JAKARTA - Pemerkosaan Sum Kuning pernah mencoreng wajah penegakan hukum Indonesia. Abainya Polri terhadap kejahatan seksual yang menimpa wanita penjual telur bernama Sumaridjen jadi muasalnya. Sum dipojokkan sebagai “maling teriak maling.” Ia juga dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Publik sadar tuduhan keji itu hanya untuk menyelamatkan pemerkosa yang konon anak penggede di Yogyakarta. Kapolri Hoegeng Imam Santoso berang. Tapi Soeharto sebaliknya. Wanita 17 tahun itu sehari-harinya mengisi waktu dengan berdagang telur.
Sekitar 200 butir telur ayam kampung jadi bawaannya untuk jual di Yogyakarta. Ia mengedarkan dagangannya pada para pelanggan yang tersebar di Kota Baru, Bumijo, Suryobratan, Ngasem, Patuk, Tegal Mulyo dan kampung-kampung lainnya.
Sum dalam pertaruhan mencari nafkah. Suatu hari, pada Desember 1970, anak sulung dari tiga bersaudara pasangan suami-istri Sudiredjo disibukkan dalam urusan berdagang. Ia harus mengantarkan telur-telurnya ke banyak pelanggan.
Akibatnya, Sum terlambat menumpang bus kota untuk pulang. Sum memilih untuk jalan kaki dalam suasana pinggiran Yogyakarta yang sepi. Sum lalu disekap.
“Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa menarik Sumaridjem untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan brandal-brandal itu, namun tak berhasil,” ungkap Kamadjaja dkk dalam buku Sum Kuning, Korban Pentjulikan, Pemerkosaan (1971).
Sum ketakutan bukan main. Ia berontak tapi tak mampu berteriak. Berteriak sama dengan mati. Mobil itu diisi empat laki-laki. Tiga di antaranya berambut gondrong dan satu cepak. Lama-kelamaan, reaksi obat bius mulai dirasakan oleh Sum.
Kesadarannya mulai terganggu. Tapi Sum sempat merasakan bagaimana kain panjangnya disingkap. Kaki dan tangannya ditekan oleh pemuda-pemuda sambil bernyanyi-nyanyi. Sum lalu diperkosa secara bergiliran hingga jatuh pingsan.
Ketika sadar Sum merasakan kesakitan di selangkangannya. Kaki dan kain panjangnya berlumuran darah. Sum benar-benar tak berdaya. Uang hasil jualan telur sebanyak Rp4.650 turut digarong pemerkosa. Uang jerih payah untuk modal jualan esok hari dan menafkahi keluarga.
“Dalam kondisi masih setengah sadar, lelah, didera kesakitan fisik dan psikis, Sum didorong keluar mobil. Tenyata Sum dibuang di pinggir jalan raya Wates-Purworejo, tepatnya di daerah Palemgurih, Gamping, Sleman, sekitar 5 KM barat Kota Yogya.” Rangkum Aloysius Soni BL de Rosari dalam buku Elegi Penegakan Hukum : Kisah Sum Kuning, Prita, hingga Janda Pahlawan (2010).
Sambil menahan sakit, Sum segera bangkit berjalan ke arah Kota Yogyakarta. Satu-satunya yang terpikirkan Sum adalah rumah dari seorang langganannya di Bumijo, Nyonya Sulardi. Berbekal uang Rp100, ia naik becak. Tangis Sum pecah ketika sampai di lokasi. Ia diinapkan di rumah sakit.
Korban jadi tersangka
Peristiwa pemerkosaan itu membuat Sum kuning harus dirawat di rumah sakit selama empat hari. Pihak Kepolisian Yogyakarta bukannya membantu tapi malah memainkan drama “Maling teriak maling.” Sum sebagai korban tak saja diletakkan di kursi pesakitan tapi mulai digiring jadi tersangka.
Sum dituduh telah menyebarkan berita bohong. Selepas dari rumah sakit Sum ditahan. Ruang geraknya dibatasi. Bahkan polisi mengancam Sum akan disetrum kalau ia tak mengakui versi lain dari ceritanya.
“Konon, perkosaan ini dilakukan anak petinggi di Yogyakarta. Ironisnya, korban perkosaan sendiri malah ditahan karena dituduh memberikan laporan palsu. Kasus ini semakin menarik perhatian masyarakat karena persidangannya dilakukan secara tertutup. Bahkan wartawan yang menulis berita peristiwa ini harus berurusan dengan militer. Kemudian peristiwa ini melebar, sampai korban perkosaan ini dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dianggap berafiliasi dengan PKI.”
“Kemudian dihadirkan pula seorang penjual bakso yang disangkakan sebagai pelaku pemerkosaan, yang tentu saja dibantahnya di pengadilan. Lantas, ada pula sepuluh pemuda yang disuruh mengaku sebagai pemerkosa, juga menyangkal melakukan pemerkosaan, bahkan bersumpah rela mati jika memerkosa,” ungkap Yudi Latif dalam buku Mata air keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan (2014).
Kasus Sum semakin mengemuka karena persidangannya jadi sidang pertama yang digelar tertutup. Wartawan tak diizinkan meliput. Khalayak umum mulai mengendus keganjilan dalam kasus pemerkosaan seorang penjual telur.
Kontroversi dari kasus Sum kian merebak karena muncul versi dari makelar mobil bernama Budidono. Ia mengaku jadi salah satu dari empat pemuda yang memerkosa. Budidono kemudian memaparkan fakta mencengangkan bahwa ada keterlibatan anak para penggede di Yogya semakin memanaskan keadaan.
Budidono, dalam laporan majalah Tempo edisi 2 Oktober 1971 menjelaskan orang yang bersamanya tak lain mur purta dari Brigjen Katamso. Sementara lainnya adalah Angling Putra dari Paku Alam VIII, yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Yogyakarta. Terakahir, adalah Ismet.
Laporan itu segera membuat perhatian warga Yogyakarta dan Indonesia terfokus pada kasus Sum Kuning. Khalayak tambah curiga lagi karena pada zaman itu hanya orang kaya dan sangat kaya saja yang memiliki mobil.
“Di Yogyakarta juga pernah terjadi kisah seorang penjual telur yang kemudian terkenal dengan sebutan Sum Kuning. Setiap hidung penduduk Yogyakarta bisa dan telah mengendus bahwa yang memperkosa Sum Kuning, antara lain, putra seorang pejabat sangat tinggi di Yogyakarta,” tulis Bakdi Soemanto dalam buku Membaca Sapardi (2010).
Beda sikap Hoegeng dan Soeharto
Sekalipun Sum sudah dibebaskan, Hukuman yang diberikan kepada Sum Kuning membuat Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso (1968-1971) geram. Ia kemudian menaruh perhatian lebih pada kasus Sum Kuning.
Polisi jujur itu menjadikan kasus Sum Kuning sebagai ajang pembuktiannya sebagai kapolri yang tak pandang bulu. Hoegeng menyakini muara kasus Sum Kuning ada pada versi yang menyebut terkait keterlibatan anak-anak pejabat. Bukan pada versi polisi Yogyakarta yang menyebut pemerkosa adalah orang biasa.
Hoegeng segera meminta pertanggunjawaban dari Kepolisian Yogyakarta. Awal januari 1971, Hoegeng memerintahkan pembentukan sebuah tim untuk menangani kasus Sum Kuning. Nama tim tersebut adalah Tim Pemeriksa Sum Kuning.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Ea. Jadi, walaupun keluarga sendiri kalau salah tetap kita tindak. Geraklah, the sooner the better,” ungkap Hoegeng sebagaimana ditulis Aris Santoso dkk dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).
Di bulan yang sama, Hoegeng menceritakan perkembangan kasusnya kepada Presiden Soeharto. Dalam pertemuan yang berlangsung, Soeharto justru tak begitu tertarik dengan kasus Sum Kuning. The Smiling General justru menginstruksikan perkara Sum Kuning ditangani oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtip).
Sikap Soeharto dinilai janggal seraya kasus Sum Kuning lebih dari perkara kriminal biasa. Sebelum kasus terungkap, Hoegeng justru diberhentikan oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971. Bersamaan dengan itu, gaung kasus Sum Kuning semenjak diambil oleh Kopkamptip hilang dari permukaan.
Pada akhirnya, pengungkapan pelaku sebenarnya tak tersentuh hukum, setidaknya hingga saat ini. Hoegeng lalu menyesali tindakan pemerintah Orba yang melakukan pembiaran urusan Polri dicampuri pihak lain.
“Harapan saya agar urusan Polri tidak dicampurtangani pihak lain, menjadi memprihatinkan dalam penanganan kasus Sum Kuning di Yogya. Penanganan kasus it menjadi petanda buruk bahwa mustahil dalam waktu dekat semua fungsi polisional diserahkan kepada Polri,” tutup Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.