JAKARTA - Nikah beda agama kerap jadi topik hangat. Bahkan, semenjak masa pemerintahan Orde Lama. Umat Islam selalu dalam posisi menolak nikah beda agama. Mereka menentangnya karena nikah itu tidak sah secara hukum Islam.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengamini hal itu. Baginya, pernikahan umat Islam harus seiman. Ia pun tak ingin putri sulungnya menikah beda agama. Sebagai solusi, ia mengirim calon mantunya untuk belajar dan masuk Islam kepada Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
Heboh soal nikah beda agama bukan barang baru. Pernikahan beda agama pun telah banyak ditentang pada era Orde Lama. Kasus pernikahan seorang Muslim, Soemarni Soeriaatmadja dan seorang Kristen, Ursinus Elias Medellu ada di baliknya pada 1952.
Kedua pasangan ingin membawa hubungannya ke tahap lebih lanjut. Pernikahan jadi opsi keduanya. Namun, Kantor Urusan Agama (KUA) menolak untuk mencatat perkawinan beda agama itu. Apalagi hukum Islam jelas-jelas menolaknya.
Soemarni dan Ursinus tak menyerah. Mereka terus berupaya supaya status pernikahannya segera sah. Kasus itu di bawah ke Pengadilan Negeri Jakarta. Hasilnya pernikahan itu mendapatkan restu karena tiada hukum yang melarang terjadinya pernikahan agama. Keduanya pun menikah di Gereja Protestan.
Pihak keluarga wanita pun tak terima. Mereka meminta Pengadilan Negeri Jakarta untuk membatalkan status pernikahan. Langkah itu ditolak pengadilan. Pihak keluarga pun membawa kasus itu ke Mahkamah Agung (MA).
MA justru membenarkan langkah pengadilan untuk menolak pembatalan pernikahan beda agama. Alhasil, kemarahan umat Islam di Jakarta memuncak. Mereka tak ingin negara menyampingkan hukum Islam dalam mengambil keputusan.
“September 1952, sekitar 5.000 umat Islam berkumpul di masjid Tanah Abang Jakarta untuk melakukan protes terhadap perkawinan beda tersebut, dan menuntut negara untuk membatalkan perkawinan tersebut. Mereka membuat pernyataan dan tuntutan resmi kepada Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa perkawinan antara Soemarni dan Ursinus tidak sah menurut hukum Islam,” ungkap Sri Wahyuni dalam buku Nikah Beda Agama (2016).
Astuti dan Daniel
Protes keras umat Islam kepada nikah beda agama beralasan. Nikah beda agama tidak sah dalam hukum Islam. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengamini hal itu. Ia bahkan tak ingin putri sulungnya, Astuti yang ingin dinikahi pasangannya, Daniel berakhir dengan pernikahan beda agama.
Pram menyarankan Daniel untuk belajar dan pindah agama Islam. Daniel pun menyanggupinya. Namun, Pram menyadari keterbatasannya dalam ilmu agama. Pram pun meminta keduanya untuk segera belajar agama kepada ulama kesohor Buya Hamka supaya tak setengah-setengah. Sekalipun Pram dan Hamka kerap berselisih.
Pram meyakini Hamka adalah guru yang mempuni untuk agama dan tiada keraguan untuk itu. Hamka pun menerima keduanya dengan baik. Hamka berjanji untuk membimbing keduanya dan memimpin proses calon suami anak Pram untuk masuk Islam.
Sikap Hamka menunjukkan bahwa perbedaan pahamnya dengan Pram bukan berarti mereka bermusuhan. Dulu memang Pram memberikan kritik keras kepada karya Hamka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938). Bahkan, tak cuma kritik, Pram menyebut karya itu sebagai plagiat.
Hamka menanggapinya enteng saja. Ia mempersilakan orang-orang yang kompeten untuk membuktikan. Selebihnya, Hamka tak menganggap Pram sebagai musuh. Apalagi, keduanya belakangan justru kerap menghargai satu dan lainnya. Keduanya berbeda hanya soal paham saja. Tak lebih.
“Selesai Astuti mengutarakan maksud kedatangannya serta bercerita latar belakang hubungan dengan Daniel Setiawan, tanpa ada sedikit pun keraguan, permohonan kedua tamu itu diluluskan Ayah. Daniel calon menantu Pramoedya Ananta Toer langsung dibimbing Ayah membaca dua kalimat syahadat. Ayah lalu menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam dengan Ayah.”
“Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramoedya itu, Ayah sama sekali tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pramoedya terhadapnya beberapa waktu yang lalu. Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua,” terang Irfan Hamka dalam buku Ayah: Kisah Buya Hamka (2013).