JAKARTA - Peran ibu sungguh luar biasa. Apalagi bagi seorang tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta. Peran ibunya, Siti Saleha (1881-1959) begitu besar. Dari perkara agama hingga pendidikan selalu terselip peran ibunya. Alhasil, berkat campur tangannya, Hatta tumbuh menjadi insan yang cerdas dan berani. Hatta juga jadi salah satu aktor utama Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan Belanda.
Mohammad Hatta lahir di Bukit Tinggi, 12 Agustus 1902. Sang ayah bernama Haji Mohammad Jamil dan ibunya bernama Siti Saleha. Meski begitu, kedua orang tuanya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda.
Dikutip dari Anwar Abbas dalam buku Bung Hatta dan ekonomi Islam (2010), Ayah Hatta berasal dari Batu Hampar, sekitar 9 kilo dari Kota Payakumbuh yang termasuk dalam Luhak --wilayah-- Limo Puluh Kota. Sementara, ibunya berasal dari Kota Bukittinggi yang termasuk luhak Agam. Kedua orang tua Hatta merupakan sosok terhormat dalam lingkungan masyarakat di luhak masing-masing.
“Ayah Hatta adalah anak dari Syekh Arsyad, seorang guru agama dan pimpinan Tariqat Naqsyabandi yang cukup terkenal di daerahnya. Beliau tidak sempat merawat dan membesarkan anaknya karena dia sudah meninggal dalam usia yang masih terbilang muda yaitu 30 tahun, ketika Hatta masih berusia tujuh bulan. Sedangkan ibunya adalah anak dari Ilyas Bagindo Marah, yaitu seorang pedagang yang cukup kaya di kota Bukittinggi,” ungkap Anwar Abbas.
Meninggalnya ayah Hatta membuat Siti Saleha lama menjanda. Oleh sebab itu, ia mengambil sebagian besar peran dalam mendidik Hatta.
Beberapa waktu kemudian, Siti Saleha kemudian menemukan tambatan hati baru, Mas Agus Haji Ning. Setelai dengan itu, harapan Siti Saleha kepada Bung Hatta untuk menjadi insan yang berani dan cerdas terus tumbuh.
Saleha mengejawantahkan visinya ke dalam pendidikan. Bagi seorang saudagar Bukittinggi ini, harta kekayaan tak akan berarti apa-apa bila tak diinvestasikan lewat pendidikan bermutu. Menurutnya pendidikan merupakan syarat utama untuk sukses. Apalagi, Hatta adalah satu-satunya putra sulung Saleha.
Siti Saleha sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ia juga tak membedakan antara kualitas pendidikan agama, dengan pendidikan umum. Dalam mengajarkan agama, Siti Saleha membekali Hatta dengan pemahaman agama. Siti Saleha kemudian menjadi guru agama yang cakap. Begitu pula dengan pendidikan umum. Saking seriusnya, Hatta kecil nampaknya telah dipersiapkan untuk menempuh pendidikan formal dengan baik.
"Hal ini dapat dilihat dari fakta, Hatta sudah didaftarkan ke Sekolah Rakyat (SR) meskipun usianya belum mencapai enam tahun. Ketika pendaftaran ini ditolak, kakek Hatta yang disebutnya Pak Gaek memasukkannya ke sekolah privat Belanda selama tujuh bulan, khususnya untuk memacu kemampuan Hatta dalam membaca dan menulis. Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah privat Belanda ini, Hatta baru diterima belajar di Sekolah Rakyat di Bukittinggi,” ujar Zulfikri Suleman dalam buku Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010).
Saleha menanam doa abadi pada nama anaknya tersebut. Mohammad Hatta mulanya bernama Mohammad Athar.
Kata Mohammad diambil dari nama Nabi, sementara kata Athar berasal dari bahasa Arab yang artinya harum. Oleh lidah masyarakat Minangkabau, kata Athar sering diucapkan Atta. Perlahan-lahan, Athar berubah berbuah menjadi Hatta. Maka, secara paripurna setelah itu nama Mohammad Athar menjadi Mohammad Hatta.
Intervensi sang ibu
Besarnya kepedulian sang ibu kepada Hatta bukan tak lepas dari perselisihan. Suatu hari sempat ada perdebatan untuk menentukan di mana Bung Hatta akan melanjutkan sekolah setelah lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS).
Satu sisi Hatta berkeras ingin melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia (Jakarta). namun sang ibu melarangnya. Siti Saleha bukan menentang karena biaya yang dikeluarkan begitu besar, seperti alasan ibu Soekarno melarang anaknya ke Belanda. Melainkan, Ibu Hatta melarang karena anaknya masih terlalu muda untuk merantau.
Terkait peran ibu Soekarno dalam kehidupan seorang proklamator kemerdekaan, kami telah mengulasnya secara panjang lebar dalam tulisan “Peran Ibu dalam Hidup Soekarno.”
“Sewaktu ia menyiapkan diri ke Betawi, tiba-tiba ibunya tidak mengizinkan pergi. Sependengarannya, banyak anak muda yang dikirim sekolah ke 'kota pesiar' itu patah pelajarannya di tengah jalan. Lebih baik ia masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Baru kemudian melanjutkan ke HBS," tulis P. Swantoro dalam buku Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002).
"Permintaan ini sangat berat bagi Hatta. Ia akan rugi satu tahun kalau masuk HBS dari MULO. Lulusan MULO hanya diterima di kelas tiga HBS karena ilmu kimia tidak diajarkan di MULO, sedangkan pelajaran kimia dimulai di kelas tiga,” papar Swantoro.
Sempat menyerah
Atas perdebatan itu, Bung Hatta sempat menganggap hal itu sebagai krisis pelajaran pertama. Bahkan dalam memoarnya Mohammad Hatta: Memoir (1979), Bung Hatta mengungkapkan sempat ingin berhanti bersekolah lantaran bingung dan patah hati.
Hatta sempat ingin bekerja saja sebagai asisten pos. Selain karena gaji permulaannya pun sudah relatif tinggi, menurut Bung Hatta dirinya masih memiliki kemungkinan untuk ikut kursus di Batavia.
BACA JUGA:
“Meskipun prospek pekerjaan itu cukup menarik bagi Hatta, apalagi sekaligus juga menjadi ‘pelipur lara,’ akan tetapi akhirnya ia toh menyerah pada bujukan ibu dan pamannya untuk memasuki MULO di Padang. Ia lulus bulan Mei 1919 sehingga dapat melanjutkan ke sekolah dagang PHS di Batavia. Dari sekolah ini ia lulus pada Mei 1921. Pada 3 Agustus 1921, Hatta sudah menumpang kapal ‘Tambora.’ Dan 5 September 1921 berlabuh di Rotterdam, Belanda, untuk selanjutnya menjadi mahasiswa di Handels Hogeschool di Rotterdam pula,” tambah P. Swantoro.
Pada akhirnya, intervensi sang ibu membawa Bung Hatta menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelahnya, ia mendampingi Bung Karno sebagai wakil presiden pertama Republik Indonesia.