JAKARTA - Sarwo Edhie Wibowo marah besar, teman sekaligus pelindungnya jadi korban Gerakan 30 September (G30S). Mendapat mandat dari Soeharto, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) itu kemudian memimpin penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Misi dilakukan penuh dendam. Bahkan Patung Pahlawan di Tugu Tani ia cap PKI dan ingin ditumpasnya.
Soeharto langsung bertindak mengembalikan keadaan tepat sehari setelah G30S dilancarkan. Ia mengambil kendali komando dari meja kerjanya di Kostrad pada 1 Oktober 1965. Soeharto langsung mengisi kekosongan pimpinan di tubuh Angkatan Darat (AD) karena Jenderal Ahmad Yani jadi salah satu korban dari upaya yang disebut-sebut pemberontakan kaum komunis.
Bagi Soeharto, harus ada konsekuensi dari penculikan jenderal-jenderal –kemudian dibunuh— oleh pasukan berseragam resimen Tjakrabirawa. Langkah memberangus seluruh elemen PKI dilakukan. Di mata Soeharto, PKI tak saja biang kerok. PKI dicap Soeharto sebagai tindakan dari manusia tak beragama. Mandat pun diberikan pada Sarwo Edhie untuk membersihkan PKI di pelosok Jawa.
“Surat panggilan Mas Harto kemudian ditanggapi cepat oleh Sarwo Edhie. Sarwo dengan tegap menyatakan siap. Ini merupakan awal kerja sama Soeharto-Sarwo, yang kemudian menjadi duet yang sangat klop selama aksi pemberantasan PKI,” ungkap adik daripada Soeharto, Probosutedjo dalam buku yang ditulis Alberthiene Endah, Saya dan Mas Harto (2013).
Kesempatan itu tak diambil penuh Sarwo Edhie yang telah dendam kesumat pada PKI. Sahabat sekaligus pelindungnya, Jenderal Ahmad Yani kala itu jadi korban. Secara emosional keduanya sama-sama lahir dan besar dari Purworejo. Segenap rakyat Indonesia pun kemudian bersama-sama menumpas segala hal yang berbau PKI.
Pembantaian massal tak terelakkan. Segala hal yang berbau PKI langsung ditumpas, baik itu anggota, simpatisan, atau orang-orang yang dituduh PKI. Pun mereka kaum Soekarnois ikut-ikutan jadi korban. Tim penyidik dari Fact Finding Commision mengungkap korban pembantaian mencapai angka 78 ribu.
Namun, Sarwo Edhie yang terlibat langsung penumpasan menyebut jumlah itu terbilang sedikit. Sebab, dari data-data yang dimilikinya pribadi, korban pembantaian mencapai tiga juta jiwa. "Perkiraan moderat memang menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain antara satu juta sampai dua juta."
"Tetapi Sarwo Edhie, yang berada di lapangan pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun di Bali, suatu ketika pernah menyebut angka tiga juta jiwa. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tidak pernah meralat sama sekali angka jumlah korban yang telah disebutkannya," terang Rum Aly dikutip Julius Pour dalam buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010).
Patung Pahlawan dicap PKI
Dendam kesumat Sarwo Edhie kepada PKI terus berlanjut. Sekalipun pembantaian PKI sudah menjadi lagu lama, kebenciannya terhadap PKI tak pernah padam. Kebencian itu ia ungkap kembali dalam suatu wawancara menjelang Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1983. Bekas komandan RPKAD itu mengimbau agar 'Patung Pahlawan pak tani dan istrinya di Tugu Tani dimuseumkan.
Sarwo Edhie beranggapan patung seorang petani menyandang bedil dengan sangkur terhunus dan pistol itu sebagai penjelmaan PKI. Patung pak tani adalah PKI angkatan kelima. Apalagi, patung tersebut dianggapnya merupakan hadiah dari Uni Soviet yang notabene beraliran komunis.
“Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu. Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan," kata Edhie, dikutip dari laporan Majalah Tempo berjudul Setelah 17 Tahun, Debat Patung (1982) menceritakan bagaimana Sarwo Edhie menolak patung pemberian pemerintah Uni Soviet itu.
“Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia) --organisasi terafiliasi dengan PKI, apa harus kita pasang terus?” tambah Edhie.
Pendapat Sarwo Edhie langsung memancing pro-kontra. Salah satunya yang memiliki pendapat berlawanan adalah Wakil Presiden Indonesia, Adam Malik. Ia menyangsikan hal itu. Adam Malik yang terlibat dalam proses terwujudnya patung memberi gambaran yang sebenarnya.
Kata Adam Malik, patung tersebut justru mengabadikan pejuang kemerdekaan merebut Irian Barat pada 1960-1962. Alias tiada sangkut pautnya dengan tuduhan Sarwo Edhie. Menurut Adam Malik, Patung Pahlawan sudah disiapkan jauh sebelum meletusnya pemberontakan G30S. Artinya, salah besar jika Patung Pahlawan disebut berbau angkatan kelima PKI.
Adam Malik yang kesal bahkan bercerita terkait awal mula ide gagasan Patung Pahlawan. Adam Malik mengisahkan bahwa gagasan itu muncul saat Bung Karno mengunjungi Uni Soviet pada 1960. Bung Karno yang terpukau dengan monumen dan patung yang ada di Uni Soviet langsung meminta Adam Malik –-yang kala itu menjabat sebagai Dubes Di Moskow— untuk mencari pematung kesohor asal Rusia, Matvei Manizer.
Di tangan Manizer Bung Karno hendak menitipkan agenda pembuatan patung perjuangan pembebasan Irian Barat. Adam Malik lalu menceritakan wacana pembuatan pataung kepada Matvei Manizer. Pematung kesohor Rusia itu langsung setuju. Ia lantas mengajak anaknya Otto Manizer membuat Patung Pahlawan.
Dalam proses penciptaan patung, keduanya terinspirasi dari cerita rakyat dari Jawa Barat. Yang mana, cerita itu mengenai cinta kasih seorang ibu yang mengantar anaknya pergi berjuang. Ibu itu lalu memberikan bekal berupa nasi pada anak laki-lakinya.
Alhasil, kedua seniman Rusia membuat patung Pahlawan dalam bentuk pak tani dari bahan perunggu. Patung berwujud pak tani gagah itu diresmikan sendiri oleh bung Karno pada 1963. Segala komentar miring terkait patung, nampaknya akan terbungkam dengan sebuah plakat di dekat patung yang bertuliskan pesan dari Putra Sang Fajar, Bung Karno: Bangsa yang menghargai pahlawannya adalah bangsa yang besar.
“Akan tetapi banyak kritik yang dilontarkan terhadap patung ini. Katanya potongan badan dan raut muka petani dan perempuan berkain kebaya itu lebih mirip orang Kaukasia ketimbang Indonesia. tetapi yah, saya kira memang sengaja dibikin begitu supaya kelihatan gagah,”
Kalau dibuat mirip seperti petani Indonesia, hidungnya pesek dan badannya kerempeng dengan tulang iga menonjol, tentu tidak akan keren, heroik, dan menarik bukan? Lagipula, bukankah umumnya pemain film dan sinetron kita juga dicari yang berwajah Indo atau separuh Kaukasia?” tutup Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.