JAKARTA – Sejarah hari ini, 101 tahun yang lalu, 15 Januari 1923, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fork merestui Ernest Douwes Dekker menjadi guru. Hal itu diungkap orang nomor satu di Hindia Belanda dalam suratnya kepada Residen Priangan, S.A. Rietma.
Ernest lebih baik disibukkan dengan bekerja jadi guru, dibanding kembali menghasut kaum bumiputra melawan penjajahan Belanda. Sebelumnya, Ernest adalah sosok menonjol dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ia bak mentor banyak pejuang kemerdekaan Indonesia.
Ernest Douwes Dekker pernah dielu-elukan sebagai tokoh yang berjasa menanamkan kesadaran akan kemerdekaan kepada segenap pejuang kemerdekaan. Bahkan, ia rela menjadikan rumahnya jadi ruang membaca dan berdiskusi mahasiswa Sekolah Dokter Bumiputra, STOVIA.
Andil itu membuatnya menjelma jadi mentor banyak pejuang kemerdekaan. Banyak di antara kaum terpelajar jadi peka terhadap penjajahan Belanda yang menyengsarakan kaum bumiputra. Ernest dan banyak mahasiswa STOVIA pun berteman baik.
Utamanya, kepada Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (kini: Ki Hajar Dewantara). Ketiganya yang dijuluki Tiga Serangkai sepakat untuk membuat wadah perjuangan melawan ketidakadilan Belanda.
Indische Partij (Partai Hindia) pun dibentuk pada 1912. Kendaraan politik itu jadi ruang warga Hindia Belanda (kini: Indonesia) – apapun warna kulitnya—melawan kebijakan merugikan pemerintah kolonial. Surat kabar De Expres lalu dijadikan corong bersuara.
Ragam kritik Ernest terhadap pemerintah dituangkan dalam surat kabar. Hasilnya menggelegar. Belanda menganggap Ernest dan Partai Hindia berbahaya bagi eksistensi penjajahan. Ketiganya pun harus merasakan penjara, kemudian diasingkan ke Belanda pada 1913. Pengasingan itu nyatanya tak membuat mereka jera. Ide-ide kemerdekaan terus ditebarkan di Negeri Kincir Angin.
“Pada awal tahun 1910-an, ketika Ernest mendirikan Partai Hindia, sangat sulit membayangkan orang-orang mengerti rapat raksasa, partai politik, wartawan. Bersama beberapa orang Indo dan China, Ernest mengajarkan hal-hal itu kepada warga Hindia Belanda, tak soal apakah dia seorang Indo, bumiputra, atau China.”
“Dia yang memimpin De Expres. Surat kabar berbahasa Belanda yang diterbitkan di Bandung dan memperlihatkan bagaimana mestinya jurnalisme politik Antipemerintah,” ungkap Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).
Ernest pun pulang ke Hindia Belanda setelah menunaikan hukuman pengasingan pada 1920-an. Ernest tampaknya mulai mengalihkan perjuangannya ke arah mencerdaskan anak bangsa di Bandung, dibanding aktif kembali dalam kegiatan politik.
BACA JUGA:
Kondisi itu membuat Residen Priangan, S.A. Rietma resah. Rietma tak ingin lagi Ernest diberi ruang untuk memengaruhi kaum bumiputra melawan Belanda. Rietma pun berinsiatif menceritakan narasi itu kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fork supaya mengetujui langkhanya.
Jawaban yang diharap Rietme justru sebaliknya. Dirk Fork dalam suratnya justru mengungkap ia merestui keinginan Ernest jadi guru yang kemudian membangun sekolah Ksatrian Instituut. Surat bertanggal 15 Januari 1923 pun menyebutkan upaya memberikan ruang Ernest jadi guru justru dianggap suatu siasat untuk membuatnya sibuk.
Sebuah siasat supaya Ernest tak lagi menghasut rakyat untuk merdeka. Nyatanya anggapan Dirk Fork justru meleset. Ksatrian Instituut jadi alat baru dalam perjuangan Ernest. Soekarno bahkan pernah direkrutnya jadi guru supaya mencerdaskan kaum bumiputra.
“Maksudnya itu diberitahukan kepada Residen Priangan, yang dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal memberitahukan serta meminta pertimbangan kepada pemerintah kolonial itu. Antara lain disebutkan keberatan residen, karena suami Ny. Mayer (sosok yang mengajak Ernest jadi guru) tercatat sebagai orang komunis.”
“Namun, Gubernur Jenderal berpendapat, lebih baik kepada orang-orang yang sedang gelisah seperti Douwes Dekker diberi kesempatan. Ernest harus berikan kesempatan kerja tetap bagi penghidupannya daripada ia, karena dihalangi kesempatannya, akan lebih condong untuk rakyat,” terang Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V (2008).