagainya) yang melawan Blok Sentral (Jerman, Bulgaria, Turki, dan sebagainya). Gerbang penularan itu membuat seantero Eropa, kemudian dunia kena getahnya tertular Flu Spanyol.

“Virus menyebar seiring dengan pergerakan para tentara ke Prancis, lalu ke Portugal dan Spanyol. Situasi perang membuat wabah yang mulai menyebar aini disensor dari media massa. Hanya Spanyol, negara netral dengan pers terbuka, yang memberitakan pandemi influenza dengan besar-besaran."

"Karena itulah nama Flu Spanyol menempel pada penyakit ini. Meski orang Spanyol sendiri lebih suka menyebutnya Flu Prancis,” ungkap Moyang Kasih Dewi Merdeka dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul 1918-1919: Seperti Rumput Kering yang Tersulut Api (2020).