Pramoedya Ananta Toer Menolak Permintaan Maaf Gus Dur Perihal Pembantaian PKI dalam Sejarah Hari Ini, 26 Maret 2000
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur dalam suatu acara pada 2003. (Penerbit Insist Press)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 23 tahun yang lalu, 26 Maret 2000, sastrawan Pramoedya Ananta Toer menolak permintaan maaf Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atas pembantaian PKI 1965-1966. Pram menganggap permintaan maaf Gus Dur cuma basa-basi.

Alias, pemerintah tak kunjung berusaha mengembalikan martabat korban dan keluarganya. Sebelumnya, Gus Dur dikenal sebagai presiden yang kerap memperjuangkan nasib kaum terpinggirkan. Ia berani memposisikan dirinya berbeda pandangan dari kaum mayoritas.

Nyali Gus Dur membela segenap rakyat Indonesia tiada dua. Ia mampu memposisi diri berdiri di atas semua golongan. Bahkan, pembelaan itu telah dilakukan Gus Dur jauh sebelum ia menjadi orang nomor satu Indonesia.

Ia telah berani menentang pemerintahan Orde Baru (Orba) yang kebijakannya dianggap amburadul. Alih-alih menyejahterakan rakyat Indonesia, Orba dengan kekuatan militer justru dianggap kerap meneror rakyat seperti dalam kasus pembebasan lahan.

Pada pembangunan Waduk Kedung Ombo, misalnya. Gus Dur berani berpihak kepada mereka yang berstatus sebagai pesakitan. Tindak-tanduk itu kemudian tak banyak berubah kala ia menjadi orang nomor satu Indonesia.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer. (Wikimedia Commons)

Buktinya Ia secara terang-terangan meminta maaf atas pembantaian PKI 1965-1966. Penyataan itu diungkapnya dalam acara Secangkir Kopi bersama Gus Dur di TVRI pada 15 Maret 2000. Permintaan maaf itu kemudian akan diteruskan Gus Dur dengan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966.

Permintaan maaf Gus Dur kemudian menjadi salah satu peristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, beberapa Presiden Indonesia sebelumnya tak mengambil sikap yang sama, seperti yang dilakukan Gus Dur.

“la intelektual yang mempunyai integritas, punya komunitas kultural NU dan partai politik. la pemikir yang punya massa dan jaringan pertemanan yang luas. Justru politik kekuasaan membuat kebesaran Gus Dur teruji. Banyak kebiakannya yang ‘revolusioner’ dan wacananya yang terlampau berani. “

“Gus Dur meresmikan tahun baru Imlek, mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, membubarkan Departemen Sosial, Departemen Penerangan, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, menjajaki kemungkinan kerja sama politik dengan Israel, hingga meminta maaf kepada kalangan eks-Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai korban politik,” tertulis dalam buku Damai Bersama Gus Dur (2010).

Namun, tak semua orang setuju dengan permohonan maaf Gus Dur. Sastrawan, Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Eks tahanan politik (Tapol) Pulau Buru yang dianggap berafiliasi dengan PKI itu menganggap permintaan maaf Gus Dur tak lebih dari basa-basi belaka.

Penyataan itu diungkap Pram dalam wawancaranya bersama Majalah Forum, 26 Maret 2000. Baginya pemerintah tak serius. Sebab, nasib korban dan keluarga tak diperhatikan pemerintah. Reaksi Pram pun mendapatkan tentangan dari berbagai macam pihak. Terutama dari sesama eks tapol Pulau Buru.

Mereka menganggap langkah Gus Dur cukup baik. Bahkan, rekannya sesama sastrawan, Goenawan Mohamad ikut berkomentar dengan sikap Pram. Goenawan menganggap Pram keliru dalam mengambil sikap.

“Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung Menolak ide rekonsiliasi, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan, 26 Maret 2000, pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. Gampang amat, kata Bung. Saya kira di sini Bung keliru.”

“Ada beberapa kenalan yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih karena Bung telah bersuara parau ketidakadilan. Justru ketika berbicara keadilan,” terang sastrawan Goenawan Mohamad dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001).