Bagikan:

JAKARTA - Meninggalnya KH Salahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Sholah turut mengundang duka bagi para keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekatnya. Tak terkecuali bagi para santri dan para mualim di Pondok Pesantren Tebuireng yang sejak 2006 berada di bawah asuhan almarhum. Sebab, ada beberapa ajaran yang dibawa oleh masing-masing pimpinan pesantren. Gus Sholah adalah salah satu orang yang merevitalisasi salah satu pesantren tertua di Indonesia tersebut.

Selain terkenal sebagai 'pesantren perjuangan' dan melahirkan pahlawan nasional, Pesantren Tebuireng juga mempunyai andil dalam pengembangan ekonomi dan membentuk peradaban bangsa. Pondok pesantren ini juga bertugas sebagai pembangun karakter dan moral masyarakat, serta memperkuat wawasan kebangsaan dengan upaya menjadikan masyarakat demokratis dan terbiasa hidup dalam perbedaan.

Tebuireng berada pada kilometer 8 dari Kota Jombang. Di tempat seluas 311 hektar inilah, seorang ulama terkenal bernama Hasyim Asy'ari --yang merupakan tokoh pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama-- mendirikan sebuah pesantren pada 3 Agustus 1899.

BACA JUGA:


Seperti ditulis Syamsul Ma'arif dkk dalam Inklusivitas Pesantren Tebuireng: Menatap Globalisasi Dengan Wajah Tradisionalisme (2015), pandangan yang selalu dijadikan pegangan Pesantren Tebuireng adalah al-Muhafadlatu'ala qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah. Dengan konsep ini, Pesantren Tebuireng berpandangan bahwa merespon dan menjemput perubahan adalah sebuah keniscayaan. Karena semua hal yang ada di dunia ini, dianggap mengalir dan semua mengalami perubahan sesuai dengan zamannya.

Hasyim sebagai Pengasuh Pesantren Tebuireng periode pertama (1899-1947) telah meletakkan dasar-dasar spirit humanisme dan inklusifisme pesantren. Ia sendiri mengarang sejumlah kitab, yang salah satunya menjadi referensi di pesantren yaitu, al-Tibyan fi al-Nahyi'an muqatha'ati al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan yang berisi tentang pentingnya menjaga tali silaturrahmi (persaudaraan) dan bahayanya memutus tali persaudaraan. 

Spirit Hasyim tentang keterbukaan dan perjuangannya menegakkan nilai-nilai agama untuk kemanusian, kemudian mengilhami dan memercikkan semangat reformasi pada generasi-generasi berikutnya.

Nilai yang diajarkan Hasyim telah menjadi semacam budaya dan kearifan lokal yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hal itu terus bergulir sampai periode sekarang, yang sering disebut sebagai periode revitalisasi di bawah asuhan Gus Sholah. Gus Sholah merupakan seorang yang sangat terkenal sebagai orang yang berwawasan luas, terbuka, egaliter, dan sederhana.

Sejak tahun 2006 sampai sekarang, Pesantren Tebuireng di bawah asuhan adik kandung Gus Dur yakni KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) yang terkenal sebagai pejuang dan aktivis HAM serta pernah menjabat sebagai wakil ketua komnas HAM.

Berikut di antaranya ajaran-ajaran yang diwariskan dari seorang Gus Sholah. Yang pertama adalah memperkuat silaturahmi dan mencairkan eksklusifitas.

Memperkuat silaturahmi dan mencairkan eksklusifitas

Melihat peran penting silaturahmi bagi terciptanya persatuan dan kesatuan. Tebuireng di bawah naungan Gus Sholah juga telah mengembangkan agenda silaturahmi tersebut baik berbentuk halalbihalal yang bersifat internal keluarga pesantren maupun dengan para santri yang disebut dengan reuni.

Semua itu dalam rangka merealisasikan ajaran dari Hasyim dalam kitabnya al-Tibyan fi al-Nahy'an Muqatha'ah al-Arham wa alAqarib wa al-Ikhwan yang menjelaskan tentang larangan memutus hubungan dengan keluarga, kerabat, dan teman.

Gus Solah dalam wawancaranya mengatakan bahwa ia lah yang mempelopori dimulainya halalbihalal bani Asy'ari (ayah dari KH. Hasyim Asy'ari). "Saya sendiri yang mempunyai gagasan untuk mengadakan halalbihalal bani Asy'ari tersebut dan yang hadir 700 orang," katanya dalam sebuah wawancara yang dikutip Ma'rif.

Dengan memperhatikan peran positif silaturahmi inilah, Gus Solah berkeinginan untuk memperluas maknanya yaitu dari hanya sekadar silaturahmi pribadi, menjadi kerja sama sosial dan bisnis bersekala besar. Oleh karena itu, program reuni bertajuk Temu Alumni Pesantren Tebuireng mulai rutin diadakan sejak 2006 dan selalu digelar pada Sabtu terakhir bulan Syawal.

Praktik silaturrahmi yang diterapkan di Pesantren Tebuireng ini bukan hanya untuk kalangan internal saja, melainkan dibuka selebar-lebarnya untuk kepada masyarakat secara keseluruhan. Beragam tamu dari berbagai latar belakang diperkenankan hadir. Baik dari kalangan masyarakat biasa, para politisi, pejabat, maupun seniman.

Pernah juga, sebagaimana pengakuan Gus Solah, “Para pendeta tinggal beberapa minggu di sini dengan maksud untuk mempelajari ajaran Islam di pesantren.” 

Pondok Pesantren Tebuireng (Foto: commons wikimedia)

Menegakan nilai tasamuh (toleransi)

Nilai yang diperkenalkan Gus Sholah di Tebuireng adalah tasamuh atau toleransi. Tasamuh adalah sebuah sikap untuk dapat menghormati dan menghargai perbedaan, baik dalam hal agama, budaya maupun etnis. Lebih jelas, Gus Sholah mendefisnisikan tasamuh yang ingin diterapkan di Tebuireng adalah sikap lapang hati, peduli, toleran, antikekerasan, dan menghargai perbedaan serta menghargai hak orang lain. Salah satu ajaran Hasyim yang senantiasa ia contohkan kepada para santrinya.

Sementara itu demi merealisasikan sikap tasamuh pada diri santri, kiai sebagai faktor kunci di pesantren perlu memberi tauladan bagaimana dapat bersikap toleran kepada orang lain. Berdasarkan prisnsip itu, Gus Sholah banyak melakukan kerja sama, berdialog, bahkan mengunjungi orang sakit meskipun dengan orang berbeda agama.

"Yang beda ya tetap beda jangan disama-samakan. Meskipun kita yakin bahwa agama kita yang benar, tapi kita tidak punya hak untuk menyalah-nyalahkan," kata Gus Sholah.

Selain itu sikap tasamuh juga dimanifestasikan dengan tidak boleh ada kekerasan dalam dalam proses mengajar. Di Pesantren Tebuireng, menurut penuturan Gus Sholah, selalu ditanamkan pendidikan antikekerasan. “Di sini diberikan sanksi yang cukup keras terhadap santri/siswa yang mela-kukan tindak kekerasan,” kata Gus Sholah.

Tetap menjaga tradisi

Kendati banyak revitalisasi dilakukan di Tebuireng, pesantren itu tetap tidak menghilangkan karakter lokalitasnya untuk meneruskan tradisi metode belajar-mengajar dengan metode yang diinisiasi oleh Hasyim. Salah satunya adalah sistem pendidikan yang terkenal dengan sebutan sorogan dan bandongan.

Salah satu alasannya kenapa masih dipertahankan sistem pembelajaran dengan menggunakan kitab kuning adalah dalam rangka menjaga identitas para santri sebagai orang yang dipersiapkan secara khusus untuk menguasai ilmu-ilmu agama.

Sistem sorogan ini, berasal dari kata sorog (Jawa) yang berarti menyodorkan. Setiap santri menghadap dan menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau badalnya secara perorangan. Metode yang telah diperkenalkan oleh Idris Kamali, menurut Gus Solah terinspirasi oleh pola pengajaran Imam Malik, dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan serta menekankan inisiatif dan disiplin personal. 

Metode pendidikan yang diterapkan Idris pada saat itu sangat berhasil. Sebab mampu memproduk kiai, atau minimal guru agama dan muballigh berpengaruh di masyarakat.

Selain sorog ada juga metode weton. Weton berasal dari kata wektu dalam bahasa Jawa yang artinya waktu. Sementara di Jawa Barat metode itu dikenal dengan sebutan bandongan. Nama itu diberikan sebab pengajian dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya sebelum atau sesudah melakukan salat fardu.

Kini, upaya semuanya tinggal dilanjutkan. Gus Sholah meninggal dunia pada usia 77 tahun setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, Minggu, 2 Februari malam. Jenazah Gus Sholah dimakamkan Pondok Pesantren Tebuireng, satu kompleks dengan kakaknya, Abdurrahman Wahid atau Gusdur.