Bagikan:

JAKARTA - Pejabat maskapai dagang Belanda, VOC kerap hidup nyaman di Nusantara. Mereka hidup bak Raja Jawa. Segala macam komponen hidup mewah diadopsinya. Dari pakaian mahal hingga rumah gedong. Semuanya untuk menjaga gengsi antara pejabat Kompeni.

Namun, gaya hidup mewah itu tak mampu membuat mereka hidup menetap. Kebanyakan pejabat ingin pensiun di kampung halamannya: Belanda. Mereka pun rela menjual seluruh komponen kekayaannya dengan uang tunai. Pakaian bekas pakai, apalagi.

Urusan hidup mewah, pejabat VOC jagonya. Laku hidup itu dilanggengkan mereka karena terinspirasi kehidupan Raja Jawa. Mereka merasa setara dengan pesohor di Nusantara. Sebab, antek-antek Kompeni dianggap mampu menghasilkan pendapatan tinggi. Sekalipun gaji resmi pejabat Kompeni terhitung kecil.

Pendapatan itu didapatnya tak lain dari aktivitas korupsi yang dilanggengkan. Aktivitas itu buat VOC sebagai maskapai dagang merugi. Kehidupan pejabat Kompeni justru sebaliknya. Mereka mampu hidup makmur dan kaya raya.

Bahkan, tiada yang mampu mengganggu perilaku koruptif pejabat Kompeni. Barang siapa yang mencoba jadi pahlawan kesiangan dan mengganggu eksistensi korupsi pejabat Kompeni, niscaya akan disingkirkan.

Lukisan yang menggambarkan gaya hidup pejabat VOC. (Wikimedia Commons)

Kebebasan mengumpulkan harta itu membuat sederet pejabat VOC hidup mewah dengan bebas. Gaya hidup mewah itu dilanggengkan pada tiap kesempatan. Dari pesta pernikahan hingga pemakaman. Ajang pamer pejabat VOC pun mencangkup segala hal. Ada yang memamerkan kereta kuda, budak, pakaian, hingga perhiasan yang digunakan.

Perilaku pejabat Kompeni itu jadi bukti Nusantara bak negeri yang menjanjikan kekayaan bejibun. Sebab, siapa saja berkarier di VOC dapat memiliki kesempatan meraih jabatan tinggi. Apalagi jika mereka punya relasi dan darah keluarga pejabat yang kuat.   

“Para pejabat tinggi VOC hidup seperti bangsawan tinggi Jawa bergaya mentereng. Dengan iringan hamba dan sahaya, dilengkapi rumah mewah berpekarangan luas dan iringan pengawal, dan bepergian dengan pengawalan sejumlah pelayan dan penjaga. Semua itu atas biaya penduduk, terlebih karena perjalanan itu selalu dibarengi dengan perlombaan, perburuan, dan pesta penyambutan.”

“Semua itu mengharuskan bupati dan bawahannya menyediakan beragam barang dan pelayanan: penginapan, kuda, makanan, minuman, perempuan, dan kesemuanya itu dalam jumlah besar. Sejalan dengan itu terjadi pemanfaatan nepotisme secara terbuka. Promosi bisa terjadi tanpa perlindungan petinggi, tetapi akan berjalan lebih cepat apabila berasal dari kalangan tinggi terutama aristokrat dan didukung oleh adanya koneksi,” terang Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014).

Jual Pakaian Bekas

Hidup terjamin dan kaya raya di Nusantara nyatanya tak membuat pejabat Belanda ingin pensiun di Nusantara. Kebanyakan pejabat hanya ingin menikmati hari tuanya di Belanda. Pun Nusantara hanya dianggap sebagai negeri ‘pencetak’ uang belaka. Tak lebih.

Keinginan untuk pensiun di kampung halaman itulah yang memaksa pejabat untuk menjual segala kompenen kekayaannya di Nusantara. Pakaian mewah bekas pakai, terutama. Mereka tak ingin membawa barang bawaan untuk pulang dan pakaian mewah di Nusantara belum tentu cocok dengan iklim Eropa. Alhasil, mereka cuma butuh ‘mentahnya’ saja.

Pensiunan pejabat pun memiliki dua opsi untuk menjual seluruh pakaian mewah yang dimilikinya. Pertama, mereka mempercayakan seluruh pakaian mewah yang dimilikinya kepada seorang makelar. Kedua, pensiunan pejabat itu dapat mengurus semua sendirinya. Itupun jika memiliki waktu luang.

Kegiatan menjual baju bekas milik pensiunan pejabat kemudian digemari. Utamanya di Batavia (kini: Jakarta). Kegiatan itu lalu menjelma jadi awal mula garage sale di Nusantara. Baju bekas itu kemudian jadi buruan. Apalagi jika baju itu dimiliki oleh orang yang memiliki jabatan tinggi.

Barangnya akan jadi rebutan seisi Batavia. Harga miring yang ditawarkan dan reputasi pejabat jadi musababnya. Mereka yang berhasil membelinya bak ketiban durian runtuh. Penjualan itu menjadi demikian populer seiring waktu.

Lukisan pejabat VOC di Batavia. (Wikimedia Commons)

Seorang pejabat yang ingin melakukan lelang barang akan menyebarkan selebaran pengunguman di seantero Batavia. Semuanya untuk menarik perhatian seisi Batavia untuk datang membeli. Alhasil, mereka dapat pulang ke kampung halamannya dengan membawa uang yang banyak.  

“Lelang merupakan suatu cara para pejabat kolonial menjual barang rumah tangganya, ketika mereka harus pulang ke Belanda atau dimutasikan ke daerah lain. Cara ini sudah berlangsung sejak akhir abad ke-18. Cara ini sebetulnya meneruskan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Seperti lelang budak, pachter candu, judi, dan rumah gadai.”

“Para pejabat tidak usah repot untuk mengurus perabot rumah tangganya. Sebab, ada makelar yang mengurus barangnya untuk dilelang. Tetapi bila mereka masih punya waktu, bisa dilakukan sendiri. Lelang perabot ini masih terus berjalan sampai awal abad 20, akibat masih sulitnya alat transportasi untuk mengangkut kepindahan keperluan rumah tangga mereka,” ungkap Zeffry Alkatiri dalam buku Jakarta Punya Cara (2012).