Soeharto Bubarkan PKI dalam Sejarah Hari Ini, 12 Maret 1966
Letjen Soeharto bersama Roeslan Abdulgani (kiri) dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengumumkan penahanan 15 menteri loyalis Soekarno pada 1966. (geheugen.delpher.nl)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 12 Maret 1966, Letnan Jenderal (Letjen) Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembubaran itu dilakukan dalam rangka menjaga ketertiban bangsa dan negara, sebagaimana isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).

Sebelumnya, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 begitu membekas bagi rakyat Indonesia. Kekejaman itu membuat rakyat Indonesia menggelorakan narasi pembubaran PKI. Namun, pembubaran itu urung dilakukan Presiden Soekarno.

Ingatan akan peristiwa G30S tak pernah luput dalam sejarah perjalanan bangsa. Pembantaian sederet jenderal Angkatan Darat (AD) dianggap terlalu keji. Apalagi berita kekejaman pemberontak kepada jenderal AD muncul di mana-mana.

Kegeraman rakyat Indonesia memuncak. Mahasiswa-mahasiswa memilih untuk turun ke jalan. Pun mereka kemudian menggelorakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga. Saban hari aksi itu terus dilakukan pada awal 1966.

Aksi Tritura sampai ke telingga Bung Karno. Ia menganggap aksi mahasiswa sebagai angin lalu. Bung Karno tak sedikit pun ingin membubarkan PKI. Sekalipun kemudian tuntutan rombak kabinet dikabulkan.

Suasana Pemakaman 7 Pahlawan Revolusi Korban G30S PKI pada 1966. (Perpusnas)

Desakan membubarkan PKI kepada Bung Karno terus dilakukan hingga kondisi Indonesia jadi tak kondusif. Kondisi itu membuat Soekarno mengeluarkan Supersemar berdasarkan pertemuan dengan tiga jenderal AD (Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud).

Soekarno meminta Letjen Soeharto untuk menjaga ketertiban belaka. Namun, asumsi itu dimaknai berbeda oleh Soeharto. Ia mengambil segala tindakan yang dianggapnya perlu untuk menjaga keamanan dan kestabilan nasional.

“Pertemuan tiga jenderal AD (Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud) tiba di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966 saya menyambut kedatangan mereka dan mengantarkan ke paviliun tempat Bung Karno dan Ibu Hartini tinggal. Pertemuan tiga jenderal dan Bung Karno inilah yang melahirkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang tersohor itu.”

“Usai pertemuan, Bung Karno menuju Jakarta naik helikopter. Waktu telah menjelang magrib dan tenyata tidak ada kendaraan yang membawa ketiga jenderal itu. saya menawarkan kendaraan saya dan mereka berkenang untuk berdesakan dalam mobil itu. saya antarakan mereka ke Jakarta dalam remang-remang malam yang mulai menyelimuti jalan. Berdasarkan Supersemar yang ditandatangani oleh Bung Karno sendiri itulah jalan hidup Bung Karno berubah dan karier politiknya berakhir,” ungkap ajudan Bung Karno Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Bersama Bung Karno (2010).

Kehadiran Supersemar itu membuat Soeharto tancap gas. Ia bertindak lebih jauh. Ia melihat pangkal masalah dari kekacauan nasional ada pada PKI yang dianggap dalang G30S. Rakyat ingin pembubaran PKI. Soeharto pun turut melanggengkan keinginan rakyat itu.

Ia langsung mengambil tindakan untuk membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Ia juga mengumumkan bahwa PKI adalah organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan Soeharto itu kemudian dikenal sebagai penanda dari lensernya Bung Karno dan ia naik takhta sebagai Presiden Indonesia yang baru.

“Upaya ini semakin ekstensif dilakukan pasca Soeharto mengantongi Supersemar. Pembubaran organisasi PKI secara resmi dilakukan pada tanggal 12 Maret 1966 dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno (melalui Supersemar). Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966.”

“Isi surat keputusan itu adalah Pertama; membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang satu asas dengan PKI, berlindung dan bernaung di bawahnya. Kedua, menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia,” ungkap Sarah Nuraini Siregar dalam buku Intelejen dan Kekuasaan Soeharto (2022).