JAKARTA – Sejarah hari ini, 25 tahun yang lalu, 14 Maret 1998, Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie diangkat secara resmi sebagai Wakil Presiden Indonesia mendampingi Soeharto. Pengangkatan itu dilakukan bertepatan dengan Presiden Soeharto mengumumkan komposisi Kabinet Pembangunan VII.
Suatu kabinet yang dielu-elukan sebagai jalan keluar dari resesi ekonomi. Sebelumnya, resesi ekonomi 1997-1998 adalah periode yang terberat dalam sejarah bangsa Indonesia. ekonomi Indonesia morat-marit.
Eksistensi pemerintahan Orde Baru langgeng bukan main. Ada soeharto dan militer di baliknya. Pun tiada yang mampu menggoyang pemerintahan Orba. Sekalipun dalam dinamika politik yang paling sulit. Barang siapa yang menentang, Orba akan siap menghadangnya.
Jikalau mahasiswa akan dihukum penjara. Sedang jika media massa akan diberedel. Hukuman itu sejatinya akan berhenti ketika mereka mau hidup selaras dengan kepentingan Orba. Namun, tak sedikit yang memilih untuk bertahan di jalur pesakitan.
Superioritas itulah yang membuat Orba lupa diri. Boleh jadi Orba lihai memukul mundur lawan politik, tapi tidak dengan resesi ekonomi. Orba kewalahan ketika resesi 1997-1998 menghadang. Nilai rupiah yang terjun pada titik terendah mampu membungkam kekutan Orba.
Rakyat jadi korban dan kehidupan mereka serba sulit. Kondisi itu diperparah oleh elite politik yang tak peka. Mereka terus hidup bermewah-mewahan. Kecemburuan sosial meningkat. Akibatnya, mahasiswa pun bergerak turun ke jalan.
Mereka menuntut Soeharto segera bertanggung jawab. The Smiling General diminta untuk mengundurkan diri. Tekanan itu makin luas. Aksi tak melulu hadir di Jakarta saja, tapi hampir di seluruh kota besar. Tuntutannya sama. Segenap mahasiswa telah muak dengan kepemimpinan Soeharto yang otoriter.
“Tekanan berat yang lain datang dari krisis ekonomi dan penurunan nilai rupiah yang memporakporandakan fundamental ekonomi Indonesia. Banyak orang menilai hal itu bersumber dari krisis kepercayaan. Satu persatu landasan ekonomi yang diproyeksi sebagai cikal bakal sebagai struktur ekonomi yang kuat dan tangguh harus dicabut untuk mengikuti syarat-syarat (rentenir) Dana Moneter Internasional (IMF).”
“Struktur ekonomi ini dibongkar tiba-tiba yang membawa akibat langsung pada segi kehidupan masyarakat luas. Bahan-bahan kebutuhan menjadi melonjak, perusahaan-perusahaan ditutup, dan pengangguran meningkat yang membawa ketegangan masyarakat menjadi mudah dipicu untuk melakukan bentuk-bentuk kerusahaan massa yang disertai penjarahan, pembakaran, dan perusakan,” ungkap Basuki Agus Suparno dalam buku Reformasi & Jatuhnya Soeharto (2012).
Belakangan Soeharto dan Orba tak mau tutup mata dengan protes mahasiswa. Empunya kuasa langsung melanggengkan ragam kebijakan untuk meredam dampak dari resesi. Namun, hasilnya tak maksimal. Resesi justru semakin parah menerjang rakyat Indonesia.
Dalam kondisi terjepit itu, Orba memaksa Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden Indonesia untuk ketujuh kalinya. Ia menggandeng Habibie sebagai wakilnya pada 11 Maret 1998. Perombakan kabinet dilakukannya sebagai ajian. Soeharto menyebutnya sebagai Kabinet Pembangunan VII.
Pelantikan segenap kabinet itu dilakukan pada 14 Maret 1998. Pun Habibie juga ikut dilantik secara resmi sebagai Wakil Presiden (Wapres) Indonesia. Nyatanya, kehadiran Habibie yang digadang-gadang akan mendapatkan simpati rakyat Indoensia tak cukup.
Segenap rakyat Indonesia masih merasa banyak wajah-wajah lama yang menghuni kabinet itu. alhasil, Habibie hanya menjalankan perannya sebagai Wapres dua bulan saja. sebab, pada Mei 1998 Soeharto lengser, dan dirinya diangkat jadi Presiden Indonesia ke-3.
BACA JUGA:
“Menjelang detik-detik akhir kekuasaannya, Soeharto mengumumkan komposisi kabinetnya pada 14 Maret 1998, dan Habibie diangkat sebagai wakil presiden. Setelah Habibie diangkat sebagai wakil presiden, ketua pelaksana Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sementara diserahkan kepada Achmad Tirtosudiro. Meski ICMI sendiri tidak mempermasalahkan pengangkatan Habibie sebagai wakil presiden, bahkan mungkin mendukung.”
“Namun Habibie sendiri mengundang resistensi dari banyak pihak, baik dari kalangan orang-orang Golkar maupun dari kalangan militer yang berlawanan jalan politik dengan Habibie. Di kalangan orang-orang militer dan Golkar Habibie mendapat penentangan keras karena di samping pengaruh ICMI yang semakin kuat dalam birokrasi Orde Baru-yang menjadi kekhawatiran tentara -- ia juga dianggap ambisius dalam imperium industrinya,” terang Ahmad Gaus A. F. dalam buku Api Islam Nurcholish Madjid (2010).