Bagikan:

JAKARTA - Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru (Orba) mulai goyang pada 21 Mei 1998. Penyebabnya macam-macam. Krisis ekonomi, kekerasan, dan abainya pemerintah pada tuntutan rakyat jadi masalah. Kondisi itu membuat Soeharto lengser dari kursi kepresidenan.

Mundurnya Soeharto pun disambut dengan gegap-gempita. Tahanan politik (tapol) pun berpesta. Mereka kemudian dibebaskan satu persatu dengan restu presiden yang baru. Beberapa tapol sempat menolak. Para sipir sampai turun tangan supaya mau dibebaskan.

Soeharto dan Orba telah dianggap berkuasa terlalu lama. Segenap rakyat menganggap kekuasaan Soeharto justru mulai membawa banyak mudarat, ketimbang manfaat. Represif pula. Keadaan mulai tak tak terkendali memasuki awal 1998. Kondisi ekonomi Indonesia jatuh pada level terendah.

Krisis ekonomi pun terjadi. Daya beli masyarakat menurun dan pengangguran muncul di mana-mana. Imbas masalah itu membuat tokoh nasional dan kaum mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur.

Segenap mahasiswa menyambut pengunduran diri Soeharto dengan suka cita. (Wikimedia Commons)

Aksi itu kian hari bertambah. Orba pun mulai menggunakan kekerasan. Bak senjata makan tuan, aksi kekerasan aparat justru jadi ‘tiket emas’ yang mempercepat kejatuhan Soeharto. Aksi aparat dalam Tragedi Trisaksi, misalnya.

Kondisi itu membuat rakyat Indonesia bergerak turun ke jalan. Kerusuhan Mei 1998 tak terelakkan. Kondisi itu dianggap sudah di luar kendali. Tuntutan supaya Soeharto mundur muncul dari mana-mana. Bahkan, dari orang terdekat Soeharto sendiri.

Soeharto awalnya tak sudi mundur. Ia mulai mencoba merangkul elemen masyarakat. Soeharto pemerintahan yang baru. Namun, harapan tinggal harapan. Rencana Soeharto meleset. Rakyat terus menuntutnya mundur.

Militer yang dulunya dikenal setia dengan Soeharto mulai bimbang. Keinginan Soeharto banyak tak diindahkan. Pun satu persatu loyalisnya mulai mundur dari pemerintahan. Soeharto dalam fase itu digambarkan menghadapi tuntutan rakyat seorang diri.

Keteguhan hati Soeharto sebagai orang nomor satu Indonesia lama-lama luntur. Ia mulai mencoba menerima nasib bahwa rakyat Indonesia tak lagi menghendakinya jadi pemimpin Indonesia. Soeharto pun mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada 21 Mei 1998. Mundurnya Soeharto disambut dengan gegap gempita.  

“Menurut cerita BJ. Habibie selanjutnya, malam itu juga dia mendapat telpon dari Sekretariat Negara, Sa'adilah Mursyid, yang memintanya untuk datang ke Istana Negara pada esok paginya. Versi Habibie mengatakan, bahwa Habibie tidak diberi tahu, untuk apa diminta datang ke Istana pagi tanggal 21 Mei itu. Habibie sempát menyatakan keinginannya untuk bisa berbicara dengan Soeharto, tetapi dihalangi.”

“Pagi harinya, di Istana Merdeka pun dia ditolak ketika ingin bertemu Soeharto lebih dulu. Melainkan Soeharto sendiri yang lalu menemuinya; itu pun hanya beberapa saat. Soeharto hanya mengatakan, bahwa dia mau melantiknya menjadi Presiden pada pagi itu. Sekalipun kaget, Habibie pasti gembira pada akhirnya dia jadi dilantik menjadi Presiden RI,” terang Sri Bintang Pamungkas dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim (2014).

Tapol Dipaksa Keluar Penjara

Lengsernya Soeharto disambut dengan gegap gempita oleh segenap rakyat Indonesia. Mereka yang berstatus sebagai tapol pun begitu. Mereka berbahagia karena perjuangan mereka melawan rezim represif Orba akhirnya terbalaskan.

Di LP Cipinang, misalnya. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko menyaksikan sendiri kegembiraan di lapas. Para tapol saling mengucapkan selamat kepada rekan seperjuangannya. Kepala LP dan sipir turut pula dalam memberikan selamat kepada para tapol atas perjuangan yang akhirnya tercapai.

Tapol pun mulai membuat pesta kecil-kecilan. Kemudian, beberapa hari setelahnya tapol mulai dibebaskan. Nama yang dianggap bebas pertama kali adalah Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan dan sejumlah tapol lainnya.

Mereka digadang-gadang mendapatkan amnesti dari Presiden Indonesia masa transisi, B.J. Habibie. Namun, tak sedikit yang merasa janggal dengan pemberian amnesti itu. Banyak aktivis PRD mengungkap seharusnya seluruh tapol se-Indonesia dibebaskan, bukan satu-persatu.

PRD menganggap pemerintah transisi masih di bawah bayang-bayang Orba. Contoh pemerintah disetir dilihat dari cara pemberian amnesti personal. Akhirnya, kelompok aktivis PRD menolak untuk dibebaskan sebagai bentuk protes.

Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie dilantik sebagai Presiden Indonesia masa transisi pada 21 Mei 1998. (Wikimedia Commons)

Mereka tak mau menerima amnesti, kecuali amnesti umum (untuk semua tapol). Kalangan aktivis memilih mengunci dirinya dalam sel dengan gembok tambahan. Kondisi itu membuat negosiasi alot terjadi siang malam dengan pihak penjara.

Pihak sipir meminta tapol untuk segera keluar dari penjara. Rayuan demi rayuan dilakukan. Bahkan, menggunakan jasa pengacara aktivis. Akhirnya, mereka dibebaskan secara paksa dengan bantuan alat las dan gergaji besi.

“Bagi kami ini bukan soal keras kepala atau tidak. Amnesti bagi seluruh tapol adalah bagian dari prinsip perjuangan yang tidak dapat dibengkokkan oleh proses politik. Apalah artinya dibebaskan jika secara hukum kamu tetap dinyatakan bersalah? Lebih baik membusuk di penjara, daripada berkeliaran bebas sebagai pecundang.”

“Kepada wartawan aku kembali menanggapi jawaban Menteri Kehakiman Indonesia era 1998-1999, Muladi dengan menyatakan Kami tetap menolak dibebaskan dengan grasi. Kami akan tetap di sini, hingga amnesti umum. Bahkan dengan amnesti terbatas untuk kami sekalipun, kami tidak bersedia dibebaskan. Jadi, sebelum diputuskan secara resmi, urungkan saja pemberian grasi itu. sia-sia,” ungkap Budiman Sudjatmiko dalam buku Anak-Anak Revolusi Jilid 2 (2014).