Bagikan:

JAKARTA - Kasus perkosaan penjual telur Sumaridjem alias Sum Kuning mencoreng wajah penegakan hukum Indonesia era 1970-an. Pemerintah dianggap menutupi kasus yang konon melibatkan anak pesohor negeri.

Korbannya dituduh PKI. Sidang bak direkayasa. Orang lain seraya sengaja dijadikan tumbal. Ketidakpuasan menggaung di mana-mana. Penerbitan Buku tentang Sum Kuning pun didaulat jadi sarana pencarian keadilan. Alih-alih bisa terbit, buku itu justru masuk daftar buku terlarang pemerintah Orde Baru (Orba).

Perjuangan mencari nafkah tak pernah mudah. Sumaridjem pernah merasakannya. Wanita asal Godean itu sehari-hari membawa 200 butir telur ayam kampung untuk dibawakan kepada pelanggannya di Yogyakarta.

Pelanggan Sum kala itu tersebar di Kota Baru, Bumijo, Suryobratan, Ngasem, Patuk, Tegal Mulyo dan kampung-kampung lainnya. Banyaknya kampung yang harus didatangi membuat Sum berisiko ketinggalan bus. Sesuatu yang ditakutkan benar-benar terjadi.

Sum ketinggalan bus pada 21 September 1960. Nyatanya, ketinggalan bus itu jadi awal dari petaka. Sum memilih jalan kaki melawati pinggiran Yogyakarta yang mulai gelap. Malang tak dapat ditolak. Sum justru disekap oleh empat orang menggunakan mobil.

Poster Film Perawan Desa (1980) yang menjadikan kisah Sum Kuning sebagai inspriasi. (Wikimedia Commons)

Tiga orang berambut gondrong, satunya berambut cepak. Ia dibius kemudian diperkosa secara bergiliran. Ia menderita sakit di daerah selangkangan. Kaki dan kain panjang yang dikenakannya berlumuran darah.

Tindakan itu kian biadap dengan pemerkosa mengambil uang hasil jualan telur sebanyak Rp4.650. Padahal, uang itu harusnya digunakan Sum untuk modal dan menafkahi keluarganya. Aksi keji itu ditutup dengan Sum dibuang di pinggir jalan raya Wates-Purworejo, tepatnya di daerah Palemgurih, Gamping, Sleman, sekitar 5 Km barat Kota Yogyakarta.

Satu-satunya yang ada di pikiran Sum adalah bergegas menuju Yogyakarta. Ia lalu menggunakan uangnya yang tersisa Rp100 untuk naik becak ke rumah pelanggannya di Bumijo, Nyonya Sulardi. Sum lalu diinapkan di rumah sakit.

Berita perkosaan Sum Kuning jadi berita hangat. Sebab, tindakan keji seperti itu terhitung baru. Aparat keamanan pun tergerak menelusuri kasus Sum Kuning. Penelusuran itu justru berbuah kecaman. Alih-alih kepolisian dengan cepat menelusuri pelaku, korban perkosaan – Sum Kuning—justru dianggap menyebar berita bohong.

Ia pun ditangkap. Ia dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi wanita yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Berita itu sempat mendapatkan atensi dari Kapolri, Hoegeng Imam Santoso.

Hoegeng ingin kasus tersebut terbuka seterang-terangnya. Namun, kasus Sum Kuning justru mendapatkan atensi lebih. Polri kelimpungan karena banyak campur tangan pemerintah. Dugaan anak pesohor negeri yang terlibat pun mengemuka.

“Konon, perkosaan ini dilakukan anak petinggi di Yogyakarta. Ironisnya, korban perkosaan sendiri malah ditahan karena dituduh memberikan laporan palsu. Kasus ini semakin menarik perhatian masyarakat karena persidangannya dilakukan secara tertutup. Bahkan wartawan yang menulis berita peristiwa ini harus berurusan dengan militer. Kemudian peristiwa ini melebar, sampai korban perkosaan ini dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dianggap berafiliasi dengan PKI.”

“Kemudian dihadirkan pula seorang penjual bakso yang disangkakan sebagai pelaku pemerkosaan, yang tentu saja dibantahnya di pengadilan. Lantas, ada pula sepuluh pemuda yang disuruh mengaku sebagai pemerkosa, juga menyangkal melakukan perkosaan, bahkan bersumpah rela mati jika memerkosa,” ungkap Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan (2014).

Buku Sum Kuning

Pencarian keadilan terhadap Sum Kuning tak mudah. Persidangan dilakukan secara tertutup. Ragam versi pelaku mulai dihadirkan, dari penegak hukum, hingga masyarakat. Versi yang mendapatkan atensi publik adalah pelaku berasal dari anak pesohor negeri.

Namun, hukum mengungkap kebalikannya. Mereka yang jadi tersangka tak masuk di akal. Ambil contoh pelaku yang harusnya empat orang, jadi satu orang. Penjual bakso pula. Kondisi itu tak masuk akal karena orang yang memiliki mobil era 1970-an hanya kalangan terbatas – orang kaya dan sangat kaya.

Keinginan supaya Sum Kuning mendapatkan keadilan muncul. Beberapa orang yang peduli – termasuk jurnalis—tergerak untuk mencetak sebuah buku. Sum Kuning, judulnya. Buku yang digadang-gadang berisi titik terang kasus Sum Kuning itu lagi dicetak dengan niatan disebarkan secara luas pada 1971.

Buku itu sempat tersebar. Namun, belakangan buku Sum Kuning yang dicetak sebanyak 10 ribu eksemplar masuk ke dalam daftar terlarang. Kondisi itu karena kehadiran buku dianggap pemerintah melalui Kejaksaan Tinggi Yogyakarta dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban umum.

Kondisi itu membuat ribuan buku buku yang siap edar disita. Pelarangan beredar buku setebal 128 halaman diberlakukan sampai proses hukum kasus Sum Kuning benar-benar selesai. Mereka menganggap isi buku dikhawatirkan dapat memengaruhi jalannya kasus Sum Kuning.

Presiden Soeharto didampingi Ibu Tien Soeharto bersama Kapolri Jenderal Hoegeng dan penggantinya, Komisaris Jenderal Mohammad Hasan. (Wikimedia Commons)

Kenyataannya, kasus Sum Kuning dianggap selesai tanpa menyeret pelaku sebenarnya. Kondisi itu mencoreng wajah penegakan hukum Indonesia. Hukum Indonesia jatuh ke level terendah. Perkara menemukan dan menghukum pelaku perkosaan saja, penegak hukum tak mampu.

“Tapi bukan hanya Sum Kuning yang sekarang ini keadaannya tertutup. Ribuan buku tentang Sum Kuning saat ini sedang berada dalam penyegelan Kejaksaan Tinggi Yogyakarta. Kata Kejaksaan Agung buku itu dikhawatirkan akan dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum.”

“Sebagai batas pelarangan beredar itu disebutkan: sampai selesainya pengusutan/penyidikan ulang yang sedang dilakukan oleh Kepolisian. Itu artinya tidak sampai waktu yang pasti, sekalipun umpamanya Soewindo, sang pengacara itu mengatakan bahwa tindakan Kejaksaan itu bersifat sementara. Artinya menurut Soewindo, sebentar lagi penyegelan itu juga sudah dihapuskan,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Sum, Stop! (1971).