Bagikan:

JAKARTA - Petualangan Mohammad Hatta belajar di negeri Belanda penuh liku. Statusnya yang berasal dari keluarga mapan tak cukup memuluskan langkahnya sebagai sarjana. Berburu beasiswa jadi ajiannya. Tapi fasilitas itu sempat membuatnya terlena. Hatta justru banyak beraktivitas di luar bangku kuliahan. Karenanya, ia sempat gagal ujian. Kegagalan itu membuatnya tak berani lagi meminta beasiswa. Sebagai gantinya, ia memilih student loan.

Merantau ke Batavia jadi momentum menentukan dalam hidup Bung Hatta. Di tanah Betawi, Bung Hatta menempuh pendidikan lanjutan di sekolah tinggi ilmu dagang, Prins Hendrik School (PHS). Biaya pendidikan Bung Hatta ditanggung penuh oleh pamannya yang juga pengusaha sukses, Mak Etek Ayub.

Dari biaya hidup hingga pendidikan. Kemudahan itu buat Bung Hatta melenggang-langgeng menempuh pendidikan dengan kebebasan. Pun Bung Hatta juga dapat berperan aktif dalam pergerakan pemuda. Wawasannya bertambah, demikian pula empatinya kepada penderitaan rakyat.

Pemahaman-pemahaman baru yang didapat di Batavia membuat Bung Hatta mantap melanjutkan studinya ke Belanda. Sekalipun tak sedikit orang yang menyarankannya untuk lekas bekerja ketika lulus.

Bung Hatta kemudian menyelesaikan pendidikannya di PHS tanpa kendala pada 1921. Namun, Bung Hatta lantas kebingungan masalah biaya. Sedang Bung Hatta sendiri enggan merepotkan orang tuanya. Mak Etek Ayub muncul sebagai juru selamat. Ia berjanjikan akan membantu segala bentuk pembiayaan selama belajar di Belanda.

“Ketika bersekolah di PHS selama dua tahun di Betawi, Hatta dibantu oleh seorang pedagang di kota itu yang dipanggil Mak Etek Ayub oleh Hatta. Kepada Hatta ia berpesan, jangan menyusahkan orang tua; karena itu kiriman uang dari rumah dihentikan saja. Kalau tetap dikirim, masukkan saja di Bank Tabungan Pos. Ia diberi 75 gulden sebulan oleh Mak Etek Ayub, yang oleh Hatta dianggap berlebihan,” ungkap P. Swantoro dalam buku Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2017).

Mohammad Hatta (Foto: Wikimedia Commons)

“Inilah sebab barangkali Hatta dapat mempunyai simpanan cukup banyak. Apalagi kalau ia masih mendapat kiriman dari rumah. Tetapi mengenai hal ini, Hatta tidak menceritakan dalam Memoir-nya. Yang jelas seperti sudah dikemukakan, dari simpanannya sendiri, Hatta mampu membiayai pelayarannya ke Rotterdam dan membayar biaya hidupnya selama satu tahun di sana.”

Masalah mendatangi Hatta tepat sebelum dirinya berangkat menuju Belanda. Mak Etek Ayub yang telah bersedia menjamin kehidupannya selama di Belanda terkena musibah. Usahanya pailit. Kejadian itu sempat mengganggu konsentrasi Hatta.

Bukannya menyerah, Hatta justru memilih untuk berjuang. Beasiswa dianggap sebagai opsi paling masuk akal. Meski telah terlambat. Ia mengusahakan untuk mendapatkan beasiswa ke sana-sini untuk dapat mencicipi ilmu dari sekolah tinggi ilmu ekonomi di Rotterdam, Nederlandsche Handels-Hoogeschool.

Perjuangan Bung Hatta terbalas. Ia memperoleh beasiswa dari Van Deventer Stichting, Yayasan Van Deventer. Beasiswa itu mulanya diberikan untuk studi selama dua tahun, dan kemudian berubah menjadi tiga tahun. 

Kendalanya, Bung Hatta termasuk terlambat mengajukan beasiswa. Sebagai ganjarannya, Bung Hatta mau tak mau membiayai sendiri biaya pelayaran dari Teluk Bayur ke Rotterdam. Ia juga harus menyiapkan biaya untuk biaya hidup di Rotterdam selama setahun. Atau sampai beasiswanya turun.

Demi menutupi biaya itu, pihak keluarga Bung Hatta memberikan bantuan dana. Mak Etek Ayub yang telah bangkrut juga ikut membantu Hatta. Semuanya dilakukan dengan satu misi: supaya Bung Hatta dapat menuntut ilmu di Belanda. Ongkos keberangkatannya yang mencapai 1.100 gulden terkumpul. Selebihnya untuk biaya hidup Bung Hatta yakin sisa tabungannya yang kurang lebih 2.500 gulden. Pasti cukup, gumamnya.

“Untunglah Hatta seorang yang hemat, dengan berbekal tabungannya selama bersekolah, ditambah dengan bantuan dari pamannya Ayub Rais dan sanak keluarga serta kalangan pedagang di Padang yang bergabung dalam Serikat Usaha turut juga membantunya, maka pada 3 Agustus 1921 Hatta berlayar dari Teluk Bayur, menuju negeri Belanda untuk melanjutkan studinya dengan menumpang kapal Tambora milik Rotterdam Lloyd,” tulis Anwar Abbas dalam buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam (2010).

Dari beasiswa ke student loan

Keputusan Bung Hatta untuk studi di Belanda tak berjalan mulus. Bung Hatta tak semata berkuliah untuk menjadi mahasiswa kutu buku. Ia turut berperan dalam ragam organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Artinya, Bung Hatta harus menjalankan dua peran sekaligus. Sebagai mahasiswa dan dedengkot organisasi Indische Vereeniging atau yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia: PI)

Nurani Bung Hatta banyak tergerak ketika bergabung dengan PI. Organisasi yang awalnya hanya bernapas sosial kini menjelma menjadi organisasi politik. Ia meneruskan cita-cita PI sebagai organisasi politik yang telah digagas pendahulunya, seperti Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Sorjaningrat (kemudian dikenal Ki Hajar Dewantara). Bung Hatta memantapkan hatinya untuk serius di PI. Risikonya studi Bung Hatta menjadi terganggu.

Mohammad Hatta (Foto: Wikimedia Commons)

“Setelah dipimpin oleh tokoh-tokoh yang kemudian terkenal dalam pergerakan nasional, sepertoi Ahmad Subarji, Sutomo, Hermen Kartowisastro, Iwa Koesoema Soemantri, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Sukiman Wirjosandjojo (nama-nama ini mencerminkan perubahan sikap organisasi), pada 1926 pimpinan jatuh ke pundak Hatta – malah sampai 1930, hal yang menyebabkan ia terlambat menyelesaikan studi,” terang Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (2012).

“Tetapi waktu yang bertambah dalam studi bertambah mematangkannya pula, apalahi ia juga sengaja mengambil lagi pelajaran yang baru diperkenalkan di sekolahnya, yaitu tentang tata negara. PI di bawah pimpinan Hatta memperlihatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan nasional di Indonesia dengan memberi ulasan, saran, dan bila perlu kritik terhadap pergerakan tersebut.”

Keterlambatan Bung Hatta menyelesaikan studi dikarenakan Bung Hatta tak lolos dalam ujian Diploma handelseconomie (DH). Ujian DH itu dilaksanakan dua tahap. Bung Hatta dapat lolos dengan mudah pada ujian tahap pertama. Tapi tidak untuk ujian tahap kedua. Dirinya diminta untuk menunggu selama tiga bulan untuk mengikuti kembali ujian ulangan.

Kegagalan itu buat Bung Hatta merasa malu. Apalagi ujian DH adalah penentu Bung Hatta dapat melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, ke doktoral atau sarjana lengkap bergelar doctorandus (Drs.). sekalipun lulus dalam ujian ulangan, rasa malu Bung Hatta untuk meminta lagi beasiswa dari Yayasan Van Deventer makin menjadi-jadi. Untuk membiaya pendidikan doktoralnya Bung Hatta harus putar otak.

Jalur beasiswa penuh tak lagi diprioritaskan olehnya. Ia memilih mencari beasiswa yang bersifat student loan. Alias skema pinjaman terkait biaya pendidikan untuk menempuh perguruan tinggi. termasuk biaya hidup. Pinjaman itu baru dikembalikan atau dibayar setelah Bung Hatta dapat lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan. Potongannya disesuaikan dengan besaran gaji yang diterima belakangan.

Tokoh teosofi Batavia, Ir. Van Leeuwen jadi juru selamat. Ia bergerak membuka jalan Hatta untuk mendapatkan student loan. Van Leeuwen meminta bantuan kepada temannya, Ir. M.J. Romer untuk mencarikan organisasi yang memiliki fokus memberikan pinjaman ke mahasiswa. Misi berhasil.

Oleh Van Leeuwen, Hatta diminta untuk merincikan biaya yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan doktoral tiga tahun. Angka pasti pun didapat. Bung Hatta lalu diminta Van Leeuwen untuk mengangsurnya ketika sudah memperoleh jabatan di Hindia-Belanda. Namun, dikarenakan kesibukan Hatta baru dapat membayarnya ketika ia menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Tidak dalam bentuk angsuran, tapi membayar student loan secara penuh.

“Setelah seminggu aku kembali dan Ir. Van Leeuwen memberitahukan, bahwa aku memperoleh beasiswa itu selama tiga tahun. Apabila engkau nanti memperoleh jabatan di Hindia-Belanda, kau bayar beasiswa itu dengan angsuran,” ungkap Bung Hatta dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1979).  

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya