Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 6 Februari, hampir satu abad sastrawan kenamaan Indonesia Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis Pram) lahir. Dia lahir tahun 1925 di Blora, Jawa Tengah.

Dia meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta, di usia 81 tahun. Meski telah wafat, karya-karyanya tetap abadi. Salah satu karya Pram yang paling fenomenal yakni Tetralogi Pulau Buru. Pram, harus beberapa kali keluar masuk penjara sampai bisa melahirkan maha karyanya itu. 

Pram hidup di era perang menuju kemerdekaan Indonesia. Dalam beberapa catatan tentang Pram, termasuk dari wikipedia, dia sempat mengikuti kelompok militer di Jawa dan acap kali dikirim ke Jakarta. Sepanjang kariernya di militer, ia sudah rajin menulis.

Karena bergabung bersama militer Republik Indonesia, Pram sempat dijebloskan ke penjara Bukitduri oleh pemerintah Hindia Belanda. Di sana Pram menyelesaikan naskah buku Perburuan. Ia kemudian baru dikeluarkan dari penjara pada tahun 1949 setelah Konferensi Meja Bundar. 

Lalu Pada 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya. Setelah kembali dari sana, ia menjadi anggota Lekra, salah satu underbouw Partai Komunis Indonesia. 

Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara Pramoedya dan pemerintahan Soekarno.

Setelah melewati masa Orde Lama, pada tahun 1960-an, dia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan dan di Pulau Buru karena dituduh terlibat pemberontakan PKI. 

Kendati Pram harus melewati masa getirnya di pengasingan khususnya di Pulau Buru, namun menurut Penulis Sastra Eka Kurniawan, dari sana pula Pram mengalami fase kedewasaan dalam menulis.

 Pramoedya Ananta Toer (Foto: wikimedia commons)

Dikirim ke pulau buru

Dalam wawancara August Hans den Boer dan Kees Snoeck dengan Pram yang dirangkum dalam bukunya Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, mereka menceritakan bagaimana Pram ditahan di Pulau Buru.

Pram bersama lebih dari 800 orang menuju Pulau buru menggunakan kapal ADRI XV dari penjara sebelumnya di Lapas Nusa Kambangan. Mereka termasuk rombongan pertama yang diberangkatkan. Nyaris semua orang termasuk Pram yang diasingkan di Buru tak pernah mengikuti proses pengadilan. 

Sampai di Buru, ia bersama para tapol dipaksa untuk bekerja. Di pulau yang belum pernah terjamah manusia itu, mereka disuruh membuka hutan untuk dibuat jalan, membangun barak-barak, menggarap lahan pertanian, dan membudidayakan bahan makanan yang kemudian hasilnya pun sering dirampas. Mereka mengerjakan ini dengan peralatan seadanya.

Selain tekanan kerja paksa yang diwajibkan untuk para tahanan politik, mereka juga menghadapi ancaman berbagai penyakit. Pasalnya, di sana tak ada fasilitas perawatan kesehatan. 

Memasuki tahun 1970-an Pemerintah Orde Baru melunak. Ia diperkenankan menulis kembali dalam pengasingannya. Dari sana lah salah karya maha karya Pram lahir: Tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi Pulau Buru ini mengungkapkan sejarah keterbentukan nasionalisme pada awal kebangkitan nasional, dan pengukuhan atas seorang pahlawan sekaligus bapak pers Indonesia Tirto Adhi Soerjo yang digambarkan sebagai tokoh Minke.

Sebelum bisa melahirkan tetralogi, menurut Penulis Sastra Eka Kurniawan dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Pram melewati tiga tahap kepengarangan. 

Pertama adalah periode pra Lekra ketika Pram berdiri sebagai pejuang kemanusiaan dan keadilan. Periode kedua, adalah periode Pram aktif bersama Lekra. Kemudian periode ketiga, yakni ketika masa setelah pemberangusan PKI setelah peristiwa penahanan Pram. Dalam pandangan Kurniawan, fase terakhir Pram merupakan fase sintesis yang melahirkan kedewasaan dalam menulis. 

Selama masa hidupnya Pram telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Dari karya-karyanya itu banyak penghargaan yang ia dapatkan dan kebanyakan dari dunia internasional. Di antaranya, penghargaan Ramon Magsaysay Award, Hadiah Budaya Asia Fukuoka, dan Norwegian Authors Union Award. Selain itu, ia juga pernah dipertimbangkan untuk memenangkan hadiah nobel sastra. 

Pram tetap menulis sampai masa senja walaupun kesehatannya telah menurun dimakan usia dan kegemarannya merokok. Akhirnya, setelah didiagnosis menderita radang paru-paru dan komplikasi, Pram mengembuskan nafasnya yang terakhir pada 30 April 2006 di usia ke 81 tahun.