JAKARTA – Memori hari ini, delapan tahun yang lalu, 13 November 2015, Indonesia divonis bersalah oleh International People Tribunal atau Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda. Indonesia dianggap telah melanggengkan genosida terhadap pemimpin hingga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebelumnya, peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September (G30S) diyakini bak noda sejarah bangsa Indonesia. PKI dianggap dalang dan bersalah dalam G30S. Narasi itu membuat segala hal terkait PKI ditumpas.
Kekejaman G30S 1965 bukan peristiwa yang mudah dilupakan dari ingatan segenap rakyat Indonesia. Penculikan dan pembunuhan sederet jenderal TNI Angkatan Darat (AD) dianggap perbuatan keji. Rakyat pun geram bukan main.
Kekacauan itu segera diambil alih Pangkostrad, Jenderal Soeharto. Ia bergerak cepat mengambil alih kekosongan kekuasaan AD. Hasilnya gemilang. Pemberontakan dapat dipadamkan. Soeharto pun terus bergerak mencari dalang. Pencarian itu mengerucut pada sebuah partai, PKI.
Narasi itu membuat seisi Indonesia ingin PKI segera dibubarkan. Sederet mahasiswa memilih turun ke jalan melanggengkan protesnya. Mereka meminta Presiden Soekarno segera bertindak tegas terhadap partai berlambang palu-arit. Alih-alih peduli, Bung karno justru tak mau ambil tindakan tegas.
Ketidaktegasan Bung Karno jadi senjata makan tuan. Kuasa Bung Karno kian terdesak oleh rakyat. Keputusan cepat harus segera diambilnya. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pun keluar. Surat itu notabene memberikan kuasa penuh kepada Soeharto untuk membereskan keadaan.
Jauh panggang dari api. Soeharto justru bertindak lebih jauh. Ia memilih melanggengkan pembubaran PKI dan upaya pembersihan total kepada simpatisannya pada 1965-1966. Rakyat pun ikut terbakar amarah kepada PKI.
Segenap rakyat ikut melanggengkan pencarian dan pembantaian terhadap pemimpin hingga simpatisan PKI. Pun loyalis Bung Karno dari PKI segera ditindak tegas. Konon, peristiwa pembersihan itu memakan korban jiwa hingga jutaan orang.
“Upaya pembubaran dan 'pembersihan’ PKI yang dilakukan oleh Soeharto tentu tidak terlepas dari para tokoh intelijen yang menyokongnya. Melalui operasi khusus misalnya, dilakukan operasi penggalangan dengan memanfaatkan dukungan massa atas pembubaran PKI.”
“Operasi penggalangan ini dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan kronologi dari mulai dikeluarkannya Supersemar, sampai dengan keluarnya putusan Mahkamah Militer Luar Biasa untuk melakukan penangkapan para tokoh-tokoh PKI. Capaian-capaian ini direspons cukup baik oleh massa dan kalangan militer yang pro dengan Soeharto,” terang Sarah Nuraini Siregar dalam buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto (2022).
Masalah pembantaian PKI jadi hal yang kerap diperbincangkan di tahun-tahun setelahnya. Semuanya karena negara tak memiliki inisiatif untuk membuka masalah itu dengan terang-benderang. Pun label PKI masih sering terdengar untuk memukul mundur para pengkritik dan lawan politik pemerintah.
Nyatanya, masalah itu tak hanya menarik perhatian seisi Indonesia. Dunia pun ikut memperhatikan perkara pembantaian yang dikomandoi pemerintah. Aktivis-aktivis HAM di dunia mulai angkat bicara. Puncaknya, perkara pembantaian itu mendorong Indonesia diadili di Sidang Rakyat Internasional yang berlangsung di Den Haag pada 10-13 November 2015.
Indonesia jadi terdakwa. Sekalipun persidangan itu dilanggengkan secara in absentia karena Indonesia tak hadir. Alhasil, hakim memvonis Indonesia telah melakukan genosida dan perbudakan dalam peristiwa 1965-1966 pada 13 November 2015.
BACA JUGA:
Indonesia tak terlalu peduli dengan putusan itu. Pemerintah era Joko Widodo pun meminta khalayak dunia jangan mengorek-ngorek masa lalu Indonesia.
“Sidang yang dimotori sejumlah aktivis pembela hak asasi manusia itu melibatkan hakim dan jaksa dari berbagai negara, dengan mendudukkan Negara Republik Indonesia sebagai terdakwa. Persidangan dilakukan secara in absentia karena Indonesia tidak hadir. Jaksa mendakwa negara telah melakukan pembunuhan massal dan perbudakan dalam peristiwa 1965 itu.”
“Hasil sidang memang tidak mengikat, tapi penyelenggara berniat membawa hasil tersebut ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB dengan harapan akan keluar Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan begitu, diharapkan muncul desakan komunitas internasional agar Indonesia memenuhi tuntutan dalam putusan