Bagikan:

JAKARTA - Perjuangan Soekarno melepas belenggu penjajahan tak mudah. Ia butuh dana besar untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Apalagi kala itu Bung Karno masih kuliah. Inggit Garnasih pun turun tangan. Inggit bergerak sebagai tulang punggung keluarga sampai Bung Karno jadi insinyur.

Namun, Bung Karno tak lepas tangan. Ia juga membantu sedikit-sedikit kebutuhan keluarganya. Bung Besar pun menempuh karier sebagai guru. Improvisasi pengajaran dilakukannya. Sekalipun kemudian ia dipecat karena itu.

Kota Bandung memiliki arti penting bagi Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan. Kepekaan Bung Karno terhadap kondisi kaum bumiputra makin terasah. Ia merasa penjajahan Belanda membuat kaum bumiputra sengsara.

Narasi itu membuat Bung Karno tak tinggal diam. Ia yang tercatat sebagai mahasiswa di Technische Hoogeschool (cikal bakal Institut Teknologi Bandung: ITB) memilih masuk ke dunia pergerakan. Ia aktif berkumpul dengan pejuang kemerdekaan lainnya.

Aktivitas itu dilakoninya dengan serius. Semuanya demi menyebarkan ide-ide kemerdekaan supaya lebih luas. Kondisi itu didukung penuh oleh istrinya, Inggit Garnasih. Wanita yang akrab disapa Inggit melihat perjuangan suaminya takkan mulus jika harus dibebankan pikiran untuk mencari nafkah, belajar, dan berjuang dalam satu waktu.

Anak-anak pegawai Istana Negara sedang memberikan selamat kepada Bung Karno yang sedang berulang tahun pada 1951. (ANRI)

Inggit berinisiatif untuk bergerak membantu Bung Karno. Inggit kemudian menjelma sebagai tulang punggung keluarga. Dari berjualan bedak hingga rokok. Semua itu dilakukan untuk menghidupi keluarganya, termasuk membiayai perjuangan suaminya.

“Aku sudah tahu bahwa Kusno mahasiswa. Aku merasa berkewajiban mengemongnya supaya ia cepat berkesampaian mendapatkan gelarnya. Itulah tugasnya yang utama datang di Bandung. Ia mesti jadi insinyur. Tetapi, dalam waktu perkenalanku yang tidak panjang, aku sudah bisa menangkap cita-citanya yang sebenarnya.”

“Ia tidak akan mengutamakan mengumpulkan harta kekayaan. Ini berarti aku harus bekerja keras, terutama sewaktu Kusno masih sekolah. Tetapi aku telah dipersiapkan untuk itu. Aku telah biasa bekerja. Aku telah biasa mendapatkan nafkah sendiri dengan hasil keringat sendiri, dan aku berjuang untuk itu,” cerita Inggit Garnasih sebagaimana diolah Ramadhan K.H. dalam buku Kuantar Ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dan Bung Karno (1988).

Soekarno Jadi Guru

Bung Karno setelah menjadi insinyur memang bak menumpang hidup kepada Inggit Garnasih. Akan tetapi, Bung Karno juga ikut sedikit-sedikit membantu keuangan keluarga. Ia dan kawan-kawannya membuka biro arsitek.

Ia tahu biro itu tak banyak mendatangkan pundi-pundi pendapatan. Utamanya karena ia menolak bekerja di pemerintahan. Alhasil, Soekarno memilih untuk mendaftarkan diri sebagai guru di Ksatrian Instituut. Sebuah sekolah yang diselenggarakan oleh kawannya Ernest Douwes Dekker (kemudian dikenal sebagai Danudirja Setiabudi) pada 1924.

Ksatrian Instituut kebetulan sedang mencari seorang guru untuk mengisi pelajaran ilmu pasti dan sejarah. Soekarno percaya diri. Namun, ia punya masalah. Boleh jadi ia menguasai penuh pelajar sejarah, namun tidak dengan ilmu pasti.

Kekhawatiran akan kemampuan Soekarno mengajar ilmu pasti sempat ditanyakan Ernest. Soekarno menjawab dengan menyakinkan: ia bisa. Jawaban itu didorong dengan kondisi keuangan keluarganya yang semakin menipis.

Ia kemudian memulai kariernya sebagai seorang guru. Soekarno mengajar siswa yang berasal dari kaum bumiputra, China, dan Indo Belanda. Bahkan, salah satu muridnya adalah anak dari mantan mertuanya, H.O.S. Tjokroaminoto, Anwar Tjokroaminoto.

Anak-anak sekolah sedang bernyanyi di depan Bung Karno dan Bung Hatta dalam acara Hari Ulang Tahun kemerdekaan Indonesia ke-6 pada 1951. (ANRI)

Masalah pun muncul. Tiada yang mengajari Bung Karno cara mengajar. Ia bahkan tak dapat mendekati metode resmi cara mengajar di Ksatrian Instituut. Sekalipun Soekarno cukup mempuni untuk pelajaran sejarah.

Pelajaran sejarah saja diajarkan Bung Karno dengan cara memberikan pengertian penuh sejarah dengan analisis politik. Ia tak ingin membuat anak didiknya sibuk belajar sejarah dengan hanya hafal nama, tahun, atau tempat. Metode itu membuatnya bak menelurkan perkembangan dalam dunia pendidikan era Belanda.

Suasana kelas jadi hidup. Seisi kelas terpesona dengan cara mengajar Soekarno. Belakangan, metode itu nyatanya membuat pengawas sekolah dari pemerintah kolonial Hindia Belanda berang. Alih-alih mendukung, mereka justru tak berkenan dengan cara mengajar Bung Karno.

Semuanya karena Bung Karno kerap mengejek pemerintah kolonial di kelas. Tindakan itu membuat Bung Karno dipecat. Bung Karno dianggap pengawas bukan guru sejati, tapi ia adalah seorang orator. Lagi pula, ruangnya bukan di dalam kelas, tetapi berada di panggung.

“Secara kebetulan pelajaran kali ini berkenaan dengan imperialisme. Karena aku sangat menguasai pokok persoalan ini, aku menjadi begitu bersemangat sehingga aku terlompat‐lompat dan mengutuk seluruh sistemnya. Dapatkah engkau membayangkan? Di hadapan penilik (pengawas) sekolah bangsa Belanda yang memandang padaku dengan wajah tidak percaya, aku sungguh‐sungguh menamakan Negeri Belanda sebagai kolonialis yang terkutuk ini.”

“Ketika pelajaran dan kisahku kedua‐duanya selesai, penilik sekolah itu menyatakan dengan seenaknya bahwa menurut pendapatnya sesungguhnya aku bukan pengajar yang terbaik yang pernah dilihatnya dan bahwa aku tidak mempunyai masa depan yang baik dalam pekerjaan ini. Ia berkata kepadaku: Raden Soekarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembicara! Dan inilah akhir daripada karierku yang singkat sebagai guru,” ungkap Soekarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2000).