Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 34 tahun yang lalu, 18 Maret 1989, cendekiawan Islam, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ogah mengutuk novel The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) karya Salman Rushdie. Narasi itu ditulisnya lewat resensi novel di Majalah Editor.

Baginya, novel yang terbit pada 1988 itu mampu menyamarkan realita dan dunia khayal jadi satu. Sebelumnya, banyak pemimpin Islam yang mengecam keras hadirnya The Satanic Verses. Pemimpin besar Iran, Ayatollah Sayyid Khomeini, salah satunya. Novel itu dianggap menistakan agama Islam.

Kesukaan Gus Dur akan buku tiada dua. Semuanya karena Gus Dur tumbuh dalam keluarga yang gemar membaca. Alih-alih hanya belajar buku agama saja, Gus Dur justru mempelajari dan menikmati semua jenis buku. Bahkan, kesukaannya akan buku telah berlangsung sejak remaja.

Bacaan Gus Dur kala itu terhitung lebih banyak dari rekan sebayanya. Ia melanggengkan aktivitas membaca buku di mana saja dan kapan saja. Dari membaca buku di rumah hingga halte bus. Kesukaan akan buku makin meningkat ketika Gus Dur memilih kuliah di luar negeri, Mesir.

Akivitas dunia perkuliahannya di Universitas Al Azhar dianggap tak terlalu menarik. Ia jadi sering bolos kuliah untuk dapat menonton film dan baca buku. Gus Dur merasa dari film dan buku lebih banyak pelajaran berharga ketimbang di kampus.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) muda yang gemar membaca buku hingga majalah. (Wikimedia Commons)

Ia kerap berkunjung ke banyak perpustakaan di Mesir. Alhasil, pengetahuan Gus Dur tak melulu khatam urusan agama, tapi juga urusan lainnya. Dari politik hingga budaya.

“Bila ia tidak membaca di perpustakaan Universitas Amerika, ia sering berada di perpustakaan Universitas Kairo atau di perpustakaan Prancis. Gus Dur masih ingat bahwa ketika itu ia membaca apa saja dan di mana saja, tanpa memilih-memilih tempat. la juga membaca di sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Bila tidak ada buku maka potongan surat kabar atau sebuah majalah tua dapat memuaskan dahaganya akan bacaan.”

“Gus Dur dapat membaca dengan cepat. Bahkan ketika masih belajar di pesantren di Jawa ia masih bisa menyisihkan waktu untuk kegemarannya membaca ini. Di Kairo, berkat kebebasan yang secara relatif dimilikinya dan juga jadwalnya yang tidak padat sebagai hasil dari caranya yang nakal dalam menghadapi kelas-kelas yang seharusnya ia ikuti, ia bisa membaca sebanyak yang diinginkannya,” ungkap Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur (2003).

Pengetahuan yang mempuni di dunia perbukuan itulah yang membuat cara pandang Gus Dur terbilang unik. Pada saat ia membuat resensi novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie, misalnya. Tulisan Gus Dur itu mejeng di Majalah Editor pada 18 Maret 1989.

Ia berani memilih berseberangan pendapat dengan ulama-ulama dunia, macam Khomeini. Pun Gus Dur ogah mengutuk novel itu. Sekalipun samar-samar terdapat nada penghinaan. Gus Dur berpegang teguh bahwa buah pikiran dari Salman Rushdie adalah rekaan khas novel belaka. Ia bercerita terkait dua orang yang selamat dari kecelakaan pesawat. Satunya jadi malaikat. Lainnya jadi setan.

Sampul depan The Satanic Verses, novel karangan novelis Inggris berdarah India, Salman Rushdie yang menghebohkan dunia di tahun 1988. (Wikimedia Commons) 

Alhasil, tak perlu dibesar-besarkan. Apalagi harus di fatwa mati seperti yang Khomeini lakukan. Sebab, Salman Rushdie dianggap Gus Dur berhasil menyamar fakta dan khayal dalam novel itu. Urusan tersebut menurut Gus Dur bukan masalah besar. Penikmat buku sebagaimana diyakini Gus Dur akan dapat memisahkan mana fakta dan mana bualan Salman Rushdie.

“Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses. Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat unsur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan humor.”

“Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia yakin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh kenakalan dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggelisahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang ‘ganas’ dan cemburu,” terang Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Koran Tempo berjudul Gus Dur (2010).