Bagikan:

JAKARTA - Gerakan 30 September (G30S) berpengaruh besar bagi perjalanan karier Presiden Soeharto. Inisiatifnya mengisi kekosongan kepemimpinan militer di Angkatan Darat (AD) jadi muaranya. Ia menjabat Komandan Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Petinggi dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditumpasnya. Peranan itu membuatnya jadi orang nomor satu Indonesia. Militer patuh di bawahnya. Teror dimainkan. Ajiannya berhasil. Kepemimpinannya pun bertahap hingga 32 tahun.

Peritiwa G30S membawa kepanikan di seluruh penjuru Jakarta. Penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal TNI AD oleh pasukan militer jadi musabab. Isu militer menguasai kota muncul dari mulut ke mulut. Sekolah dan perkantoran diliburkan.

Informasi itu sampai kepada Soeharto. Penculikan dan pembunuhan jenderal TNI AD dirasanya cukup personal. Ia tak dapat memendam lama-lama kesedihan. Ia segera berinsiatif mengambil alih kekosongan kepemimpinan di tubuh AD.  

Eksistensinya pun diumumkan kepada publik melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1 Oktober 1965. Aksinya itu sempat tak disetujui oleh Bung Karno. Namun, keadaan telah berubah genting dan Bung Karno mengalah.

Presiden Soeharto menerima para peserta Rapim ABRI yang dipimpin oleh Menhankam/Pangab Jenderal TNI Maraden Panggabean di Istana Negara Jakarta 24 Februari 1978 (Perpusnas)

Soeharto pun diangkat sebagai Pangkopkamtib pada 3 Oktober 1965. Kekuasaan itu dimanfaatkan Soeharto untuk melakukan serangan balik. PKI diyakininya sebagai dalang utama G30S. Pimpinan hingga simpatisannya pun diburu oleh Soeharto.

Tindakan Soeharto lalu diapresiasi khalayak luas. Banyak di antaranya menyebut Soeharto bak pahlawan. Apalagi sebagian besar mahasiswa. Kaum terpelajar melihat Soeharto laksana pemimpin masa depan yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia dengan baik. Restu itu nyatanya terjawab.  Soeharto mampu melanggang-langgeng menggantikan Soekarno sebagai orang nomor satu Indonesia.

 “Dengan jabatan dan kewenangan barunya, Soeharto sebagai Pangkopkamtib kemudian gencar melakukan serangan balik kepada PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dianggap sebagai dalang persitiwa G30S. Kemarahan publik atas peristiwa G30S digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan berbagai upaya pembersihan unsur PKI baik yang berada di struktur pemerintahan maupun daerah.”

“Namun serangan balik ini tidaklah apolitis. Pengaruh PKI terhadap birokrasi pemerintahan sejak awal 1960an dapat dikatakan cukup kuat. Bahkan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI)/Menteri Luar Negeri yang merupakan salah satu lingkaran terdekat Soekarno, juga dipandang memiliki kedekatan khusus dengan kelompok ini. BPI sebagai mata dan telinga (baca: intelijen) Presiden Soekarno pun tidak lepas dari sasaran pembersihan ini,” ungkap Sarah Nuraini Siregar dalam buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto (2022).

Kekuatan Militer

Soeharto adalah figur yang sempat dielu-elukan oleh mahasiswa. Namun, ketika menjabat jauh panggang dari api. Soeharto dan Orde baru (Orba) muncul sebagai pemimpin yang antikritik dan otoriter. Mereka yang berseberangan akan segera ditindak. Teror jadi kekuatan utamanya.

Semua itu bukan rahasia umum. Militer adalah domainnya. Tiap ada letupan perlawanan terhadap Orba, Presiden Soeharto berhasil memadamkannya. Kepatuhan militer adalah kekuatan utama Orba. Apalagi, di zaman Presiden Soeharto petinggi militer setia membela kekuasaan dalam segala macam konflik. Dari konflik perebutan lahan hingga demonstrasi.

Ajian mememanfaatkan kekuatan militer itu berhasil. Kekuatan militer yang besar itu mampu menutup karakter Presiden Soeharto yang karismanya jauh di bawah Bung Karno. Namun berkat adanya militer, khususnya AD, Soeharto mampu menjelma sebagai salah satu presiden yang menjabat paling lama di dunia: 32 tahun.

Presiden Soeharto tak lupa berterima kasih pula kepada jenderal-jenderal TNI yang kerap mendukungnya. Ia pun menjadi sosok yang mampu menerapkan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan sebaik-baiknya.

Presiden Soeharto bersama Panglima TNI Jenderal M. Yusuf dan para Kepala Staf Angkatan saat HUT ABRI 5 Oktober 1981. (YouTube)

Petinggi militer pro Presiden Soeharto banyak mengisi jabatan strategis di pemerintahan. Dari kekuasaan legislatif hingga yudikatif. Bahkan, beberapa di antaranya banyak diangkat menjadi duta besar yang menjadi refresentasi Indonesia di mata dunia.

“Di dalam Dwifungsi ABRI yang diterapkan Soeharto, ada unsur militerisme dan militerisasi. Dengan militerisme, orang-orang militer, tepatnya angkatan bersenjata, harus ikut serta di dalam menentukan politik jalannya negara. sedang militerisasi adalah menempatkan personel-personel angkatan bersenjata di berbagai tempat.”

“Baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun di luarnya, yaitu kekuasaan legislatif dan yudikatif, bahkan di sektor-sektor bisnis yang strategis dan penting bagi negara. Para jenderal yang setia kepada Soeharto selalu memeroleh posisi-posisi strategis itu dan erbagai fasilitas. Dari situ pulalah muncul berbagai sumber korupsi dan kesewenang-wenangan di tubuh ABRI,” terang Sri Bintang Pamungkas dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara (2014).