Penjajah Jepang Wajibkan Bangsa Asing di Nusantara Punya KTP dalam Sejarah Hari Ini, 11 April 1942
Bekas tawanan Jepang --orang Eropa-- yang ditempatkan di kamp interniran dibebaskan setelah Indonesia merdeka dan Pasukan Sekutu datang. (ANRI)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 81 tahun yang lalu, 11 April 1942, Penjajah Jepang mewajibkan bangsa asing di Nusantara untuk registrasi penduduk. Jepang mengambil langkah pendataan supaya penduduk asing mendapat semacam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Upaya itu dilakukan Jepang sebagai bentuk ajian meninggikan derajat kaum bumiputra. Sebelumnya, kehadiran Jepang disambut dengan gegap gempita oleh segenap kaum bumiputra. Semuanya karena dukungan besar yang diberikan Jepang kepada kemerdekaan Indonesia.

Kaum bumiputra tak pernah berpikir penjajahan Belanda akan berlangsung selamanya. Anggapan itu dikarenakan munculnya Jepang sebagai juru selamat pada 1942. Mimpi Belanda untuk menguasai Indonesia ratusan tahun lagi jadi sirna.

Jepang segera menyapu bersih segala macam kekuatan perang Belanda yang sudah usang. Pun Belanda lari tunggang-langgang. Kejadian itu membuat kepercayaan diri kaum bumiputra bahwa Jepang adalah negeri penyelamat meningkat.

Dukungan itu membuat kedatangan Jepang disambut dengan gegap gempita. Simpati terhadap Jepang pun berbalas. Kaum bumiputra yang notabene tuan rumah ditinggikan derajatnya. Kaum bumiputra jadi warga kelas satu. Padahal, status kaum bumiputra di era penjajahan Belanda hanya berada pada strata terendah.

Pasukan Sekutu menjaga proses pelepasan bekas tawanan Jepang di Indonesia. (ANRI)

Perlakuan istimewa itu membuat banyak di antara pejuang kemerdekaan simpati terhadap Jepang. Pun beberapa di antara memilih untuk berkolaborasi dengan Jepang. Tujuannya jelas. Supaya Indonesia dapat segera mewujudkan cita-cita untuk merdeka.  

"Rakyat benci kepada Belanda. Lebih‐lebih lagi karena Belanda lari terbirit‐birit dan membiarkan kita tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari ketakutan."

"Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan‐tuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang mendepaknya keluar. Di samping itu, tuan‐tuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu bertekuk‐lutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka," terang Soekarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2000).

Upaya meninggikan derajat kaum bumiputra yang dilakukan Jepang tak setengah-setengah. Langkah itu ditunjang pula kebijakan Jepang yang membalas dendam kaum bumiputra dengan merendahkan suku bangsa lain di Nusantara. Utamanya, orang Belanda.

Barang siapa yang bukan termasuk kaum bumiputra dan orang Jepang, maka mereka harus mendaftarkan diri. Kewajiban itu bahkan ditekenkan pula lewat aturan yang dikeluarkan Jepang pada 11 April 1942.

KTP pada masa penjajahan Jepang di Nusantara. (era.id/Istimewa)

Mereka warga asing yang mendaftar nantinya akan mendapatkan KTP. Itupun dengan biaya yang sangat mahal. Apalagi kemudian Jepang mulai murka dengan menempatkan orang Eropa --kecuali orang Jerman dan Italia yang jadi sekutu Jepang— dan Indo Belanda ke kamp interniran.

“Pada 11 April 1942, pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan aturan registrasi bagi bangsa asing yaitu Osamu Seirei No 7. Melalui aturan ini Jepang mewajibkan semua penduduk dewasa berumur 17 tahun atau lebih, kecuali orang Jepang dan pribumi Indonesia, untuk mendaftarkan diri kepada penguasa.”

“Jadi aturan ini berlaku untuk orang Eropa (termasuk Indo) serta Timur Asing (Tionghoa dan Arab). Setelah mendaftar mereka akan mendapat selembar kartu tanda penduduk atau Gaikokujin Kyojuu Touroku Sensei Shoumeisho (surat bukti registrasi kediaman dan sumpah warga negara asing). Tarif pendaftarannya sangat mahal, sesuai dengan etnis dan jenis kelaminnya,” ungkap Daradjadi dan Osa Kurniawan Ilham dalam buku Pejambon 1945: Konsesus Agung Para Peletak Fondasi Bangsa (2020).

Terkait