Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 19 September 2017, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau pemerintah untuk membuat menerbitkan buku khusus terkait peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI. Imbauan itu dirasa penting supaya rakyat Indonesia punya panduan resmi memahami G30S.

Sebelumnya, peristiwa G30S adalah periode terkelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal TNI AD berujung petaka besar. Peristiwa itu memancing pembantaian besar-besaran.

Peristiwa G30S pada 1965 kerap membekas diingatan rakyat Indonesia. Peristiwa itu dianggap sebagai upaya makar keji yang dilakukan dengan menculik dan membunuh jenderal-jenderal TNI AD. Imbasnya ke mana-mana.

TNI pun bergerak cepat memutuskan mata rantai pemberontakan dan berhasil. Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai dalangnya. Kondisi itu membuat pemerintah dan rakyat segera menyisir simpatisan PKI.

Pembantaian dan pembunuhan terjadi. Korbannya bejibun. Belakangan pemerintah Indonesia menjadikan paham komunisme sebagai paham terlarang. Pemerintah bahkan dengan sengaja membuat peristwa G30S terus menerus dihadirkan dalam ingatan – utamanya era Orde Baru (Orba).

Rapat pleno Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menentukan ketua umum yang baru. (ANTARA/HO-MUI)

Namun, penelitian terkait peristiwa G30S terus berkembang. Pemerintah tak melupakan untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM yang terjadi setelah G30S PKI. Upaya itu coba dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Pemerintah membentuk tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Komnas HAM, TNI, Kepolisian Indonesia, pakar hukum, dan perwakilan masyarakat untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu terkait G30S/PKI. Pemerintah merasa prihatin atas jatuhnya banyak korban.

Pemerintah ingin supaya keluarga korban mendapatkan keadilan. Pemerintah pun tak ingin perpecahan terus terjadi. Namun, mengungkap kembali pelaku kekerasan dan menyeretnya ke pengadilan bukan hal mudah.

"Dari pendekatan yudisial telah dilakukan pendalaman tentang peristiwa itu. Dari kajian hukum pidana peristiwa itu termasuk dalam katagori the principles clear and present danger. Negara dapat dinyatakan dalam keadaan bahaya dan nyata, maka tindakan yang terkait keamanan nasional merupakan tindakan penyelamatan," kata Menko Polhukam, Wiranto sebagaimana dikutip laman ANTARA, 1 Oktober 2016.

MUI pun angkat bicara. Mereka kemudian meminta pemerintah untuk segera membuat panduan resmi terkait peristiwa G30S/PKI pada 19 September 2017. Panduan resmi itu berbentuk sebuah buku untuk membaca sejarah bangsa yang sebenarnya.

MUI mengakui bahwa peristiwa G30S masih simpang siur. Siapa dalang sebenarnya masih jadi polemik seiring munculnya banyak penelitian sejarah. Kekosongan itu dianggap MUI harus segera ditambal oleh pemerintah dengan mengeluarkan versi resmi dari gerakan pemberontak itu.

Tujuannya supaya masyarakat tak lagi silang pendapat terkait peristiwa G30S. MUI berharap bangsa Indonesia – utamanya yang Islam untuk saling memaafkan semua orang yang terlibat dalam G30S. Semua itu supaya generasi yang akan datang tak lagi terbebani sejarah masa lalu.

"Sehingga tidak ada versi sejarah lain yang dapat menyesatkan masyarakat. Agar sebagai bangsa kita tidak terbebani sejarah masa lampau, dan sebagai bangsa kita dapat terus merajut kembali nilai-nilai kebangsaan dan ke-Indonesiaan dalam semangat persaudaraan, kemanusiaan dan keadilan yang berkeadaban," ungkap Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi sebagaimana dikutip laman vivanews.com, 19 September 2017.