Bagikan:

JAKARTA - Hubungan Iran-Israel tampak mesra di era pemerintahan Syah Iran, Mohammad Reza Pahlavi. Kerja sama dilakukan dalam segala bidang. Iran bergantung ke Israel. Begitu pula sebaliknya. Iran ogah ikut kemauan negara arab lainnya membenci Israel.

Bulan madu kedua negara baru terganggu dengan hadirnya tokoh penentang kuasa Reza Pahlevi. Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini, misalnya. Ulama karismatik itu menggelorakan Revolusi Iran dan memulai babak baru permusuhan Iran-Israel.

Eksistensi kekuasaan Dinasti Pahlevi di Iran (1925-1979) penuh dinamika. Dinasti itu dimulai dari kekuasaan Reza Shah dari 1925-1941. Kekuasaan berikutnya dilanjutkan sang anak, Mohammad Reza Pahlevi dari 1941.

Kepemimpinan Reza Pahlevi dianggap noda dalam sejarah Iran. Sosok pemimpin itu dianggap telah bersekutu dengan Amerika Serikat (AS) dan Israel. Kondisi itu dianggap penguasa Iran sebagai pilihan yang menguntungkan.

Kedekatan dengan AS membuat Iran lebih tenang urusan keamanan. Kedekatan dengan Israel membuat Iran lebih tenang urusan ekonomi. Kerja sama di segala bidang dengan Israel mulai terlihat pada 1950-an.

Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini berjumpa dengan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina PLO, Yasser Arafat. (Wikimedia Commons)

Kedua negara sama-sama untung. Iran dapat pemasukan. Ambil contoh kala Israel dapat banyak pasokan minyak sampai 60 persen untuk kebutuhan negaranya. Kedekatan itu membuat Israel ikut membantu melatih Dinas Intelejen Iran, SAVAK.

Kebaikan itu langsung berbalas dengan sikap Iran yang menolak Pasukan Pembebasan Palestina, PLO masuk ke negaranya. Israel lalu mendukung segala macam langkah politik dari Reza Pahlevi. Reza didukung dalam upaya membersihkan militer Iran dari penentangnya. Beberapa di tangkap, beberapa ditembak mati.

Parlemen Iran dan partai politik dilemahkan. Kondisi itu membuat Reza Pahlevi dengan bebas memimpin Iran. Ia pun mulai melakukan program pembangunan nasional, Revolusi Putih. Komponen utamanya adalah urusan agraria, pendidikan, hak wanita, dan westernisasi.

Suatu gebrakan yang tujuannya --di atas kertas—untuk menaikkan hajat hidup rakyat. Alih-alih menyejahterakan rakyat Iran, kebijakan itu justru membuat orang Iran nelangsa. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin terlampau lebar.

Hajat hidup rakyat jadi nomor sekian. Sedang Reza Pahlevi sendiri hidup bergemilang harta dengan dijaga AS dan Israel.

Pemimpin besar Republik Islam Iran, Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini. (Wikimedia Commons)

“Dalam beberapa tahun terakhir, Iran dan Israel telah membangun hubungan yang erat. Reza Pahlevi menolak membiarkan musuh Israel, Organisasi Pembebasan Palestina, berfungsi di Iran. Pasukan keamanan Israel membantu melatih polisi rahasia Iran, Savak.”

 “Iran memenuhi janjinya untuk menjual semua minyak yang diinginkan Israel – tahun lalu, yaitu 60 persen dari kebutuhan Israel sebesar 200 ribu barel per hari. Orang-orang Yahudi di Iran menjalani kehidupan yang baik, dan perdagangan antara kedua negara berkembang,” ungkap Bernard Gwertzman dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Shadow of Khomeini Falls on the Mideast Peace Talks (1979).

Konflik Iran-Israel

Kepemimpinan Reza Pahlevi membuat segenap rakyat Iran gerah. Mereka diperas negara bak sapi perah. Itupun hajat hidup mereka tak kunjung terangkat. Rakyat hanya dicomot namanya saja untuk ragam program, termasuk Revolusi Putih. Namun, urusan kesejahteraan rakyat jadi nomor kesekian.

Kondisi itu kian diperparah dengan isu korupsi dan represifnya kuasa Reza Pahlevi. Kebencian pun tertanam karena Reza Pahlevi dianggap boneka barat. Reza Pahlevi dan sahabat dekatnya AS dan Israel bak jadi musuh bersama kelompok revolusioner.

Kelompok revolusioner itu dipimpin oleh Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini. Ulama kharismatik itu jadi orang yang paling konsisten menentang kepemimpinan monarki di Iran. Khomeini pun membaktikan hidupnya untuk perjuangan melawan monarki.

Patung Shah Iran Reza Pahlevi di Universitas Teheran dirobohkan pada 1978, menjelang revolusi pada 1979. (Wikimedia Commons)

Ia bahkan dipaksa hidup di pengasingan di Neauphle-le-chataeu, desa yang berjarak 40 km dari Paris, Prancis. Namun, pengaruhnya kian membesar dalam gerakan perlawanan. Dukungan terhadap rakyat Iran juga mengalir dari Pasukan Pembebasan Palestina, PLO.

Pemimpin PLO Yasser Arafat juga memberikan banyak bantuan untuk gerakan melawan Shah dan kroni Israelnya. Kondisi itu membuat rakyat Iran punya modal besar untuk dapat meruntuhkan rezim Pahlevi. Revolusi Iran 1979 pun berkumandang dan korban yang berjatuhan tak sedikit.

Kemenangan rakyat dalam Revolusi Iran disambut dengan gegap gempita. Rezim monarki lalu diubah jadi Republik Islam Iran. Pun Khomeini didaulat sebagai Pemimpin Agung Republik Iran yang pertama. Kepemimpinan dengan tegas mengubah arah politik hubungan Iran-Israel.

Hubungan itu tak lagi mesra. Khomeini bak menjadikan Israel sebagai seteru utama. Sikap itu dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina dan PLO. Khomeini lalu menyebut Amerika Serikat sebagai The Great Satan (Setan Besar) dan Israel sebagai Little Satan (Setan kecil).

Julukan itu bak lonceng pengingat bermulanya Konflik Iran-Israel. Sikap Iran yang melihat Israel bak penjajah rakyat Palestina terus bertahan. Bahkan, hingga saat ini. Pun Iran juga terus menyokong bantuan kepada kelompok-kelompok bersenjata Palestina untuk melawan Israel.

“Diputuskannya hubungan dengan Israel dan Afrika Selatan yang zionis dan dan rasialis. Iran jadi jauh lebih dekat dengan negara-negara dan gerakan-gerakan progresif pembebasan nasional. Arafat datang ke Tehran tanggal 17 Februari 1979 dengan rombongan yang besar. Sesudah itu perwakilan PLO di Tehran dibuka dan tempatnya di bekas Kedutaan Israel di Tehran,” ungkap Nasir Tamara dalam buku Revolusi Iran (2017).