JAKARTA - "Tuhan", begitu Meryl Streep menggambarkan sosok Harvey Weinstein dalam sebuah lelucon tipis. Weinstein memang begitu besar. Ia salah satu produser film tersukses dalam beberapa dekade terakhir. Tapi apa Weinstein tetap Tuhan saat kasus pelecehan seksualnya terungkap? Tidak. Weinstein dihabisi. Bahkan oleh industri hiburan terbesar dunia, Hollywood.
Tak mungkin memungkiri kebesaran film-film yang diproduseri Weinstein. Ia adalah pendiri Miramax Film. Perusahaan itu ia dirikan bersama adiknya, Bob pada 1979. Sebelum mendirikan Miramax, Weinstein yang lahir di Queens, New York pada 19 Maret 1952 itu mengawali karier sebagai produser musik, selepas lulus dari Universitas Buffalo.
Weinstein memproduseri judul-judul besar, seperti The English Patient (1997), yang merupakan Best Picture pertama yang diraih Weinstein. Kecemerlangan Weinstein terus berlanjut, bahkan selepas Miramax dijual ke Disney pada 1993. Duo Weinstein kemudian keluar dari perusahaan pada tahun 2005.
Kakak-beradik Weinstein itu kemudian melanjutkan bisnis dengan mendirikan Weinstein Company. Film-film Weinstein Company mencatat 300-an nominasi dan 81 trofi Oscar. Apa saja film Weinstein yang meraih Oscar? Dilansir Forbes, ini daftar 81 kemenangan Oscar dalam karier Weinstein:
- 1990: My Left Foot (Best Actor—Daniel Day-Lewis, Best Supporting Actress—Brenda Fricker)
- 1991: Journey of Hope (Best Foreign Language Film)
- 1992: Mediterraneo (Best Foreign Language Film)
- 1993: The Crying Game (Best Original Screenplay—Neil Jordan)
- 1994: The Piano (Best Original Screenplay—Jane Campion, Best Actress—Holly Hunter, Best Supporting Actress—Anna Paquin)
- 1995: Pulp Fiction (Best Original Screenplay—Quentin Tarantino and Roger Avary)
- 1996: Restoration (Best Costume Design—James Acheson, Best Production Design—Eugenio Zanetti); The Postman (Best Original Score—Luis Enríquez Bacalov)
- 1997: The English Patient (Best Picture, Best Supporting Actress—Juliette Binoche, Best Art Direction—Stuart Craig and Stephanie McMillan, Best Cinematography—John Seale, Best Costume Design—Anne Roth, Best Director—Anthony Minghella, Best Film Editing—Walter Murch, Best Original Score—Gabriel Yared, Best Sound —Walter Murch, Mark Berger, David Parker and Christopher Newman), Sling Blade (Best Adapted Screenplay—Billy Bob Thornton), Emma (Best Original Score—Rachel Portman)
- 1998: Good Will Hunting (Best Supporting Actor—Robin Williams, Best Original Screenplay—Ben Affleck and Matt Damon)
- 1999: Shakespeare in Love (Best Picture, Best Actress—Gwyneth Paltrow, Best Supporting Actress—Judi Dench, Best Art Direction—Martin Childs and Jill Quertier, Best Costume Design—Sandy Powell, Best Original Musical or Comedy Score—Stephen Warbeck, Best Original Screenplay—Marc Norman and Tom Stoppard), Life Is Beautiful (Best Actor—Roberto Benigni, Best Foreign Language Film, Best Music, Original Dramatic Score—Nicola Piovani)
- 2000: Cider House Rules (Best Actor in a Supporting Role—Michael Caine, Best Adapted Screenplay—John Irving)
- 2002: Iris (Best Actor in a Supporting Role—Jim Broadbent)
- 2003: Chicago (Best Picture, Best Supporting Actress—Catherine Zeta-Jones, Best Art Direction—John Myhre, Gordon Sim, Best Costume Design—Colleen Atwood, Best Film Editing—Martin Walsh, Best Sound—Michael Minkler, Dominick Tavella and David Lee), The Hours (Best Actress—Nicole Kidman), Frida (Best Makeup—John E. Jackson and Beatrice De Alba, Best Original Score—Elliot Goldenthal)
- 2004: Lord of the Rings: Two Towers (Best Makeup: Peter Owen and Richard Taylor, Best Original Score: Howard Shore), Master and Commander: The Far Side of the World (Best Cinematography—Russell Boyd, Best Sound Editing—Richard King), Cold Mountain (Best Supporting Actress—Renée Zellweger), Finding Neverland
- 2005: The Aviator (Best Supporting Actress—Cate Blanchett, Best Art Direction—Dante Ferretti and Francesca Lo Schiavo, Best Cinematography—Robert Richardson, Best Costume Design—Sandy Powell, Best Film Editing—Thelma Schoonmaker), Finding Neverland (Best Original Score—Jan A. P. Kaczmarek)
- 2009: The Reader (Best Actress—Kate Winslet), Vicky Christina Barcelona (Best Supporting Actress—Penélope Cruz)
- 2010: Inglourious Basterds (Best Supporting Actor—Christoph Waltz)
- 2011: The King's Speech (Best Picture, Best Actor—Colin Firth, Best Director—Tom Hooper, Best Original Screenplay—David Seidler), The Fighter (Best Supporting Actor—Christian Bale, Best Supporting Actress—Melissa Leo)
- 2012: The Artist (Best Picture, Best Director—Michel Hazanavicius, Best Actor—Jean Dujardin, Best Costume Design—Mark Bridges, Best Original Score—Ludovic Bource), The Iron Lady (Best Actress—Meryl Streep, Best Makeup—Mark Coulier and J. Roy Helland), Undefeated (Best Documentary Feature)
- 2013: Django Unchained (Best Original Screenplay—Quentin Tarantino, Best Supporting Actor—Christoph Waltz), Silver Linings Playbook (Best Actress—Jennifer Lawrence)
- 2015: Imitation Game (Best Adapted Screenplay—Graham Moore), CitizenFour (Best Documentary Feature)
- 2016: Hateful Eight (Best Original Score—Ennio Morricone).
Kasus pelecehan seksual Harvey Weinstein
Kasus pelecehan seksual Weinstein ditangani Pengadilan Kota New York. Weinstein dinyatakan bersalah atas kasus pemerkosaan dengan ancaman hukuman penjara maksimum 29 tahun. Putusan itu dijatuhkan pada 24 Februari 2020 silam.
Tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan Weinstein pertama kali dipublikasikan oleh harian New York Times dan majalah New Yorker pada tahun 2017. Sejak itu tuduhan terhadap Weinstein terus menggelinding sebagai bola salju.
Nama aktris besar, seperti Salma Hayek dan Angelina Jolie, serta 90-an orang lain buka suara soal perilaku-perilaku cabul Weinstein selama 40 tahun. Sebelum putusan dijatuhkan, Weinstein sempat menciptakan polemik.
Kala itu ia menolak menyatakan penyesalan dalam wawancaranya di harian New York Post. Weinstein bahkan menyebut dirinya sebagai orang yang berjasa menghapus patriarki dalam industri film lewat pelibatan perempuan dalam posisi-posisi penting, termasuk sutradara.
"Saya membuat lebih banyak film yang disutradarai perempuan dan tentang perempuan daripada produser lain. Dan ini terjadi sekitar 30 tahun lalu," ujarnya, kata Weinstein, dalam wawancara tersebut.
Dua tahun sebelum putusan, tepatnya 25 Mei 2018, pengadilan mendakwa Weinstein dengan kasus pelecehan seksual. Weinstein kala itu menyebut semua hubungan seks yang ia jalani dilakukan atas konsen. Suka sama suka.
Meski begitu, berbulan-bulan setelahnya Weinstein dinyatakan bersalah. Ia terbukti memaksa seorang mantan asistennya bernama Mimi Haley untuk melakukan oral seks. Weinstein juga terbukti memperkosa Jessica Mann pada 2013.
Meski begitu putusan itu meninggalkan perdebatan. Dalam putusan, 12 anggota juri menyatakan Weinstein tak bersalah atas dakwaan yang paling serius, yakni serangan seksual, yang ancaman hukumannya seumur hidup.
Banyak pihak menganggap hukuman 29 tahun terlalu rendah untuk Weinstein. Pada 5 April lalu, Weinstein baru saja mengajukan banding atas kasus hukumnya. Weinstein menyebut hakim James Burke, yang menjatuhkan hukuman padanya banyak membuat kesalahan.
Runtuhnya reputasi Harvey Weinstein
Bagaimanapun, keputusan pengadilan itu meruntuhkan reputasi Weinstein. Gerakan kolektif terjadi di Hollywood, sebagai respons atas perilaku rendah Weinstein. Nama Harvey Weinstein berubah jadi aib seiring keruntuhan reputasinya.
Weinstein, yang juga donor terkemuka untuk Partai Demokrat segera menghilang dari sorotan publik. Weinstein hanya muncul sesekali dalam pemberitaan soal terapinya mengobati kecanduan seks.
Akibat kasus itu keanggotaan Weinstein di Motion Picture Academy of Arts and Sciences dicabut. Ini adalah cacat di wajah badan pemerintahan de facto Hollywood, pihak yang menyelenggarakan Oscar. Weinstein dianggap melanggar preseden 90 tahun organisasi.
Setidaknya 54 anggota dewan gubernur akademi membuat keputusan pada sesi darurat setelah penyelidikan oleh The New York Times dan The New Yorker. Pemungutan suara itu jauh melebihi mayoritas atau dua pertiga suara yang dibutuhkan.
Dikutip The New York Times, akademi memberi pernyataan bahwa organisasi mengambil langkah ini untuk memisahkan diri dari Weinstein, orang yang mereka sebut "tidak pantas dihormati rekan-rekannya."
Organisasi, dalam keterangan itu juga menegaskan ketidaktahuan mereka tentang sisi predator seksual Weinstein. Mereka juga mengirim pesan tentang ketidaktahuan pada isu pelecehan seksual di lapangan industri.
Akademi juga mengatakan akan "bekerja untuk menetapkan standar etika perilaku yang diharapkan akan dicontohkan oleh semua anggota akademi.” Meski sebagian besar simbolis, pendepakan Weinstein di antara 8.400 anggota akademi lain tetap mengejutkan.
Langkah ini sepertinya tak pernah dilakukan oleh akademi. Bahkan ketika sutradara, Roman Polanski, yang juga anggota akademi lain pernah terlibat dalam kasus kejahatan seksual yang melibatkan gadis 13 tahun. Tidak juga dalam kasus penyerangan seksual Bill Cosby.
Scott Feinberg, seorang kolumnis untuk The Hollywood Reporter menyebut ini sebagai "awal dari babak yang sangat sulit bagi akademi. Hal berikutnya yang akan terjadi, benar atau salah, adalah bahwa berbagai konstituen akan menuntut agar akademi menangani anggota bermasalah lainnya dengan cara yang sama.”
Feinberg mengatakan, selain Weinstein, hanya ada satu orang yang dikeluarkan secara permanen dari akademi. Ia adalah Carmine Caridi, seorang aktor. Dan itu bukan tentang pelecehan seksual.
Keanggotaan Caridi dicopot pada 2004 karena melanggar aturan akademi tentang pemungutan suara Oscar. Caridi saat itu ketahuan meminjamkan DVD screener dari film-film yang bersaing di Oscar.
Tak cuma organisasi. Weinstein juga ditendang dari studio film dan televisinya, Weinstein Company. Weinstein Company membantah tuduhan pemerkosaan. Mereka juga menyatakan sikap berlawanan dengan Weinstein.
"Perilakunya menyebabkan banyak rasa sakit," keterangan sikap perusahaan menyebut.
Tumbuhnya cancel culture lewat gerakan #MeToo
Kasus pemerkosaan Harvey Weinstein diyakini jadi awal tumbuhnya cancel culture di Amerika Serikat (AS). Merujuk kamus Merriam-Webster, secara definitif cancel culture adalah gerakan menghentikan dukungan kepada orang-orang tertentu yang melanggar norma sosial dengan memboikot karya mereka.
Memang, gerakan #MeToo telah dimulai jauh sebelum Weinstein. Gerakan ini dimulai oleh aktivis, Tarana Burke. Pada 2006 ia membuat kampanye media sosial dengan tagar #MeToo yang bertujuan menginspirasi banyak perempuan untuk lebih berani mengungkap pelecehan seksual yang ia alami.
Adapun orang yang memantik gerakan #MeToo dalam kasus Weinstein adalah Alyssa Milano, salah satu perempuan yang mengaku dilecehkan Weinstein. Kicauan Milano viral dalam skala global. Diwawancarai Radio 1 Newsbeat, yang dikutip BBC, Tarana menyebut kasus Weinstein sebagai simbol perlawanan atas pelecehan seksual.
"Harvey Weinstein adalah kasus simbolis. Untuk melihat seorang kulit putih kaya raya yang dihukum karena kejahatan pada umumnya selalu mencengangkan," kata Tarana.
"Yang perlu kita bicarakan adalah perempuan, laki-laki, transgender, anak-anak dan orang cacat. Semua orang yang tidak kaya, kulit putih dan terkenal, yang berurusan dengan kekerasan seksual setiap hari. Kita perlu berbicara tentang sistem yang masih ada yang memungkinkan hal itu terjadi."
Tarana memuji apa yang dilakukan Milano. Ia sadar, tanpa seorang aktris Hollywood berkicau tentang #MeToo dalam kasus Weinstein, gerakan yang ia bangun tak akan mendunia. "Bukan hanya media sosial, tetapi siapa yang membawanya ke media sosial, dan bagaimana itu dibawa ke media sosial," Tarana.
"Orang-orang tidak tahu siapa saya, dan orang-orang masih tidak tahu siapa saya. Apa yang Anda lakukan dengan seorang wanita kulit hitam berusia 46 tahun dari Bronx, yang tidak dipoles, yang tidak terlihat seperti seorang wanita kulit hitam di Hollywood."
*Baca Informasi lain soal PELECEHAN SEKSUAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.