Bagikan:

JAKARTA - Nyali penjajah Jepang menguasai Nusantara tiada dua. Orang Belanda yang merasa superior dibuat bertekuk lutut. Jepang bahkan menempatkan ras kulit putih di kasta paling rendah. Mereka diburu dan ditempatkan di kamp interniran.

Kondisi itu membuat rumah-rumah mewah milik orang Belanda terbengkalai di seluruh penjuru negeri. Rumah mewah itu banyak yang kosong-melompong. Belakangan, beberapa di antaranya mulai dimanfaatkan kaum bumiputra dan orang Jepang sebagai tempat tinggal atau markas.

Pendudukan Jepang membawa angin segar bagi segenap kaum bumiputra di Nusantara pada 1942. Kehadiran Jepang membawa hierarki baru dalam masyarakat. Segenap orang Asia yang dulunya kerap dinomor dua atau tigakan di bawah orang Eropa (terutama orang Belanda) mulai berubah.

Ras Asia kini berada dipuncak hierarki. Sedang orang Belanda justru berada diurutan paling nelangsa. Bahkan, kerap disamakan atau setara dengan binatang. Keungulan ras Asia itulah jadi propanganda yang kerap didengungkan penjajah Belanda. Sebuah propaganda yang mampu merasuk ke sanubari segenap kaum bumiputra, apalagi mereka telah tersakiti di masa penjajahan Belanda.

Rumah mewah di perumahan milik orang Belanda di Niuew Gondangdia (kini: Menteng). (Wikimedia Commons)

Orang Belanda tak berkutik. Tiada yang berani membela mereka. Pemerintah Hindia Belanda yang mereka banggakan telah sibuk menyelematkan diri. Pun beberapa di antaranya rela meninggalkan kaumnya untuk mencari selamat sendiri ke Australia.

Penjajah Jepang pun mulai membatasi ruang gerak orang Belanda dengan mendirikan kamp-kamp interniran. Kamp itu dibuat untuk mengisolasi orang Belanda supaya tak berbaur dengan ras Asia. Ajian itu dilakukan pula untuk memunculkan simpati kepada kaum bumiputra yang telah dijajah bertahun-tahun lamanya.  

“Tanpa disadari oleh orang Belanda pada umumnya, masyarakat Indonesia telah berubah dalam memandang orang Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, penduduk melihat bagaimana orang-orang Belanda yang dianggap ‘tuan’ dan lebih ‘superior’ atau lebih hebat itu ternyata tidak berdaya. Mereka ternyata tidak memberikan perlawanan yang berarti kepada musuh, yaitu tentara Jepang.”

“Mereka bahkan terlihat lari ketakutan dan kemudian tidak berdaya dalam kamp-kamp tahanan atau interniran. Orang Indonesia yang semula minder dengan ‘Ndoro Tuan’ Belanda kemudian berubah. Ternyata orang Belanda juga sama seperti orang bumiputra yang bisa ketakutan dan merasa kalah serta putus asa,” ungkap J.B. Sudarmanto dalam buku Biografi I.J. Kasimo: Politik Bermartabat (2011).

Rumah Mewah Terbengkalai

Harta benda orang Belanda tak berarti selama pendudukan Jepang. Semua orang Belanda diperlakukan sama oleh penjajah dari Negeri Sakura. Tiada beda. Mereka yang kaya raya dan pegawai rendahan tetap diburu untuk ditangkap dan dijebloskan di kamp interniran.

Penangkapan itu membuat banyak di antara rumah di pemukiman mewah milik orang Belanda di seantero negeri jadi kosong. Kekosongan itu membuat banyak di antara rumah mewah terbengkalai bak rumah hantu. Apalagi isi-isi di dalamnya banyak dijarah.

Jepang tak ambil pusing. Pun mereka kemudian memanfaatkan banyak rumah-rumah mewah yang terbengkalai itu untuk dijadikan tempat tinggal atau markas. Porsi yang sama juga dilakukan penjajah Jepang terhadap hotel-hotel mewah di sentero nusantara.

Mereka memperlakukannya hotel-hotel bak rampasan perang. Ada yang dijadikan markas, ada pula yang dijadikan gudang persenjataan. Beda hal dengan kaum bumiputra dan orang orang China. Rumah-rumah mewah banyak yang ditempati untuk rumah tinggal.

Rumah-rumah mewah orang Belanda pada masa penjajahan Jepang banyak diterlantarkan. (Wikimedia Commons)

Sisanya, rumah mewah yang tak ditempati banyak berakhir terbengkalai dengan kerusakan berat akibat perang. Pun beberapa rumah mewah banyak yang hancur karena perang berkecamuk di Nusantara. Orang-orang menganggap banyaknya rumah mewah terbengkalai itu kemudian sebagai penanda berakhirnya kuasa Belanda di Nusantara.  

“Yang sama dramatisnya adalah kenyataan bahwa beberapa kawasan tempat tinggal orang Eropa di Batavia telah "ditimurkan" selama tiga tahun masa penjajahan Jepang. Orang-orang Belanda dan Eropa lainnya membangun banyak vila bercat putih yang terletak di tengah kebun-kebun besar yang ditanami pohon beringin, lontar, dan bugenvil warna-warni. Tapi, selama masa pendudukan Jepang rumah-rumah tersebut berpindah tangan. Keluarga-keluarga Indonesia bumiputra dan keturunan China mendiami banyak rumah bekas orang Eropa.”

“Pada Agustus 1945, banyak juga rumah bekas milik orang Eropa yang tiba-tiba kosong karena para perwira Jepang yang menempatinya dipaksa pergi. Tentu saja, orang-orang Belanda yang menjadi pemilik sahnya menganggap ‘bumiputra’ yang menempati rumah-rumah mewah mereka sebagai penduduk liar atau maling ketika mereka mencoba mengklaim kembali hak milik mereka setelah dilepaskan dari kamp-kamp internir lepang,” terang sejarawan Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam buku Indonesia Merdeka Karena Amerika? (2007).