Gubernur Jenderal Dirk Fock, Si Ahli Sunat Anggaran Kesehatan di Hindia Belanda
Dirk Fock, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Nusantara pada 1921-1926. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kepedulian penjajah Belanda terhadap negeri koloni sangat minim. Tak banyak sektor yang dikembangkan Belanda. Sektor kesehatan, apalagi. Ragam wabah mengobrak-abrik Bumi Khatulistiwa jadi bukti. Dari cacar hingga Flu Spanyol.

Empunya kuasa justru kerap telat merespons. Sikap abai itu kemudian memakan banyak korban jiwa. Masa pemerintahan Gubernur Jenderal Dirk Fock, misalnya. Alih-alih membangun sektor kesehatan, sosok pemimpin Hindia Belanda itu justru bersikap tidak peka dengan menyunat anggaran kesehatan.

Maskapai dagang Belanda, VOC hingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tak pernah serius mengembangkan sektor kesehatan. Semuanya karena Belanda hanya mengarah pada satu tujuan: keuntungan.

Alasan itu membuat urusan kesehatan dan keselamatan rakyat Hindia Belanda (kini: Indonesia) jadi nomor kesekian. Bahkan, konon jumlah fasilitas kesehatan yang ada justru kalah jauh dari banyaknya rumah judi dan pelacuran yang dianggap menguntungkan.

Sikap abainya penjajah Belanda lalu diuji dengan kehadiran ragam wabah penyakit. Dari cacar hingga Flu Spanyol. Angka korban jiwa yang jatuh dari kehadiran wabah itu tak sedikit. Pun kedukaan itu terus berlangsung sepanjang tahun.

Kegagalan Belanda mengembangkan sektor kesehatan sempat diprotes banyak pihak. Apalagi pada saat wabah cacar melanda Nusantara pada 1800-an. Dokter-dokter Eropa dianggap ogah turun ke kampung-kampung.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1921-1926, Dirk Fock dan jajaran anak buahnya. (Wikimedia Commons)

Belanda pun putar otak mereka kemudian tergerak membangun Sekolah Dokter Djawa (kemudian dikenal dengan STOVIA). Tujuannya supaya wabah cacar dapat ditangani oleh banyak tenaga kesehatan terampil dari kaum bumiputra.

Namun, jauh panggang dari api. Jumlah tenaga dan fasilitas kesehatan yang ada tak pernah cukup. Apalagi, banyak di antara tenaga dan fasilitas kesehatan hanya berfokus di kota-kota. Sedang kampung-kampung tak memiliki banyak fasilitas kesehatan.

Belum selesai urusan cacar, bumi Nusantara kemudian diterpa dua masalah sekaligus. Perang Dunia I yang memicu krisis dan kedatangan wabah Flu Spanyol 1918-1919. Langkah menanggulangi Flu Spanyol berjalan asal-asalan tak jauh beda dengan penanggulan krisis.

Boleh jadi pemerintah telah mengeluar banyak uang. namun, uang dikeluarkan justru tak tepat sasaran. Semuanya karena pemerintah bak tukang kelontong yang mengeluarkan uang sedikit-sedikit.

“Pemerintah kolonial Belanda yang mulai menyadari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh penyakit influenza ini, kemudian mulai mendorong tiap-tiap daerah di Indonesia kolonial untuk bergerak menanggulangi bahaya pandemi tersebut. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan mengucurkan sejumlah uang bagi para dokter guna melakukan riset mendalam terkait virus ini.”

“Residen Surabaya, misalnya, mengucurkan sedikit dana yang khusus dialokasikan untuk meneliti virus tersebut. Sementara itu, para pejabat di Batavia melihat permasalahan influenza ini dapat diberantas dengan melakukan pembenahan infrastruktur. Puluhan ribu gulden pun dikucurkan untuk tujuan tersebut, salah satunya untuk proyek pengeringan rawa-rawa dan saluran air,” terang Sejarawan Ravando dalam buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919 (2020).

Sunat Anggaran Kesehatan

Flu Spanyol kemudian menghilang bak ditelah bumi pada era 1920-an. Kepercayaan seisi Hindia Belanda terkait ajian empunya kuasa memperbaiki sektor kesehatan pun meningkat. Kepercayaan itu didasarkan fakta bahwa kala itu pergantian Gubernur Jenderal Hindia Belanda sedang terjadi pada 1921.

Kepemimpinan Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum (1916-1921) digantikan oleh Dirk Fock. Nyatanya, kepemimpinan Dirk Fock tak jauh lebih baik. Ia merasa dirinya membawa beban besar Kerajaan Belanda yang mulai mengharapkan untung dari negeri koloni.

Dirk Fock justru melanggengkan kebijakannya yang terkenal sebagai Politik Penghematan Radikal pada 1922. Politik itu melanggengkan penghematan budget besar-besaran dari sektor yang dianggap penting. Ia kemudian tega menyunat anggaran dari sektor kesehatan.

Keputusan itu memancing amarah segenap rakyat Hindia Belanda. Kaum bumiputra, terutama. Mereka kemudian harus menanggung beban lebih keras di tengah kerentanan mereka terkena wabah penyakit dan meninggal dunia.

Gubernur Jenderal Dirk Fock dalam agendanya menemui rakyat Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Amarah itu muncul karena kesenjangan akses kesehatan antara kaum bumiputra dengan orang Eropa saja sudah mengganggu. belum lagi saat dibatasi. Setelahnya, urusan kesehatan tak pernah jadi persoalan serius pemerintah kolonial sepanjang pemerintahannya.

“Bertambahnya jumlah pengangguran dan makin mahalnya harga beras, memberi kemungkinan timbulnya kegelisahan yang sangat di antara rakyat umum. Kegelisahan rakyat itu makin menjadi, setelah Gubernur Jenderal Fock mengumumkan politik penghematan yang radikal untuk membuat Anggaran Belanja Negara menjadi seimbang.”

“Dengan cara radikal Pemerintah Hindia Belanda melakukan penghematan pada budget Pertanian, Pendidikan dan Kesehatan, dan dengan demikian kepentingan rakyat yang paling vital menjadi terpukul. Selain dari pada itu penduduk (Bumiputra) yang sudah merasakan akibat celaka dari pada konjunktur itu diharuskan memikul beban yang lebih berat lagi. Rakyat (Bumiputra) dibebani bermacam-macam jenis pajak yang jauh melampaui kemampuannya untuk membayar,” tulis S. Kutoyo dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978).