JAKARTA - "Tapi, aku tak pernah mati. Tak akan berhenti." Ini adalah penggalan bait lagu Efek Rumah Kaca berjudul Di Udara. Lagu ini menceritakan tentang Munir Said Thalib yang diancam dan diteror, hingga akhirnya dia meninggal ketika sedang menaiki pesawat menuju Belanda.
Kematian Munir itu terjadi pada 7 September 2004, 15 tahun lalu. Namun, beberapa pertanyaan masih belum terjawab, meski tersangka pembunuhnya, Pollycarpus Budihari Priyanto, sudah dihukum.
Melansir tulisan CNNIndonesia.com berjudul 'Munir, Suciwati, dan Komedi Putar Tanpa Akhir', istri Munir, Suciwati, awalnya kaget mendapat kabar dari Usman Hamid (kolega Munir) tentang ketiadaan sang suami. Suciwati merasakan ada kejanggalan dari kematian sang suami.
Empat hari kemudian, dia dapat kabar lagi dari orang lain, suaminya sudah diautopsi dan hasilnya ada di pemerintah. Dia ingin tahu penyebab kematian sang suami. Dia mencari tahu informasi itu, mulai dari polisi hingga Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan. Tapi, nihil.
Dia juga sempat ke kantor Bareskrim Polri. Akhirnya, sebagian gelisahnya terjawab di sana. Kata polisi, berdasarkan hasil autopsi, Munir mati akibat racun arsenik. Dugaan Suciwati tentang kejanggalan kematian suaminya tak meleset. Ternyata, suaminya dibunuh.
Pada 6 Desember 2004, Suciwati baru dapat salinan autopsi suaminya dari Kabareskrim Komjen Suyitno Landung. Mengutip Koran Tempo 7 Desember 2004, salinan yang didapat Suciwati itu ditulis dalam bahasa Belanda, tetapi, sudah dilegalisir kepolisian RI. Dokumennya berjumlah 20 halaman dan dimasukkan dalam map warna biru.
Kuasa Hukum Suciwati, Iskandar Sonhaji mengatakan, salinan itu sama dengan hasil autopsi asli dari pemerintah Belanda kepada Indonesia. Berdasarkan laporan dari verbalisan yang diungkapkan dalam salinan dokumen autopsi yang diterima keluarga Munir, kemungkinan Munir mengalami hal yang tidak enak selama di dalam pesawat terbang selama dalam perjalannya ke negeri Belanda (adanya muntah-muntah dan diare) lalu meninggal.
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerangkan, hasil autopsi awal yang berlangsung sejak 7 September 2004, disimpulkan Munir meninggal secara wajar. Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan oleh Netherland Forensic Institute (NFI). Hasil pemeriksaan lanjutan pada 1 Oktober 2004, hasilnya di dalam darah Munir ditemukan zat-zat berupa arsenik, paracetamol, metoclopramide, dizapam, dan mefanic acid.
Sementara itu, tidak terlihat adanya alkohol dalam urine dan darah. Juga tidak diperoleh petunjuk-petunjuk reaksi karena alergi sewaktu akan meninggal. Konsentrasi arsenik dalam darah cukup tinggi. Di dalam lambung terdapat dosis arsenik yang cukup fatal.
"Meninggalnya Tn. Munir dapat dijelaskan karena keracunan arsenik," demikian hasil laporan KontraS.
Sementara, mengutip detik.com dengan berita berjudul 'Kronologi Kematian Munir di atas Pesawat Garuda GA-974', diceritakan tentang kematian Munir.
Munir sedang melakukan perjalanan dari Jakarta ke Belanda. Dia naik pesawat Garuda GA-794. Pesawat yang ditumpanginya berangkat dari Jakarta pada 6 September 2004 pukul 21.55 WIB dan sempat transit di Singapura esok harinya sekitar pukul 00.40 waktu setempat.
Kemudian, perjalanan dilanjutkan kembali menuju Amsterdam pada 01.50 waktu setempat. Sekitar tiga jam setelah pesawat lepas landas dari Bandara Changi, Singapura, Najib seorang supervisor awak kabin menyampaikan laporan kepada pilot in command Captain Pantun Matondang terdapat penumpang sakit di kursi nomor 40G bernama Munir. Ia terlihat bolak-balik ke toilet.
Selanjutnya Matondang memerintahkan Najib untuk segera meminta pertolongan kepada penumpang berprofesi dokter, yang duduk di kursi nomor 1 J untuk memberikan pertolongan kepada Munir. Munir dipindahkan duduknya dekat dengan dokter tersebut. Ketika itu Munir dalam keadaan tenang dan beristirahat.
Saat sekitar dua jam pesawat akan mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Najib dan dokter melihat kondisi Munir. Tapi, Munir ternyata sudah meninggal dunia. Munir meninggal pukul 06.10 Selasa 7 Desember 2004 waktu setempat.
Suciwati meminta pertolongan kepada presiden untuk mengungkap kematian Munir. Dilansir artikel CNNIndonesia.com berjudul 'Munir, Suciwati, dan Komedi Putar Tanpa Akhir', Suciwati menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta bantuan. Pertemuan itu menghasilkan keputusan presiden untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) Munir.
Sebulan TPF bekerja, Suciwati mendapatkan laporan ada fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan dan penyalahgunaan wewenang Badan Intelijen Negara (BIN), beberapa petinggi BIN disebut, termasuk sang kepalanya saat itu Hendropriyono. Hasil TPF ini diserahkan ke Presiden SBY pada 24 Juni 2005 dan setelahnya TPF dibubarkan.
Sementara, dari persidangan pembunuhan Munir, hanya satu orang yang terbukti bersalah, yaitu pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto. Dia divonis 14 tahun penjara. Setelah menerima beberapa kali remisi, Pollycarpus pun dinyatakan bebas bersyarat pada November 2014.
Deputi V BIN saat itu Muchdi Prawiro Pranjono pernah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Namun, pengadilan kemudian membebaskannya dari segala dakwaan.
Kasus itu kemudian menggantung. Setelah pergantian presiden dari SBY ke Joko Widodo, Suciwati menanyakan kasus pembunuhan suaminya lagi. Namun, pihak Istana mengiranya kasus ini sudah selesai.
Suciwati lalu mengajukan perkara ke Komisi Informasi Pusat (KIP), menuntut agar dokumen hasil penyelidikan TPF dipublikasikan.
Lewat surat putusan Nomor 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016, KIP menyatakan bahwa dokumen TPF Munir yang sudah diserahkan ke Presiden RI pada tahun 2005 merupakan informasi publik dan harus diumumkan kepada masyarakat.
Namun, Kementerian Sekretaris Negara tidak memegang dokumen TPF itu. Hingga kini dokumen TPF itu masih belum diketahui keberadaannya.