Bagikan:

JAKARTA - Peran ibu dalam mendidik seorang anak begitu besar. Hal itu berlaku universal. Tak terkecuali bagi sang Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. 

Bagi Soekarno, ibu merupakan segalanya. Ia bisa berperan sebagai pendidik yang tegas lagi disegani, bisa pula menjadi sosok sahabat yang begitu lembut dan dekat. Ia juga bisa berperan sebagai seorang perawat, hingga tempat berlindung dan pendongeng. Oleh karenanya, Soekarno selalu menyanjung peran sang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai (1881-1985). 

Salah satu hal yang paling membekas dari sosok ibu bagi Soekarno terkait masa kanak-kanaknya yakni ketika ia sering diberi cerita dongeng olehnya. Soekarno kala itu tak mendapatkan asupan cerita-cerita bermutu seperti di televisi atau cerita dari dunia barat (Wild West) yang dibumbui. 

Apalagi, keluarga Bung Besar bukan berasal dari keluarga nigrat atau priayi kelas atas bergelimang harta. Alhasil, cerita-cerita kebangsaan dan kepahlawanan selalu diceritakan ibunya kepada Kusno --nama kecil Bung Karno.

Diceritakan penulis Amerika, Cindy Adams kisah-kisah yang diceritakan Ida Ayu didominasi kisah-kisah para pejuang kemerdekaan. Ditambah lagi kisah ayah Bung Besar, Soekemi Sosrodihardjo yang seorang Jawa mempersunting Ida Ayu --seorang Bali-- jadi bumbu masa kecilnya. Kemudian, cerita-cerita itu menjadikan Bung Karno paham terkait problematika bangsanya.

Berdasarkan sejarahnya, wanita Bali jarang ada yang mau dipersunting oleh orang luar daerahnya. Namun, sang Ibu mendobrak kekakuan itu dengan berani menikah dengan ayah Bung Karno. Lantaran itulah Bung Karno mendapatkan pelajaran berharga terkait keberagaman dalam slogan "Bhineka Tunggal Ika."

"Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika: Berbeda-beda tapi satu jua. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satusatunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu," ucap Bung Karno dikutip oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Soekarno dan keluarganya (Sumber: Wikimedia Commons)

Ada pula kisah menarik Bung karno yang sewaktu kecil sering sakit-sakitan. Oleh kedua orang tuanya, nama kecil Bung Besar, Koesno Sosrodihardjo itu kemudian diganti menjadi Soekarno. Nama Soekarno diambil dari tokoh pewayangan Karna, seorang panglima perang pihak Kurawa dalam kisah Bharatayudha yang berbudi luhur. 

“Nama ‘Karna’ menjadi ‘Karno’ karena pelafalan dalam bahasa Jawa huruf ‘a’ di akhir kata berubah menjadi ‘o.’ Sedangkan tambahan awalan ‘su’ dalam bahasa Jawa Kuno memiliki makna baik, mulia, atau agung,” tulis Rhien Soemohadiwidjojo dalam buku Bung Karno Sang Singa Podium (2017).

Dilarang kuliah di Belanda

Suatu hari sempat ada perdebatan untuk menentukan di mana Soekarno harus menempuh pendidikan tinggi. Bung Besar sempat ingin melanjutkan kuliah di Belanda. Namun sang ibu melarangnya.

Bung Karno nyaris tidak menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (Sekarang: Institut Teknologi Bandung), tetapi belajar di Negeri Belanda. Seandainya hal itu terjadi barangkali akan lain perjalanan sejarah Indonesia.

“Seandainya Soekarno diizinkan oleh ibunya meneruskan studinya di Negeri Belanda setamat dari Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya 10 Juni 1921, tentunya ia akan bertemu dengan Hatta sebagai mahasiswa di Negeri Kincir Angin. Kalau itu terjadi, barangkali bisa lain pula suasana Perhimpunan Indonesia di Nederland, dan barangkali akan lain pula hubungan Soekarno-Hatta. Tetapi tidak ada ‘seandainya’ dalam sejarah. Realitanya ‘nasib’ menentukan lain bagi Soekarno,” tulis P. Swantoro dalam Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002).

Dialog percakapan antara Bung Karno dan ibunya, tak lain dimulai dari keinginan sang anak yang menjelaskan kepada ibunya bahwa semua lulusan HBS, otomatis pergi ke Negeri Belanda. Menurut Bung Karno itu proses normal. Siapa pun yang ingin mendapatkan pendidikan universitas, mesti ke Holland, kata Bung Karno.

Dengan tegas ibunya menolak. “Tidak, sama sekali tidak,” kata sang ibu. Baginya, belajar ke Belanda bukan sebuah tujuan, justru dengan kuliah di sana akan banyak kekeliruan. 

“Apa yang menarik kamu? Harapan akan mendapatkan gelar universitas, atau keinginan akan wanita kulit putih?” Tanya kembali ibunya. Lantas Soekarno menjawab: "Saya mau ke universitas, ibu."

“Kalau memang demikian, kamu akan masuk universitas di sini. Pertama, kita harus mempertimbangkan masalah pokok yang menguasai apapun dalam kehidupan kita. Uang. Terlalu mahal pergi ke luar negeri. Lagi pula kamu seorang anak yang lahir dengan darah Hindia. Saya mau kamu tinggal di sini antara bangsamu sendiri. Jangan pernah lupa, anakku, tempatmu, tujuan hidupmu, warisanmu, adalah di pulau ini,” tutur ibu Soekarno dikutip P. Swantoro.

Ramalan sang ibu

Soekarno mengakui, sang ibu merupakan salah satu sumber motivasi terbesar sampai ia tumbuh dewasa. Salah satu api semangat yang ditanamkan dalam diri Soekarno adalah ketika sang ibunda memberi julukan Putra Sang Fajar padanya. Saat itu sang ibu membesarkan hatinya dengan berkali-kali menyebutkan bahwa Soekarno akan menjadi seorang pemimpin dari Rakyat Indonesia.

"Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia (ibu) memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, 'Engkau sedang memandangi fajar, nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing," kata Soekarno ketika menceritakan ibunya.

Ibunya berkata, orang Jawa mempunyai kepercayaan bahwa anak yang dilahirkan pada saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Ucapan itu pun menjadi kenyataan. Lewat doa ibunya tersebut putranya lalu muncul menjadi salah seorang yang menggelorakan semangat kaum bumiputra merebut kemerdekaan Indonesia.

Pada akhirnya, sugesti sang ibu membawa Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelahnya, Bung Karno menjadi Presiden Indonesia Pertama, didampingi oleh Mohammad Hatta sebagai wakilnya.