JAKARTA - Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) jadi bagian besar dalam sejarah bangsa. Surat itu jadi penentu bagaimana Jenderal Soeharto mengambil alih posisi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Bambang Widjanarko, ajudan pribadi Soekarno menyaksikan detik-detik mendebarkan terbitnya Supersemar.
Supersemar berisi pesan kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan selepas kekacauan politik. Sebuah langkah yang dibutuhkan untuk memulihkan keamanan umum, melindungi presiden, dan ajaran presiden. Tapi Soeharto bertindak lebih jauh. Tindakan yang membuat Soekarno turun takhta.
Begitulah narasi umum tentang Supersemar. Kondisi lebih nyata terjadi di Istana Bogor, ketika tiga jenderal Angkatan Darat (AD), Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud tiba menyambangi Soekarno. Bambang Widjanarko menyambut langsung ketiganya. Ia juga yang mengantar tiga jenderal ke paviliun tempat Soekarno.
Dalam pertemuan itulah Bung Karno mengeluarkan Supersemar yang tersohor. Usai pertemuan, Bung Karno menuju Jakarta naik helikopter. Sementara, kendaraan yang menjemput tiga jenderal itu tak kunjung datang. Alhasil, Bambang menawarkan kendaraannya untuk ditumpangi para jenderal.
Dengan berdesak-desakan, Bambang mengantar tiga jenderal itu ke Jakarta dalam remang-remangnya malam. “Berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh Bung Karno sendiri itulah jalan hidup Bung Karno berubah dan karier politiknya berakhir," tertulis dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (1998).
"Kesibukan Bung Karno pada akhir tahun 1966 dan awal tahun 1967 hampir tidak ada lagi. Ia hanya didampingi Ibu Hartini beserta dua putranya dan ditemani ajudan dan kawal pribadi, Bung karno berada di pavilyun Istana Bogor. Tidak banyak lagi orang-orang yang datang termasuk teman-temannya,” lanjutan pernyataan Bambang.
Bambang menambahkan, setelah Supersemar keluar, banyak orang menjauhi Bung Karno karena takut dikira mendukung Bung Besar. Mereka yang tadinya dekat, kemudian menjauh. Sampai-sampai, mereka yang sempat dekat dengan Bung Karno mulai berteriak mencaci untuk menutupi dukungan mereka.
Bambang menggambarkan kondisi itu seperti pepatah: Ada gula ada semut, dan bila kapan tenggelam, yang pertama-tama adalah tikus-tikus lari meninggalkannya.
Kendati demikian, hal itu tak berlaku bagi orang yang telah mendampingi Bung Karno sedari dulu, seperti Johannes Leimena dan Agoes Moesin Dasaad. Mereka tetap setia datang sebagai sahabat pribadi Bung Karno. Persahabatan itu, kata Bambang adalah persahabatan sejati antara manusia dan manusia.
Malam keroncong
Kenangan lain terkait detik-detik terakhir Bung karno di Istana Bogor adalah ketika di satu waktu Bung Besar ingin mengadakan malam keroncong. Malam itu Bung Karno ingin bergembira melepaskan sejenak kepenatan.
“Kami memanggil seniman-seniman dari Jakarta dan Bogor agar mereka bermain di Istana Bogor pada malam Minggu. Lagu-lagu keroncong asli dan stambul yang diperdengarkan malam itu seperti Sapu Lidi, Muritsku, Bunga Mawar, dan sebagainya, terdengar bertambah merdu dan menghanyutkan karena sejuknya hawa dan serasinya suasana Istana Bogor. Bung Karno menggemari keroncong asli, bukan lagu-lagu langgam yang dimainkan dengan irama keroncong,” ungkap Bambang Widjanarko.
Pada malam keroncong, Bung Karno makin bersemangat dan mengajak seniman-seniman itu untuk terus menggali lagi lagu-lagu lama. Setelah malam itu, Bung Karno minta dua minggu sekali diadakan Malam Keroncong di Istana Bogor.
Nyatanya malam bahagia itu harus berakhir. Bulan Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengadakan sidang luar biasa. Pada akhir sidang dikeluarkan satu keputusan yang menetapkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia ke-2.