Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah diminta segera mengambil langkah cepat guna mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di tengah tekanan pandemi virus corona atau COVID-19. Krisis yang terjadi pada 1918 dapat menjadi pelajaran pemerintah dalam mengambil sikap.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, World Trade Organization (WTO) pernah mengeluarkan pernyataan bahwa yang terburuk di tahun 2020 ini adalah volume perdagangan akan turun sampai 32 persen dan konsekuensinya ke depan akan muncul resesi ekonomi.

Bhima menjelaskan, wabah COVID-19 yang terjadi di seluruh negara hanya menjadi pemicu untuk memperdalam resesi ekonomi tersebut. Sebab, sebelumnya ada atau tidak adanya COVID-19, diprediksi memang akan terjadi resesi ekonomi secara global pada tahun 2020.

Keadaan ini, kata Bhima, diperburuk dengan adanya perang dagang harga minyak mentah antara Arab Saudi dengan Rusia. Di mana harga saat ini sudah jauh dari apa yang ditetapkan di APBN 2020 yakni 60 dolar Amerika Serikat per barel.

Menurut Bhima, pandemi virus bukan kali pertama yang dihadapi dunia. Sebelumnya, pada tahun 1918 di Indonesia pernah terjadi flu Spanyol. Di tahun sebelumnya, yakni tahun 1916 juga pernah terjadi wabah pes atau kencing tikus di Semarang dan Malang.

Kejadian di tahun 1918 dan 1916 ini menjadi prakondisi di banyak negara, karena wabah ini juga terjadi secara global. Bhima mengatakan, kondisi tersebut memancing kondisi resesi ekonomi global di tahun 1930. Jadi ada hubungannya dengan resesi besar.

"Persis sama kondisinya pada 1918 dengan 2020. Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu juga terlalu menganggap enteng yang namanya wabah flu Spanyol. Jadi mereka dalam beberapa koran-koran Hindia Belanda itu bilang ini seperti influenza biasa," tuturnya, dalam acara diskusi virtual bertajuk "Mencegah PHK Massal Menyelamatkan Ekonomi Nasional", di Jakarta, Jumat, 17 April.

Menurut Bhima, kejadian pada tahun 1916 dan 1918 yang mengakibatkan resesi ekonomi pada 1930, memang berbeda kasusnya dengan pandemi COVID-19 saat ini. Namun, dari kejadian tersebut pemerintah bisa berkaca bahwa krisis akibat wabah tidak dapat dianggap enteng.

"Pandemi dulu, baru kemudian terjadi krisis ekonomi keuangannya. Jadi kita bisa melihat dari sejarah, kalau pemerintah tidak mampu untuk menangani COVID-19 secara serius, bahkan ada denial, sejarah mengajarkan salah menangani pandemi ongkosnya sangat berat," jelasnya.

UMKM Tak Mampu Jadi Penyanggah Ekonomi Nasional

Dalam kesempatan yang sama, salah satu Pelaku UMKM, Dimas mengatakan, kondisi yang sekarang dialami adalah kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di mana berdasarkan krisis 2008, UMKM adalah jantung perekonomian nasional. Bahkan, UMKM dianggap sektor yang tidak rentan terhadap gejolak perekonomian.

Namun, kata Dimas, kali ini berbeda karena krisis ini bukan berasal dari fiskal maupun moneter, tetapi krisis ini berdasarkan dari pandemi virus COVID-19. Akibat mewabahnya virus ini, pemerintah melakukan pembatasan pertemuan manusia. Sedangkan jantung utama UMKM adalah pertemuan sosial dan interaksi sosial.

"UMKM itu adanya pertemuan antara penjual dan pembeli seperti misalnya di pasar tradisional. Sekalipun UMKM yang saat ini banyak sekali lewat digital yaitu online, tetapi tetap saja saat ini sangat berbeda dengan kondisi krisis masa-masa sebelumnya," jelas Dimas.

Dimas menjelaskan, sektor UMKM seperti catering pun sudah sekarat. Hal ini karena adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ataupun physical distancing.

"Harapan Kami para pelaku UMKM agar pemerintah bisa lebih cepat, lebih antisipatif dalam penanganan pandemi ini. Mungkin sementara singkirkan dipikirkan manuver-manuver politik tetapi kedepankan suara-suara dari ahli epidemilogi maupun dari ahli pandemi. Agar krisis ini dapat cepat berlalu sehingga kami para pelaku UMKM segera recovery," ucapnya.