Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 75 tahun yang lalu, 4 Januari 1947, Ernest Douwes Dekker berkunjung ke Istana Kenegaraan, Gedung Agung, Yogyakarta. Kedatangannya disambut haru oleh tokoh bangsa lainnya. Dari Soekarno hingga Ki Hajar Dewantara.

Sebagai apresiasi atas sumbangsih besarnya, Bung Karno memberikan nama baru untuk Ernest: Danudirdja Setiabudi. Sebelumnya, Ernest dikenal sebagai mentor dan inspirator politik pejuang kemerdekaan Indonesia. Soekarno dan Tjokroaminoto, terutama.

Boleh jadi Ernest tumbuh dan besar sebagai seorang Indo. Namun, jiwanya, jika ditelanjangi tak dapat lepas dalam nyala api perjuangan kaum bumiputra melepaskan belenggu penjajahan. Ia mampu mengilhami segenap mahasiswa Sekolah Dokter Bumiputra, STOVIA untuk berani berjuang melawan ketidakadilan Belanda.

Dalam pada itu, Ernest kemudian berteman baik dengan mahasiswa STOVIA. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara), namanya. Ketiganya kemudian abadi dikenal sebagai Tiga Serangkai.

Ketiganya mendirikan kendaraan politik yang paling kesohor: Indische Partij (Partai Hindia). Partai yang didirikan pada 1912 itu jadi ruang warga Hindia Belanda (kini: Indonesia) –tanpa pandang bulu-- untuk melawan kebijakan merugikan penjajah.

Tiga Serangkai,  duduk: Tjipto Mangoenkoesoemo, Ernest Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat (kini: Ki Hajar Dewantara)

Ernest berani pasang badan untuk itu. Sekalipun Partai Hindia kerap dicap sebagai partainya kaum radikal. Namun, kaum bumiputra memandangnya lain. Kehadiran Partai Hindia justru mampu menginspirasi perjuangan kemerdekaan. Sebab, Partai Hindia jadi partai pertama menanamkan nasionalisme Indonesia.

“Pada awal tahun 1910-an, ketika Ernest mendirikan Partai Hindia, sangat sulit membayangkan orang-orang mengerti rapat raksasa, partai politik, wartawan. Bersama beberapa orang Indo dan China, Ernest mengajarkan hal-hal itu kepada warga Hindia Belanda, tak soal apakah dia seorang Indo, bumiputra, atau China.”

“Dia yang memimpin De Expres. Surat kabar berbahasa Belanda yang diterbitkan di Bandung dan memperlihatkan bagaimana mestinya jurnalisme politik Antipemerintah,” ungkap Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Pengaruh Ernest bagi pejuang kemerdekaan Indonesia begitu besar. Nama kesohor seperti Soekarno dan Haji Omar Said (H.O.S) Tjokroaminito menjadikan Ernest sebagai inspirasi. Apalagi Ernest berani ‘mewakafkan’ seluruh hidupnya di jalur perjuangan.

Ia justru memilih penjara dan pengasingan daripada mendekat dengan Belanda. Ia pun diasingkan keluar negeri dua kali: ke Belanda dan Suriname. Pengasingan itu buat Ernest tak sempat menyaksikan langsung proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Ia baru pulang ketika Indonesia telah memasuki masa revolusi. Ia ingin bersua langsung dengan rekan seperjuangannya di Yogyakarta pada 4 Januari 1947. Pertemuan Ernest dan pejuang kemerdekaan lainnya berlangsung penuh haru di Gedung Agung, Yogyakarta.

Soekarno saat menerima Ernest Douwes Dekker dan istrinya, Johanna di Yogyakarta pada 1947. (KITLV)

Bung Karno pun tak lupa memberikan nama baru kepada Ernest sebagai bentuk apresiasi. Nama itu Danudirdja Setiabudhi. Kemudian, ia diangkat sebagai Menteri Negara dan juga penasihat Bung Karno.

“Setiba di Tanjung Priok, ia melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, dan langsung menemui Bung Karno di Istana Negara pada 4 Januari 1947. Di Istana saat itu, hadir sejumlah tokoh yang menantinya: Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, Radjiman Wediodiningrat, dan Arudji Kartawinata. Soekarno menyambut kedatangannya dengan pelukan erat dan sapaan hangat: Selamat datang, Nest.”

“Ernest menjawab dengan berseloroh: Saya gembira bahwa pada hari tua saya dapat kembali di antara saudara-saudara untuk menawarkan jasa saya kepada Republik, kendati sebagai prajurit biasa. Sebab, saya adalah seorang penembak jitu. Bung Karno lantas memberinya nama Danudirdja Setiabudi. Danudirdja berarti banteng yang kuat, sementara Setiabudi berarti jiwa kuat yang setia,” terang Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014).