JAKARTA – Film Vina: Sebelum 7 Hari tiba-tiba mengguncang Indonesia. Film ini seakan mampu membuka mata publik untuk kembali menyorot dan menuntut dibukanya kembali kasus pembunuhan di Cirebon delapan tahun silam.
Ya, film besutan sutradara Anggy Umbara ini memang diangkat berdasarkan kisah nyata tentang pembunuhan sepasang kekasih oleh anggota geng motor di Cirebon tahun 2016. Film ini menceritakan kisah Vina, gadis berusia 16 tahun yang menjadi korban pembunuhan brutal oleh geng motor.
Vina ditemukan tewas bersama kekasihnya, R alias E, pada 27 Agustus 2016 pukul 22.00 WIB. Jasad keduanya ditemukan di jalan layang di Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Kontroversi seputar kasus ini pun kembali menyeruak. Mulai dari salah tangkap terhadap delapan terpidana hingga terbaru, penangkapan tersangka Pegi Setiawan. Banyak pihak yang berasumsi jika para terpidana dan Pegi merupakan “tumbal” untuk menutupi siapa pelaku sebenarnya dalam kasus Vina.
BACA JUGA:
Kasus Vina yang angkat ke layar lebar seperti membuka memori masyarakat terhadap kasus yang bisa dikatakan mirip 54 tahun silam. Tahun 1970, masyarakat Indonesia khususnya DI Yogyakarta digemparkan dengan kasus penculikan dan pemerkosaan yang menimpa Sumaridjem alias Sum Kuning.
Kasus Sum Kuning ini menyita perhatian publik lantaran para pelakunya diduga merupakan anak-anak para penggede di Kota Yogyakarta. Seperti halnya kasus Vina, kejadian yang menimpa Sum Kuning sempat ditulis dalam sebuah buku berjudul Sum Kuning: Korban Penculikan dan Pemerkosaan oleh Kamandjaja dkk di tahun 1971 sebelum akhirnya diangkat di layar lebar tahun 1980 atau sepuluh tahun kemudian dengan judul Perawan Desa dengan sutradara Frank Rorimpandey.
Sama halnya Film Vina: Sebelum 7 Hari, Buku Sum Kuning: Korban Penculikan dan Pemerkosaan serta Film Perawan Desa mampu menggambarkan kejadian yang menimpa gadis berusia 17 tahun tersebut.
Kisah Tragis Sum Kuning Gadis Yogyakarta
21 September 1970 malam, bus kota tak lagi lewat. Dagangan lambat terjual. Sum Kuning berjalan ke arah utara, menunggu bus yang tak kunjung datang. Perasaan tidak enak menyelimuti. Hari menjelang gelap. Pinggiran kota Yogyakarta dulu masih sepi.
Sumaridjem lalu belok kanan lewat Jalan Patuk menuju Jalan Ngupasan. Bus menuju angkutan ke Godean tak juga muncul. Ketika melintas di timur Asrama Polisi Patuk, tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet dan berhenti di dekatnya.
“Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa menarik Sumaridjem untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan brandal-brandal itu, namun tak berhasil,” demikian tulis Kamadjaja dkk.
Mobil itu lalu bergerak lagi dan mengitari Jalan Diponegoro menuju Bumidjo. Seingat Sumaridjem, mobil melintasi Jalan Magelang dan tergoncang ketika menyeberangi rel. Di dalam mobil bahkan ada yang mengancamnya dengan menempelkan pisau belati di lehernya.
Setelahnya, Sumaridjem dibius dan nyaris tak sadarkan diri. Apa yang lamat-lamat diingatnya adalah “kain panjangnya disingkap sampai pada pusatnya dan terdengarlah pemuda-pemuda itu ramai-ramai menyanyi mengiringi rasa sakit Sumaridjem pada kelaminnya sebagai dimasuki benda keras. Sakit dan rasa nyeri luar biasa terasa pada kelamin Sumaridjem sampai tiga kali.”
Tak selesai di situ, uang Rp4.650 hasil dagangannya pun disikat pemuda-pemuda tadi. Setelah menculik dan memerkosa, gerombolan pemuda tadi kemudian membuang Sumaridjem yang tak berdaya di tepi Jalan Wates-Purworejo, tepatnya di daerah Gamping.
Berbekal sisa uang Rp100, Sumaridjem pun menyetop becak dan diminta mengantar ke rumah salah seorang langganannya di Bumidjo, Nyonya Sulardi. Sumaridjem menangis. Pagi itu, “keadaan Sumaridjem sangat menyedihkan, kaki dan kainnya berlumuran darah”. Isak tangisnya sampai ke telinga tetangga Nyonya Sulardi.
Kebetulan, Nyonya Sulardi bertetangga dekat dengan Tut Sugijarto, wartawan Minggu Pagi. Pada pukul 06.00 tanggal 22 September 1970, Tut segera menghubungi rekannya, Imam Sutrisno, wartawan Kedaulatan Rakyat.
Imam segera melapor ke unit Polisi Militer, Denpom VII/2. Begitu anggota PM datang dan menyaksikan kondisi Sumaridjem, tak menunggu lama mereka membawanya ke Rumah Sakit Bethesda. Ketika dibawa
ke rumah sakit, karena melewati Jalan Patuk, Sumaridjem menunjukan tempatnya diculik para pemuda gondrong malam sebelumnya.
“Dugaan masyarakat jatuh kepada anak-anak orang terkemuka di Yogya. Dugaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa penculik-penculik itu menggunakan mobil. (Di tahun 1970-an) Hanya orang-orang terkemuka dan orang-orang kayalah yang memiliki mobil,” tulis Kamadjaja lagi.
Dugaan masyarakat seolah-olah terbukti. Sebab, bukan para penculik dan pemerkosa yang ditangka polisi, justru Sumaridjem yang harus berurusan dengan polisi dengan tuduhan laporan palsu. Hasil visum dokter yang menyebut adanya pendarahan alat kelamin, selaput dara sobek, dan luka di paha kanan-kiri, seolah tak lagi penting.
Buku Hoegeng: Oase Menyedihkan di tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa yang ditulis Aris Santoso dkk di tahun 2009 bahkan mengungkapkan bahwa Sumaridjem dituduh sebagai anggota Gerwani. “Pada suatu malam polisi mendatangi Sum. Mereka menyuruh dia menanggalkan pakaian. Alasannya, mereka akan mencari kalau-kalau di tubuhnya ada tanda palu-arit,” tulis Aris Santoso dalam buku tersebut.
Sumaridjem pun diseret ke meja hijau atas tuduhan memberi keterangan palsu dengan sanksi tiga bulan penjara. Tuntutan itu ditolak Hakim Nyonya Lamijah Moeljarto karena Sumaridjem tidak terbukti memberi keterangan palsu dan Sumaridjem dibebaskan dari tuduhan.
Dalam Buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dan Perbuatan karya Yudi Latif (2014), diungkapkan muncul seorang penjual bakso bernama Trimo. Seorang rakyat kecil jelata. Ia bertindak sebagai pacar Sum Kuning. Sekaligus pelaku pemerkosa. Ia juga telah dianiaya. Dipaksa mengaku telah memperkosa. Trimo jelas menolak mentah-mentah. Ia bahkan tak kenal Sum Kuning.
Dalam catatan Aris Santoso, masyarakat dianggap terlanjur percaya versi Budidono. Orang ini adalah makelar mobil yang ditangkap polisi setelah Sumaridjem melapor. Budidono mengaku ikut memperkosa. Bahkan pengakuan mengejutkan meluncur dari mulut Budidono, yakni tiga pemerkosa lainnya adalah anak penggede. Pengakuan kepada polisi itu bocor, lalu beredar di masyarakat.
Kapolri Melawan Kekuatan yang Besar
Kasus Sum Kuning tak hanya menjadi perhatian publik, tapi juga Kapolri saat itu, Hoegeng Imam Santoso. Dia serius berupaya membongkar kasus ini, termasuk membuat tim khusus pada Januari 1971 bernama “Tim Pemeriksa Sum Kuning” yang dipimpin Kadapol IX/Jateng, Suwardjiono.
Masih berdasarkan catatan Aris Santoso, Hoegeng melaporkan perkembangan pengungkapan kasus Sum Kuning kepada Presiden Soeharto. Sayangnya, laporan tersebut justru membuat Soeharto turun tangan sendiri. The Smiling General mengalihkan penyelidikan dari tangan Hoegeng pada Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib.
Padahal tim ini lazimnya menangani kasus politik yang tergolong luar biasa. Entah kenapa kasus Sum Kuning disetarakan dengan masalah keamanan yang bisa membahayakan negara. Hasilnya adalah sepuluh orang. Semuanya bukan anak orang gedongan. Mereka membantah keras. Bersumpah mati jika betul memerkosa.
Hoegeng lalu sadar bahwa ada kekuatan yang terlalu besar untuk dilawan. Dia kemudian dipensiunkan sebagai Kapolri pada 2 Oktober 1971. Dalam Buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan karya Abrar Yusra dan Ramadhan KH (1993), Hoegeng menyayangkan campur tangan pihak lain terhadap wewenang Polri.
Termasuk penanganan kasus Sum Kuning yang seharusnya hanya dilakukan aparat hukum seperti polisi menjadi dicampuri pihak lain. Alhasil hingga kini pun siap pelaku penculikan dan pemerkosaan sebenarnya kepada Sum Kuning masih menjadi misteri yang tidak terpecahkan.
Kontroversi yang menyelimuti kasus Vina di Cirebon bak dejavu kasus Sum Kuning. Polda Jawa Barat menghapus dua nama dari Daftar Pencarian Orang (DPO) usai penangkapan Pegi Setiawan, salah satu terduga pelaku pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu. Perkembangan terbaru kasus pembunuhan ini menambah daftar panjang kejanggalan di balik penyelidikan polisi.
Pegi Setiawan bersama dengan dua nama lain, Andi dan Dani, masuk dalam daftar buron dalam kasus pembunuhan yang viral tersebut. Namun, dalam konferensi pers pada Minggu 26 Mei 2024, Polda Jawa Barat mengumumkan dua nama tersebut dihapus dari daftar buron.
Direskrimum Polda Jawa Barat, Surawan, beralasan dua nama tersebut dihapus karena delapan pelaku yang sudah diamankan sebelumnya hanya “asal sebut” dan identitas keduanya belum dapat dibuktikan.
“Ada yang menyebut tersangka buron tiga nama berbeda, ada menerangkan lima, ada satu. Setelah dilakukan pendalaman, dua nama yang disebutkan selama ini, itu hanya asal sebut oleh para tersangka,” ujarnya.
Kuasa hukum Keluarga Vina, Putri Maya Rumanti, mengaku kecewa dengan keputusan penghapusan dua nama tersebut dan mendesak kepolisian berpegang pada amar putusan pengadilan yang menetapkan bahwa DPO dalam kasus Vina berjumlah tiga orang.
“Di dalam amar putusan ini sudah jelas sebagai DPO yang harus dicari. Jadi pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian Vina dan Eky kalau dua DPO itu dihilangkan?” tuturnya.
Sementara, sosok Pegi yang juga dihadirkan dalam konferensi pers tersebut terlihat beberapa kali menggeleng-geleng kepala saat polisi menjelaskan perannya dalam kasus Vina. Bahkan, di depan media dan kepolisian, dia membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Vina dan Eky.
“Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah. Saya rela mati,” tukas Pegi.
Perbedaan 2 Presiden dalam Tangani Kasus Hukum
Pun seperti dalam kasus Sum Kuning, kontroversi yang menyelimuti kasus Vina Cirebon juga menyedot atensi Presiden Joko Widodo. Orang nomor satu di Indonesia itu mengaku sudah memerintahkan kasus tersebut diusut secara transparan dan idak ada yang perlu ditutup-tutupi.
“Tanyakan ke Kapolri. Saya sudah menyampaikan agar kasus itu betul-betul dikawal dan transparan. Terbuka semuanya, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi,” tegas presiden saat berkunjung ke Pasar Lawang Agung, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, Sabtu 1 Juni lalu.
Sayangnya, hingga kini Kapolri Listyo Sigit Prabowo belum mengeluarkan pernyataan apapun terkait kasus Vina Cirebon. Meski penanganan kasus ini masih terus bergulir, “diamnya” kapolri menimbulkan pertanyaan publik terutama bila dibandingkan dengan langkah Hoegeng yang dulu berupaya keras membongkar kasus Sum Kuning.
Tapi, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi meminta masyarakat tidak membanding-bandingkan kasus Vina dengan Sum Kuning terutama sorotan terhadap kapolri. Menurutnya, kedua kasus tersebut memiliki perbedaan.
“Kalau Kasus Sum Kuning pengusutannya tidak didukung oleh Presiden Soeharto. Berbeda dengan Kasus Vina Cirebon yang pengusutannya mendapatkan dukungan penuh dari Presiden Jokowi,” ujar Haidar dalam keterangan tertulis, Senin 3 Juni 2024.
Dia menegaskan, kasus Vina yang terjadi 2016 kembali dilanjutkan di bawah kepemimpinan Listyo dan dinilai mengalami kemajuan dengan telah ditangkapnya para DPO. “Justru masyarakat seharusnya berterimakasih kepada Polri karena di masa Kapolri Listyo Sigit Prabowo Kasus Vina Cirebon yang belum tuntas di masa lalu kini diusut kembali dengan cepat. Terbukti dari penangkapan DPO yang sudah 8 tahun bebas berkeliaran terlepas dari pembelaan tersangka,” imbuhnya.
Haidar mengatakan, dalam penanganan kasus Sum Kuning ada pertentangan prinsip yang melahirkan ketidakharmonisan dan berimbas pada penanganan kasus. Sementara dalam kasus Vina, kapolri beserta presiden memiliki komitmen yang sama dalam penegakan hukum.
“Jadi, Kapolri Jenderal Hoegeng kehilangan jabatannya bukan Kasus Sum Kuning, tapi karena tidak harmonis dengan Presiden Soeharto. Kalau di Kasus Vina Cirebon, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Jokowi sangat harmonis dan tidak ada masalah. Keduanya punya komitmen yang sama dalam penegakan hukum,” tandasnya.