Menyensor Film Demi Politik: Sejak Masa Belanda, Jepang, hingga Merdeka
Cuplikan film legendaris "Krisis" (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Perkembangan film di Nusantara telah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Kisah bagaimana Belanda menerapkan sensor jadi salah satu yang paling menarik. Kala itu, Belanda menggalakkan sensor film. Lewat aturan Ordonasi Bioskop tahun 1916, Belanda mengendalikan peredaran film yang masuk ke Hindia-Belanda.

“Gubernur Jenderal dapat menunjuk tempat di Hindia-Belanda bagi pendirian komisi sensor film dan lembaga komisi sensor film. Komisi ini terdiri lima orang anggota, termasuk seorang ketua,” isi peraturan Ordonasi Bioskop 1916.

Dikutip dari M, Sarief Arief dalam buku Politik Film di Hindia-Belanda (2010), kebijakan tersebut sayangnya bernuansa politik. Penerbitan peraturan yang menghadirkan Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Sensor Film hanya untuk menutupi citra negatif orang kulit putih di tanah jajahan.

“Motivasi yang menyebabkan munculnya kebijakan pemerintah pada 1916 ini dikarenakan banyaknya film cerita bisu yang masuk ke Hindia-Belanda. Isi dan gambarnya memperlihatkan perilaku hidup orang barat yang penuh dengan perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan, dan kebebasan seks,” ungkap Sarief.

Tak cuma itu. Cerita dalam film bisu yang penyelesaian masalahnya kerap menggunakan cara main hakim sendiri jadi alasan lainnya. Kompeni takut adegan-adegan dalam film dapat memberi pengaruh buruk, terutama yang dapat menghasut kaum bumiputra untuk memberontak.

Cuplikan salah satu film legendaris Indonesia, Lewat Djam Malam (Sumber: Commons Wikimedia)

Sensor di masa Jepang

Saat Jepang resmi mengambil alih kekuasaan di Hindia-Belanda pada 7 Maret 1942, Pemerintah Pendudukan Militer Angkatan Darat Jepang di Indonesia yang bernama Gunseikanbu langsung membentuk tujuh departemen. Salah satunya disebut Sendenbu, yakni suatu depertamen yang mengurusi perihal propaganda.

Lewat Sendenbu itu film masuk dalam perangkap visi kolonialisme Jepang. Sebagaimana yang diungkap oleh Redi Panuju dalam buku Film Sebagai Proses Kreatif (2019), dalam departemen propaganda tersebut Jepang mendengungkan pesan sebagai saudara tua yang siap sedia memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Namun, ada imbalannya. Indonesia diharuskan mendukung penuh Jepang untuk memenangi perang suci mereka.

Setelahnya Jepang melarang keras peredaran film asal Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang sebelumnya bebas ditonton rakyat Indonesia. Setali dengan itu, Jepang pun memanfaatkan aturan milik kompeni dan mereduksikannya menjadi empat butir.

Pertama, seluruh film yang ada harus merupakan strategi pemerintahan pendudukan untuk mendapatkan hati dan sokongan dari rakyat Indonesia. Kedua, semua percakapan telepon hanya boleh dilakukan dengan menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia. Percakapan dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris dilarang.

Ketiga, film-film yang dibuat harus sesuai dengan kemauan pemerintah. Dan terakhir, seluruh film yang diputar harus menggambarkan hubungan persahabatan antara Jepang dengan masyarakat di asia, menggambarkan semangat nasionalisme, memperlihatkan kehebatan tentara Jepang, hingga menekankan nilai nilai budaya serta moralitas tentara Jepang, seperti berani berkorban, dan mencintai tanah air.

Kebijakan itu membuat Tanah Air dibanjiri film Jepang. Kebanyakan film berbahasa Jepang yang didatangkan kemudian diberi teks bahasa Indonesia. Sampai-sampai, beberapa film bahkan disiapkan secara khusus untuk penduduk Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Bioskop di Kota Batu, Malang (Sumber: Commons Wikimedia)

“Film-film dengan resep propaganda yang dipertunjukkan di Indonesia pada zaman Jepang juga secara artistik baik. Yang pertama dipertunjukan Singapuro Soko Geki atau Penyerangan Umum di Singapura. Ini adalah film dokumenter yang memperlihatkan betapa mudahnya pertahanan Inggris di Malaya dan Singapura dilumpuhkan oleh kehebatan tentara Jepang,” tulis Misbach Yusa Biran dalam buku Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Nasional (2009). 

Biran juga menambahkan film populer lain yang dipertontonkan oleh Jepang untuk masyarakat indonesia. Judulnya Eikoku Kuzururu No Hi atau Saat Inggris Runtuh. Film yang dipertunjukkan pada 1943 ini mengangkat kisah tentang jatuhnya Hong Kong ke tangan Jepang. Uniknya, film itu merupakan gabungan antara film dokumenter dan film cerita.

Sensor di awal kemerdekaan

Setelah Soekarno dan Hatta resmi memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia sebagai negara baru merdeka mau tak mau mengikuti pendahulunya, Belanda dan Jepang dalam mengatur perfilman. Bagi pemerintah Republik Indonesia, film dianggap sebagai alat politik yang harus dipelihara dengan baik supaya jangan bertentangan dengan selera rakyat.

“Maka, Komisi pemeriksaan film dibentuk agar film yang dipertontonkan bersifat mendidik, disamping menghibur. (Meski begitu) bagaimana defenisi mendidik maupun menghibur tidak jelas dirumuskan,” imbuh Eddi Karsito dalam buku Menjadi Bintang (2008).

Pemerintah Indonesia kala itu tak hanya membentuk badan sensor yang memiliki tugas mengontrol film. Badan sensor kala itu juga menyensor segala macam penerbitan, siaran, percetakan, poster, plakat, semboyan, sandiwara, hingga pembicaraan melalui telepon.

Hal itu terjadi karena pemerintah telanjur mengidap kecemasan terkait seringnya masyarakat Indonesia mengonsumsi hiburan modern. Akan tetapi, tak semua pesohor negeri beranggapan film luar selalu membawa pengaruh negatif. Tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara misalnya. Dalam tulisannya di Majalah Pertjatoeran Doenia dan Film pada 1941, dirinya menulis:

Seperti biasa. Maka ketika hadir keadaan baru –-begitu pula film dan radio– itu tentu memiliki keburukan dan juga kebaikan. Dua akibat itu harus dipelajari dengan baik, dengan cara objektif, jangan hanya mengikuti atau menyesuaikan dengan keinginan sendiri saja (subjektif). Setelah itu hendaknya kebaikan yang ada dikembangkan, diluaskan, dimajukan, sedang bagian-bagian yang jahat sedapat-dapatnya dikurangi atau diperhambat agar dapat diperkecil pengaruhnya.