JAKARTA - Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1984) sempat jadi tontonan wajib setiap tanggal 30 September di televisi nasional. Kontroversinya banyak. Dominannya muatan fiksi dibanding fakta jadi musabab. Publik seantero negeri menyadari banyak kesalahan dalam film garapan Arifin C. Noer. Film itu kemudian hilang dari televisi nasional. Penayangan wajibnya dihentikan pada 1998, tak lama setelah Soeharto lengser.
Pengendalian sejarah pada masa Orde Baru (Orba) dilakukan secara masif. Di bawah restu “Prabu” Soeharto, kontrol sejarah menjelma dalam ragam medium, buku sejarah hingga film. Bentuknya kontrolnya beragam. Kadang kala Orba mencoba mereduksi peran Soekarno dan tokoh bangsa lainnya. Kadang pula Orba membesar-besarkan jasa Soeharto.
Contoh paling nyata adalah muslihat Orba mencoba menghilangkan gambar Soekarno dalam sebuah foto mengenai pengibaran bendera saat Proklamasi Kemerdekaan RI. Akan tetapi upaya itu urung karena mendapatkan banyak protes. Sederet upaya lain mulai dilancarkan Orba untuk meninggikan heroisme Soeharto dalam sejarah bangsa.
Negara lalu mulai membiayai banyak penulisan sejarah, antara lain sejarah populer, sejarah militer, sejarah lisan, dan kegiatan lainnya. Orba juga turut melakukan sensor ketat terhadap buku-buku yang beredar. Apalagi buku tersebut banyak mengandung ajaran tokoh bangsa seperti Soekarno.
“Simbol kebesaran ini tak tergoyahkan. Kecanggihan Soeharto dalam merawat citra dan kekuasaan berikut rezimnya sungguh amat piawai. Sejumlah konsep dan kebijakan dibuat. Kita ingat melalui mata pelajaran Sejarah dan Perjuangan atau Pendidikan Moral Pancasila, peran Soeharto sangat menonjol.”
“Nilai-nilai tentangnya tertancap begitu kuat. Soeharto memegang peran kunci dalam seluruh rangkaian perjuangan dari dari mulai Serangan Oemoem 1 Maret di Yogyakarta hingga penumpasan PKI dan antek-anteknya,” ungkap F. X. Baskara Tulus Wardaya dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (2007).
Demi melanggengkan kuasanya, rezim Orba mulai juga melengkapinya dengan serangkaian teror. Soeharto dengan sengaja menjadi pemimpin yang ditakuti. Citra itu terhitung efektif. Soeharto dengan jeli melengkapi kuasanya dengan menciptakan mesin-mesin ketakutan bukan hanya di kalangan pengikutnya, tapi kalangan rakyat Indonesia.
Mesin-mesin itu antara lain mesin teror, mesin represi, dan mesin kekarasan. Tiada yang berani menjelekkan citra Soeharto. kala citra buruk itu datang dari media massa, maka media tersebut akan dibredel. Kala citra buruk muncul dari pejabat, maka karier politiknya akan dihentikan.
“Dalam kehidupan bernegara, pola interaksi dan komunikasi berasal dari satu pintu, yaitu bibir Soeharto. Taruh kata, dalam satu jentikan jari saja, semua masalah yang ada akan terselesaikan dengan sendirinya. Kekuatan inilah yang bak momok dalam 32 tahun ini dan menggulung kengerian sekaligus kemarahan rakyat Indonesia,” tulis Femi Adi Soempeno dalam buku Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru (2008).
Polemik film Pengkhianatan G30S PKI
Demi menguatkan heroisme Soeharto, Orde Baru mulai memanfaatkan medium film. Jalur perfilman dipilih Orba untuk menunjukkan jika Soeharto –sekalipun ditakuti— memiliki andil besar dalam sejarah Bangsa. Kehadiran film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Arifin C. Noer jadi buktinya.
Film itu jadi salah satu film propaganda paling sukses di abad ke-20. Kekuksesan itu adalah karena televisi nasional wajib menayangkan film setiap 30 September. Atau hari ulang tahun kudeta gagal yang digadang-gadang dari kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selain itu, para guru-guru disekolah memiliki peran baru tiap 30 September. Mereka harus mengantar dan menyuruh murid-muridnya untuk pergi ke bioskop setempat dalam rangka menonton film propaganda.
Alhasil, film termahal yang digarap dengan dana Rp800 juta memecahkan banyak rekor. Pemutaran film ini bahkan menembus angka 699.282 penonton pada 1984. Yang mana, rekor itu menjadikannya film terlaris sepanjang sejarah Orba.
“Film ini menciptakan memori kolektif bangsa. Pada tahun 2000, Majalah Tempo menerbitkan sebuah survei atas para siswa di kota-kota terbesar di Indonesia. Secara keseluruhan, 97% responden telah menonton film ini, sebagian besar sudah berkali-kali. Sembilan dari sepuluh orang menjadikan film itu sebagai sumber utama informasi tentang peristiwa 1965,” terang Michael G. Vann dalam buku The Cold War and Asian Cinemas (2019).
Seiring populernya film Pengkhianatan G30S/PKI, fakta-fakta baru kemudian terungkap. Film itu justru memuat banyak fiksi dibanding fakta. Generasi muda tak dapat menolak film berdurasi 271 menit itu diputar setiap tahun di televisi nasional hingga 1998.
“Persoalannya, generasi yang pernah melihat film itu hanya terpapar sejarah tragedi 65 melalui versi tunggal Orde Baru saja. Akibatnya, traumatis di kognitif dan afektif masyarakat tak mudah hilang dan melahirkan pro dan kontra bagi generasi penerus. Sementara generasi yang lahir di era reformasi yang tidak sempat terpapar film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI,’ sejarah akan membingungkan bagi mereka. Yang paling parah, negara bisa melahirkan generasi penerus yang buta sejarah,” ujar Taufan Hariyadi dalam buku Kegialaan Virtual (2021).
Pembangunan citra yang masif itu membuat banyak peristiwa sejarah lainnya di anak tirikan. Semuanya bagian sejarah hanya diciptakan dari dapur Orba, yang sebaik-baiknya untuk melanggengkan Soeharto menguasai Indonesia selama 32 tahun lamanya.
Perubahan baru didapat ketika Soeharto lengser pada 1998. Menteri Penerangan (Menpen) kala itu, Muhammad Yunus mulai jengah dengan pengkultusan tokoh seperti dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Ia berpendapat film itu sudah tak sesuai dengan dinamika Reformasi. Lebih dari itu, pada tanggal 30 September 1998 dan seterusnya TVRI dan televisi nasional lainnya tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI.
“Menurut beberapa kalangan terutama sejarawan pada masa Orde Baru telah terjadi rekayasa sejarah untuk kepentingan penguasa. Setelah Soeharto jatuh tahun 1998, muncul gugatan terhadap penulisan dan pendidikan sejarah 'yang terjadi selama ini. Beberapa peristiwa yang kontroversial seperti lahirnya Pancasila, Serangan Umum 1 Maret 1949, G30S, Supersemar, dan Integrasi Timor Timur dipertanyakan kembali oleh masyarakat.”
“Buku-buku yang dilarang telah dicetak kembali. Biografi dan memoar para korban Orde Baru terbit secara luas. Sejarah lisan dimanfaatkan untuk mengungkap kesaksian dari korban-korban tersebut. Paska tahun 2000 intensitas kajian "pelurusan" sejarah ini semakin meningkat,” tutup M. Faishal Aminuddin dalam buku Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya Bagi Demokratisasi Indonesia (2009).
*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.