Presiden Megawati Soekarnoputri Kutuk Invasi Amerika ke Irak dalam Sejarah Hari Ini, 20 Maret 2003
Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri. (Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 20 tahun yang lalu, 20 Maret 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengutuk Amerika Serikat (AS) yang menginvasi Irak. Penyerangan itu dianggap Megawati sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia. Apalagi tuduhan Irak memiliki senjata pemusnah massal tak terbukti.

Sebelumnya, serangan 11 September 2001 (9/11) membuat AS berang kepada negeri Timur Tengah. Wilayah itu dianggapnya sebagai biang keladi kemunculan teroris. AS pun kemudian mulai melakukan politik memukul.

Runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) membuat segenap rakyat AS berduka. Peristiwa itu dikenang luas sebagai tragedi 9/11. Muaranya adalah kehadiran sekelompok teroris melakukan pembajakan pesawat dan menabrakannya langsung ke WTC. Gedung yang dielu-elukan sebagai lambang kekuatan ekonomi, politik, hingga militer.

Presiden AS, George W. Bush tak tinggal diam. Ia kemudian mengumandangkan perang melawan terorisme internasional. Gema itu kemudian membuat AS mulai melancarkan ajiannya melawan terorisme secara membabi buta. Negeri Timur Tengah jadi sasaran.

Irak yang dipimpin Saddam Hussein, apalagi. Irak dianggap Bush memiliki potensi untuk mengancam hajat hidup seisi dunia. Saddam Hussein disebut-sebutnya tengah mempunyai senjata pemusnah massal.

Presiden Amerika Serikat, George W. Bush berjumpa Presiden Megawati Soekarnoputri di Gedung Putih pada 2001. (Wikimedia Commons)

Tuduhan itu terus menerus digulirkan hingga tim pengawas senjata dari PBB turun tangan. Mereka kemudian memeriksa isu Irak memiliki senjata nuklir. Hasilnya nihil. Tiada senjata nuklir yang ditemukan. Alih-alih berhenti, AS justru terus melakukan politik memukul.

AS melemparkan tuduhan bahwa kediktatoran Saddam Hussein dibenci segenap rakyat. AS lalu mencoba menjadi juru selamat yang ingin membebaskan Irak dari cengkraman pemimpin bengis. Perang Irak pun pecah setelahnya.

“Bahwa Saddam Hussein seorang diktator yang bengis memang sebuah fakta yang sulit dibantah. Bahwa rakyat Irak perlu didukung agar terbebaskan dari penindasan rezim otoriter ini juga sebuah keniscayaan. Namun mengenai bagaimana cara yang benar dalam membantu rakyat Irak agar mendapatkan kembali haknya untuk memilih sendiri pemerintahannya secara bebas adalah soal yang lain.”

“Yang pasti, mengirimkan kekuatan militer untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein tanpa dukungan dunia internasional, seperti yang kini dilakukan Amerika Serikat dengan bantuan penuh Inggris, adalah bukan cara yang dapat dibenarkan. Sebab, metode ini tak ada bedanya dengan gerakan kolonialisme di masa lalu,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Robohnya Rezim Saddam (2003).

Penyerangan itu membuat penduduk dunia terbagi dalam dua kubu: kubu mendukung dan mengutuk. Indonesia pun tampil berani dengan mengutuk langkah AS invasi Irak pada 20 Maret 2003. Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu menganggap langkah AS kelewat batas.

Pasukan Amerika ketika menduduki Irak. (Wikimedia Commons)

Ia pun tak segan-segan menyebut invasi ke Irak terlalu dipaksakan. Apalagi senjata pemusnah massal yang dituduhkan tak kunjung ketemu. Bagi Megawati, invasi AS justru menciderai kedamaian dunia. Indonesia pun meminta Dewan Keamanan PBB untuk segara ambil sikap atas langkah AS.

“Setelah Amerika melakukan agresi militernya terhadap Irak, pada 20 Maret 2003 pemerintah Indonesia dalam beberapa jam sesudahnya mengeluarkan pernyataan yang sangat tegas. Pertama, mengutuk keras agresi militer Amerika. Kedua, serangan militer itu merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia.”

“Ketiga, meminta Dewan Keamanan menggalang kerja sama guna mengambil langkah korektif. Tidak banyak negara yang mampu mengambil sikap atau posisi yang tegas, apalagi menentang Amerika,” ungkap Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirajuda yang menjabat 2001 hingga 2009 dalam buku The Brave Lady: Megawati dalam Catatan Kabinet Gotong Royong (2019).