Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 24 tahun yang lalu, 14 Juli 1999, Pramoedya Ananta Toer menyebut maritim adalah kekuatan Indonesia yang sebenarnya. Pendapat itu dikemukannya di Aula Perpustakaan Nasional. Pram menganggap pemerintah gagal belajar dari kasus di era penjajahan Belanda.

Sebelumnya, penjajah Belanda pernah menganggap remeh Nusantara sebagai negeri maritim. Kegagalan itu membuat Belanda kalah ketika perang dengan pihak luar. Pertama, kalah dengan Inggris. Kedua, kalah dengan Jepang.

Boleh jadi penjajah Belanda terkenal dengan armada perang yang bejibun. Mereka kerap berhasil mematikan langkah kaum bumiputra yang dianggap pemberontak. Namun, kekuatan besar itu tak berlaku ketika Belanda melawan negara lain. Inggris dan Jepang, misalnya.

Persenjataan dan strategi pemerintah kolonial Hindia Belanda tak cukup membungkam lawan. Belanda justru kerap jadi pihak yang kalah. Ambil contoh kala Inggris mulai berani mengumandangkan perang melawan Belanda.

Inggris mampu membuat pasukan Belanda lari kocar-kacir pada 1811. Bahkan, tiada perlawanan yang berarti dilakukan oleh Belanda. Kondisi memalukan itu juga hadir ketika Belanda melawan Jepang. Belanda percaya diri akan kekuatan yang dimilikinya. Apalagi lawannya adalah bangsa Asia.

Sesuatu yang dianggap mereka tak lebih unggul dari negara Eropa. Nyatanya, negara yang mereka anggap remeh justru dapat berbicara banyak. Belanda mampu dilumpuhkan oleh Jepang secara terukur. Kemenangan Jepang itu tak lain karena Belanda telah melakukan kesalahan.

Kapal perang Kerajaan Belanda, Hr Ms De Ruyter yang ditenggelaman pasukan Jepang dalam pertempuran Lauta Jawa pada 1942. (DW/picture-alliance/arkivi) 

Belanda dituduh menutup mata Nusantara sebagai negeri maritim. Alih-alih membuat pertahanan laut, Belanda justru menggunakan pertahanan darat. Itupun dengan alat perang dan militer kuno. Strategi itu membuat Jepang dengan bebas mengobrak-abrik Belanda.

“Tentu, runtuhnya Hindia Belanda bukan saja karena hubungan jelek antara rezim dan rakyat, tetapi juga terletak pada lemahnya alat-alat perang dan infrastruktur militernya yang kuno. Belanda sejak 125 tahun terakhir memang tidak mengalami perang internasional dalam arti yang sebenarnya. Namun, bila seandainya rakyat memihak Hindia Belanda, dan berpartisipasi dalam perang melawan Jepang dengan sukarela, ada kemungkinan rezim dapat bertahan lama.”

“Ini akan memberikan waktu lebih banyak pada sekutu untuk membalas serangan Jepang. setidaknya dapat juga mengakibatkan pendudukan Jepang di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat mahal, karena harus menindas sentimen-sentimen pro Hindia Belanda dan sikap tidak mau kerjasama dengan Jepang,” ujar Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).

Strategi gagal yang dilanggengkan Belanda nyatanya tak pernah tenggelam. Strategi itu justru digunakan pemerintah kala Indonesia Merdeka. Utamanya, pada masa Orde Baru (Orba). Penguasa Orba kerap ‘mendewakan’ dukungan militer Angkatan Darat (AD). Padahal, Indonesia dikenal sebagai negeri maritim.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyoroti benar hal itu. Sekalipun era Orba telah berganti dengan era reformasi. Ia mengganggap pemerintah tak mau belajar. Empunya kuasa dianggap melanggengkan dukungan besar kepada militer AD dibanding Angkatan Laut (AU).

Pengarang Tetralogi Pulau Buru itu mengungkap empunya kuasa jangan belajar dari contoh yang salah. Ia tak ingin kejadian yang sama –seperti penjajah Belanda—berulang. Ia dengan tegas menganggap maritim adalah kekuatan Indonesia yang sebenarnya. Pendapat itu diucapnya dalam pidato berjudul Arti Penting Sejarah kala mengisi acara di Perpustakaan Nasional pada 14 Juli 1999.

“Pertahanan Hindia Belanda itu didasarkan pada pada pertahanan Darat. Dan pertahanan Darat dipertahankan sistemnya pada sekarang ini. Padahal sistem pertahanan Indonesia harus pertahananan laut. Salah satu bukti kelemahan pertahanan Darat untuk negara maritim. Pada tahun 1811, waktu Hindia Belanda dikurung oleh Inggris dari laut, dalam beberapa hari angkat tangan.”

“Waktu diserang oleh Jepang pada 1942 dalam beberapa hari juga angkat tangan. Jadi kalau itu diteruskan sampai sekarang, itu bukan lagi kekeliruan, tetapi kesalahan. Persoalannya adalah keberanian untuk mengkoreksi kesalahan. Keberanian tidaknya itu terserah kepada angkatan muda yang belum terpakukan pada sebuah sistem,” terang Pramoedya Ananta Toer dalam pidatonya.