Bagikan:

JAKARTA - Mohammad Hatta adalah kebalikan Soekarno soal wanita. Memiliki pasangan bukan prioritasnya. Hatta bahkan berjanji tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Tapi sampai merdeka pun Hatta tetap sendiri. Soekarno tak tahan. Ia berhasil jadi 'mak comblang' untuk Hatta dan Rachmi.

Sewaktu menimba ilmu di Belanda (1921-1932), Hatta tumbuh jadi pribadi yang aktif nan kritis. Tiap ada waktu luang Hatta selalu memanfaatkannya untuk menambah pengetahuan: membaca dan berdiskusi. Hatta tergabung pula sebagai anggota Indische Vereniging (Perkumpulan Hindia).

Indische Vereniging adalah perkumpulan sosial yang lima tahun kemudian berubah menjadi organisasi politik, Indonesische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Aktivitas itu semata-mata ditekuni Bung Hatta untuk melanggengkan cita-cita Indonesia memperoleh kemerdekaan.

Buahnya, Hatta tak menjadikan dansa-dansi dan wanita sebagai bagian dari kehidupannya di Belanda. Setiap ada pembicaraan yang mengarah kepada wanita, Bung Hatta selalu menghindar. Meski begitu bukan berarti Hatta tak memiliki daya tarik untuk lawan jenis.

Kepintaran Bung Hatta mampu memikat banyak wanita Eropa. Namun Hatta sendiri yang kurang tertarik. Teman-teman seperjuangan di Belanda ikut penasaran. Mereka mengatur kencan Bung Hatta dengan gadis cantik asal Polandia. Seperti yang sudah-sudah, Bung Hatta tak mempan dirayu.

Hatta dan Soekarno (Sumber: Commons Wikimedia)

“Pada awal 1920-an itu, Hatta menjadi juru propaganda terkemuka Perhimpunan Indonesia (PD). Dalam pidato pelantikannya sebagai Ketua PI beberapa tahun kemudian, Hatta mengemukakan analisisnya tentang akar-akar kolonialisme, berjudul: Struktur Dunia Ekonomi dan Konflik Kekuasaan, dan tentu saja dia mengutip Hegel serta Marx,” ungkap Farid Gaban dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Sang Pertapa Revolusioner (2000).

“Dia makin terkenal karena tulisan politiknya yang tajam dan provokatif dalam jurnal Indonesia Merdeka, dengan antara lain menganjurkan 'politik non-kooperasi' justru di jantung kolonialisme itu sendiri. Sementara itu Hatta menjalani asketisisme revolusioner yang hampir steril --tak minum alkohol, tak tertarik pada dansa-dansi, dan bahkan bersumpah takkan kawin sebelum Indonesia merdeka, sumpah yang benar-benar ditunaikannya,” tambahnya.

Sekembalinya ke Indonesia pun begitu. Sekalipun Hatta adalah sahabat Soekarno, keduanya punya banyak perbedaan. Bung Karno bahkan memiliki cara terbaik melukiskan tentang pribadi Putra Minangkabau dengan menceritakan pengalaman Hatta dengan seorang gadis cantik.

Suatu sore kendaraan yang ditumpangi Bung Hatta pecah ban. Sopirnya berinisiatif mencari bantuan dan meninggalkan Hatta dengan gadis cantik. Dua jam berlalu. Sopir itu kembali dengan bantuan. Menurut penuturan sang sopir, Bung Hatta memilih tidur di sudut berjauhan dengan si gadis cantik.

Semenjak itu, Bung Karno berpendapat urusan wanita tak pernah menarik hati seorang Bung Hatta. Jejaka Hatta adalah seorang yang pemerah muka apabila berjumpa dengan seorang gadis. Banyak waktu Bung Hatta habis hanya untuk politik.

Bung Karno 'Comblangi' Hatta-Rachmi

Hatta dan Soekarno (Sumber: Commons Wikimedia)

Saat Indonesia telah merdeka, Bung Karno mengingatkan kembali janji Hatta untuk segera menikah. Ia bersedia membantu asal Bung Hatta terbuka soal sosok wanita yang benar-benar diinginkannya. Ternyata sosok yang diinginkan Bung Hatta adalah anak dari kawan lama Bung Karno, Abdul Rachim.

“Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya. Setelah saya (Soekarno) selidiki ternyata gadis pilihan Hatta itu Rachmi, putri keluarga Rachim,” cerita Soekarno dituliskan R. Soeharto dalam buku Saksi Sejarah (1982).

Bung Hatta bersedia saja dicarikan jodoh. Tapi ada persyaratan yang diajukan kepada Bung Karno. Bung Hatta ingin Bung Karno bertanggung jawab ketika menceraikan istri keduanya, Inggit Garnasih. Bung Hatta kemudian merundingkan syarat-syarat perceraian Bung Karno-Inggit bersama Ki Hajar Dewantara dan juga Kiai Haji Mas Mansur.

“Maka, syarat-syarat perceraian itu akhirnya dibuat oleh Empat Serangkai, yang isinya: Pertama, Soekarno akan memberi Inggit belanja hidup setiap bulan selama hidupnya; Kedua, Soekarno harus membelikan sebuah rumah di Bandung untuk kediaman Inggit seumur hidupnya. Kedua syarat ini dibuat dan ditandatangani oleh masing-masing empat serangkai (Hatta, Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Kiai Haji Mas Mansur),” ujar Wawan tunggul Alam dalam buku Demi Bangsaku: Pertentangan Sukarno VS Hatta (2003).

Soekarno mengamini. Gantinya, Soekarno ditemani dokter pribadinya, R. Soeharto mendatangi keluarga Rachim untuk melamar Rachmi. Ibu Rachmi, Anni Rachim terkejut dengan kedatangan Bung Karno, terutama karena Bung Karno bertindak sebagai perantara perkawinan untuk Bung Hatta.

Bung Karno, dengan gaya diplomasi ciamik berhasil mempromosikan Hatta sebagai suami yang baik bagi Yuke (sapaan akrab Rachmi). Kendati demikian, ibunda Yuke belum berani memberikan jawaban pasti. Apalagi perbedaan usia Yuke dan Hatta terlalu jauh. Hatta berusia 43 tahun dan Yuke baru 19 tahun.

Hatta dan Rachmi (Sumber: Commons Wikimedia)

Anni mencoba bersikap diplomatis. Lebih lagi, Anni mengenal baik Hatta sebagai tokoh besar Indonesia. Anni lalu menyerahkan keputusan seluruhnya kepada kepada Yuke. Tak disangka Yuke pun menyetujui lamaran itu.

Setelahnya upacara pernikahan Hatta-Yuke dilangsungkan sangat sederhana nan penuh khidmat di Megamendung pada 18 November 1945. Sebagai mas kawin, Bung Hatta memberikan bukunya, Alam Pikiran Yunani. Perjodohan yang berhasil itu membuat Bung Karno senang bukan main.

“Banyak bayi yang dulu pernah kutimang di atas pangkuanku sekarang sudah menjadi wanita‐wanita cantik dan kemudian orang tuanya datang kepadaku memohon, ‘Tolonglah, Pak, tolong pilihkan jodoh buat anak saya.’ Aku telah mencarikan isteri Hatta untuknya. Aku mencarikan isteri kawanku Rooseno untuknya. Sekarang aku mempunyai daftar terdiri dari anak gadis seperti itu. Dan aku adalah satu‐ satunya kepala negara yang juga menjadi calo dalam mengatur perkawinan, kukira,” tutup Bung Karno seperti yang dituliskan Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya