Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 33 tahun yang lalu, 11 September 1990, Mantan Wakil Panglima ABRI dan Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Soemitro Sastrodihardjo mengkritik Orde Baru (Orba) yang banyak menerjunkan ABRI ke politik praktis.

Hal itu diungkapnya dalam sebuah wawancara. Sebelumnya, ABRI jadi rumusan penting dari langgengkan kuasa Orba. ABRI bak satpam penguasa. Orba pun menempatkan militer duduki jabatan sipil. Kuasa itu kemudian dikenal sebagai Dwifungsi ABRI (kuasa militer dan pengatur negara).

Urusan antikritik dan otoriter, Soeharto dan Orba jagonya. Kepatuhan militer ada di baliknya. Semuanya karena militer adalah domain Soeharto. Petinggi militer pro Orba 'dibentuknya' bak satpam penguasa. Barang siapa yang melanggengkan perlawanan terhadap Orba akan ditindak.

Ajian itu dianggap berhasil meredam berbagai macam konflik. Dari konflik perebutan lahan hingga demonstrasi. Kepatuhan itu nyatanya tak gratis. Orba kemudian bak memiliki tanggung jawab moral mengangkat derajat petinggi ABRI sebagai pengatur negara.

Sebagai bentuk terima kasih, Soeharto mengizinkan petinggi ABRI mengisi ragam jabatan strategis di pemerintahan yang notabene bukan ranah militer. Semenjak itu Dwifungsi ABRi bergulir dan langgeng dalam waktu yang lama.

Petinggi militer pro Soeharto kebagian jatah kuasa di legislatif dan yudikatif. Legitimasi Soeharto dan Orba menjalankan Dwifungsi ABRI pun membuat banyak purnawirawan ABRI mengisi daftar sebagai duta besar Indonesia di luar negeri.

Jenderal Soemitro berpidato di depan massa demonstran dalam peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, kerusuhan yang membuatnya dicopot dari jabatan tersebut. (Istimewa)

Orba pun senang, petinggi ABRI pro Soeharto juga demikian. Namun, tidak dengan rakyat. Dwifungsi ABRI dinilai banyak mudarat, ketimbang manfaat. Kehadiran militer dianggap sebagai ‘pelumas’ menjamurnya korupsi dan kesewenangan di tubuh ABRI. Keinginan supaya Orba mengurangi militer di ranah politik praktis pun mengemuka.

“Dalam kaitan ini, jasa ABRI dalam mempertahankan republik proklamasi maupun penumpasan Gerakan 30 September (G30S) hanya melekat pada generasinya masing-masing, dan tak bisa ‘diwarisi’ oleh generasi baru ABRI sesudahnya. Di sisi lain, kecenderungan ABRI menjadi satpam kekuasaan selama Orde Baru tentu saja ikut pula menggugurkan klaim tentara sebagai pengawal Pancasila, keutuhan bangsa, persatuan-kesatuan, stabilitas nasional, dan seterusnya.”

“Karena itu, krisis legitimasi mestinya menjadi momentum bagi ABRI untuk berkaca, ke mana sesungguhnya arah politik tentara di masa depan. Sekadar menjadi satpam kekuasaan seperti berlaku dan dipraktekkan selama ini, atau sungguh-sungguh hendak ikut memberi warna bagi terbentuknya suatu Indonesia baru yang lebih beradab, berperikemanusiaan, adil, dan demokratis,” terang Syamsuddin Haris dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Ketika Sejarah Menggugat ABRI (1998).

Narasi kritik terhadap kurang efektifnya ABRI sebagai pengatur negara menggelegar. Bahkan, kritik tak hanya muncul dari kalangan aktivis dan mahasiswa saja. Kritik pun muncul dari tubuh ABRI sendiri. Jenderal (Purn.) Soemitro, misalnya.

Mantan Wakil Panglima ABRI dan Pangkopkamtib itu justru berani melempar kritik kepada Orba terkait eksistensi ABRI di ranah pemerintahan. Ia tak melihat Dwifungsi ABRI berjalan efektif. Baginya, keterlibatan ABRI dalam politik praktis amburadul.

Ia pun menyarankan pemerintah supaya bertahap-tahap mengurangi keterlibatan ABRI dalam politik praktis. Semuanya itu demi terciptanya stabilitas nasional dan kondisi kembali normal. Saran itu diungkapnya dalam wawancara bersama Mantan Menteri Pendidikan dan Kebuduyaan era 1983-1985, Nugroho Notosusanto pada 11 September 1990.

“Di antara para purnawirawan, sebagai pengkritik adalah Jenderal (Purn.) Soemitro. Ia mengimbau pimpinan ABRI mengenai pentingnya integrasi ABRI-rakyat. Integrasi tersebut hendaknya dikuti dengan program normalisasi dengan pengurangan secara bertahap keterlibatan ABRI dalam kehidupan politik praktis.”

“Ia ingin pemerintah menegakkan disiplin politik dalam tubuh ABRI sendiri. Soemitro melihat bahwa keterlibatan ABRI di dalam politik praktis sebagai kondisi yang tidak normal (darurat) dan menetapkan ABRI sebagai pemain tunggal,” terang Soemitro dalam wawancaranya dikutip Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (2008).