Bagikan:

JAKARTA - Tiada yang meragukan Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru didukung penuh oleh militer. Mereka jadi penjaga kekuasaan. Narasi itu didukung penuh dengan munculnya Dwifungsi ABRI. Anggota ABRI bisa masuk ke jabatan sipil. Sekalipun tak punya keterampilan mempuni dalam bidang tertentu.

ABRI seraya dijadikan senjata pemerintah memukul mundur lawan politik Orba. Rakyat jadi berang bukan main. Mereka menuntut dihapusnya Dwifungsi ABRI dan militer segera kembali ke barak.

Presiden Soeharto mencoba membawa aroma militeristik dalam kuasanya sebagai orang nomor satu Indonesia. Ia mampu merangkul sebagai besar jenderal ABRI (kini: TNI). Mereka mendukung penuh segala macam kebijakan yang didengungkan pemerintah Orba.

Militer pun bersanding dengan Golongan Karya (Golkar) jadi alat politik yang ampuh Orba. Narasi itu membuat Soeharto tak melupakan jasa-jasa ABRI. Ia kemudian setuju dengan ide tokoh militer Indonesia, A.H. Nasution yang ingin anggota ABRI masuk politik jalan tengah pada 1969.

Presiden Soeharto mencoba senapan serbu laras panjang yang digunakan ABRI. (Kompas/JB Suratno)

Jalan tengah yang dimaksud supaya ABRI bisa menduduki jabatan militer sekaligus jabatan sipil. Orang-orang kemudian mengenalnya dengan nama Dwifungsi ABRI. Barang siapa anggota yang mendukung penuh Soeharto dan Orba, mereka akan dapat jabatan sipil mempuni.

ABRI lalu masuk ke dalam sistem pemerintahan Indonesia. Mereka yang ketiban untung muncul dari level jenderal hingga kopral. Mereka dapat meraih jabatan sipil apa saja, dari level tinggi hingga kelas kecamatan. Mereka dapat jadi menteri. Mereka memungkinkan juga jadi camat.

Semuanya bisa diatur oleh pemerintah Orba. Bahkan, militer bisa jadi wakil rakyat -- DPR dan MPR. Kondisi itu membuat segala macam letupan perlawanan rakyat bisa dengan mudah dipadamkan. Belum lagi urusan anggota ABRI digunakan sebagai alat menjaga investasi.

Mereka datang menjaga supaya investasi dapat berjalan lancar. Rakyat yang tak setuju akan digebuk. Kadang pula dilabeli sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) jika menolak keinginan pemerintah.

“Dwifungsi ABRI tentu saja bukanlah suatu hal yang dapat dianggap remeh. Pemberian izin kepada individu anggota militer untuk masuk ke ranah politik dan ekonomi mempersempit kesempatan dan hak masyarakat sipil untuk berperan dalam pembangunan negara.”

“Besarnya ruang gerak anggota militer juga memperkuat gaya pemerintahan militeristik yang dijalankan Soeharto. Penerapan Dwifungsi ABRI memiliki imbas jangka panjang,” ungkap Dhianita Kusuma Pertiwi dalam buku Mengenal Orde Baru (2021).

Akhir Cerita Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI mulai dirasakan bawa banyak mudarat, ketimbang manfaat. Anggota ABRI yang menduduki jabatan sipil strategis tak semuanya memiliki kemampuan mempuni. Kondisi itu kian memperburuk pelenyelenggaraan negara.

Kehadiran ABRI hanya dianggap baik hanya bagi penguasa saja. Namun, tidak bagi rakyat. Apalagi angka korupsi meningkat. Unek-unek terkait represifnya ABRI pun muncul di mana-mana. Segenap rakyat Indonesia mulai geram.

 Mereka pun menumpahkan kekesalannya terhadap Dwifungsi ABRI. Gelora keinginannya hapuskan Dwifungsi ABRI dibawa dalam tiap aksi demonstrasi menentang Orba pada 1998. Aksi itu membawakan hasil. Belakangan Soeharto dan Orba runtuh.

Era Reformasi pun bersinar. Tuntutan penting hapuskan Dwifungsi ABRI terus menggelora. Namun, penghapusan itu tak mudah. Keinginan itu sempat hadir dalam pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie tapi tak bisa dituntaskan. Habibie terlampau sibuk memperbaiki ekonomi Indonesia.

Keinginan hapuskan Dwifungsi ABRI baru terealisasi kala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) jadi Presiden Indonesia. Gus Dur beranggapan Orba terlalu menyederhanakan arti dwifungsi. Orba dianggap cuma membayangkan anggota ABRI pasti serba bisa jika menjabat jabatan sipil, tapi kenyataannya tidak.

Gelora aksi menentang Orde Baru yang membuat Soeharto lengser. (Wikimedia Commons)

Alhasil, Gus Dur mengambil keputusan sepakat menghapus Dwifungsi ABRI pada 2000. Penghapusan itu dilakukan secara perlahan-lahan. Gus Dur menganggap anggota militer tak harus masuk militer. Pemerintah pun punya tugas untuk segera menyejahterakan anggota militer supaya tak mencari pekerjaan di luar barak.

Bagi anggota militer yang ingin masuk dan menduduki jabatan sipil tak lantas dihapus. Kesempatan itu terbuka lebar, asalkan anggota militer itu mau keluar atau pensiun dari dunia militer. Sisanya, mereka dapat merintis karier baru sebagai pejabat pemerintahan.  

“Untuk menunggu matangnya waktu menghentikan fungsi operasional pemerintahannya-- ABRI, sebaiknya harus dilakukan hal utama. Pertama, harus ditingkatkan kesejahteraan para pensiunan kita sehingga memungkinkan mereka mencapai taraf hidup yang layak. Kedua, mematangkan konsep masa persiapan pensiun (MPP) sedemikian rupa.”

“Proses itu dilakukan hingga MPP jadi tempat untuk mematangkan diri bagi calon pensiunan, guna mencapai jabatan-jabatan baru dalam masyarakat sipil sekeluar mereka dari dinas ketentaraan. Katakanlah semacam ROTC (Reserve Officers Training Course) di Amerika Serikat yang menghasilkan orang-orang seperti Richard Nixon dan Bill Clinton,” ujar Gus Dur dalam tulisanya di Harian Kompas berjudul Dwifungsi ABRI: Prinsip dan Cara (1998).