Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orba pernah jadi musuh bersama segenap rakyat Indonesia. Sikap pemerintahan yang korup dan otoriter ada di balik. Pucuk dicinta ulam tiba. Krisis Ekonomi 1998 menelanjangi kebobrokan Orba. Kaum mahasiswa tak takut lagi bersuara.

Mereka bergerak menurunkan Soeharto dan berhasil. Peristiwa itu disambut dengan suka cita. Tahanan Politik (Tapol) yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang pun ikut merayakan tumbangnya Orba. Kemeriahannya bak menyaingi suasana lebaran Idul Adha.

Kepemimpinan Soeharto pernah dielu-elukan sebagai juru selamat ekonomi Indonesia. Siasatnya pro blok barat membawa ekonomi Indonesia bertumbuh. Pembangunan hadir di mana-mana. Geliat itu membawa Soeharto dijuluki sebagai Bapak Pembangunan.

Masalah muncul. Pemerintah Orba mulai kelihatan boroknya. Kekuasaan Soeharto yang terlalu lama mulai bawa masalah. Korupsi yang merajalela hingga kepemimpinan otoriter --anti kritik-- membuyarkan segalanya.

Massa menjarah dan membakar sega benda selama kerusuhan menjelang Reformasi 1998. (Wikimedia Commons)

Kroni-kroni Soeharto mulai menggerogoti proyek strategis nasional. Alih-alih keputusan itu membawa kesejahteraan, nyatanya rakyat justru jadi paling senggara. Pembangunan kadang kala datangkan masalah besar: ketidakadilan.

Kesenjangan sosial antara mereka yang kaya dan miskin terlampau jauh. Kecaman pun muncul. Kritik dilancarkan lewat banyak medium. Bahkan, media massa yang mulai kritis diawasi Orba. Suara-suara kritik membuat pemerintah gerah.

Barang siapa yang 'berisik' akan dihukum. Bagi media massa, maka pemberedelan jadi andalan. Bagi individu, maka penjara dan pengasingan dari panggung politik jadi ganjarannya. Ketidakadilan yang dihasilkan ‘rahim’ Orba memicu perlawanan besar.

Soeharto dan Orba seakan jadi musuh bersama. Momentum perlawanan pun tiba kala krisis ekonomi 1997-1998 menerpa Indonesia. Semuanya terdampak krisis ekonomi. Kehidupan rakyat Indonesia jadi kian sulit.

Potret kerusuhan aksi demonstrasi Mei 1998. (Wikimedia Commons)

Imbasnya ke mana-mana. Orba mulai dianggap tak becus mengurusi negara. Rakyat dan mahasiswa pun bersatu turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi sedari awal 1998. Demostrasi yang dilakukan kian membesar.

Tekanan demonstrasi membuat banyak orang dekat Soeharto memintanya mundur. Konon, Keluarga Cendana ikut menasehati demikian. Hasilnya gemilang. Rezim represif Orba menyerah. Soeharto pun berhasil dilenserkan pada Mei 1998.

“Menurut anak Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), jauh sebelum terjadinya peristiwa permintaan Harmoko agar Soeharto mundur, pihak keluarga Soeharto sendiri telah meminta agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden.”

“Keluarga beralasan telah lama mengabdi pada negara dan bangsa, sehingga sudah saatnya beristirahat bersama putra-putri dan cucu-cucunya. Mengenai permintaan Tutut tersebut, apakah pernah disampaikan kepada DPP Golkar? Menurut Harmoko, sepanjang pengetahuannya, tidak pernah, meski Tutut sendiri adalah anggota FKP dan DPP Golkar,” terang Politikus Golkar, Akbar Tandjung dalam buku The Golkar Way (2007).

Tapol Berpesta

Peristiwa lengsernya Soeharto disambut dengan gegap gempita. Para tahanan politik –aktivis hingga mahasiswa—juga ikut larut dan terharu. Mereka berbahagia karena Soeharto yang notabene kuat dapat dilenserkan.

 Kondisi itu terlihat di LP Cipinang. Para tapol yang notabene vokal melempar kritik ke Soeharto macam Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko menyambutnya dengan riang gembira. Kepala LP Cipinang pun memperbolehkan tapol saling bercengrama di hari pelengseran Soeharto.

Para tapol saling mengucapkan selamat kepada rekan seperjuangannya. Bahkan, kepala LP dan sipir turut memberikan selamat kepada para tapol atas perjuangan yang akhirnya tercapai. Alhasil, semua tapol dikumpulkan dalam satu blok untuk berpesta.

Mereka tak kehabisan cara untuk berpesta. Para tapol ikut menyumbangkan bebek peliharaannya untuk disembelih dan dimasak. Kemudian, masakan bebek itu dibagi dan acara makan bersama terjadi. Peristiwa itu digambarkan oleh Budiman meriahnya bak hari lebaran Idul Adha.

Budiman Sudjatmiko yang pernah menjadi bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRD). (Antara)

Jika lebaran Idul Adha diperingati untuk mengenang momen bersejarah ketika Nabi Ibrahim siap untuk mengorbankan putranya Ismail atas perintah Allah. Maka hari itu diperingati untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para tapol melawan kuasa Soeharto dan Orde Baru.  

“ Kami lalu bagi-bagikan daging-daging bebeknya kepada para tahanan lainnya. Suasananya seperti Hari Raya Idul Adha. Pesta itu berlanjut hingga sore harinya.”

“Malam harinya suasana lebih hening. Euforia pada siang hari sudah mengendap. Kami jauh lebih jernih untuk refleksi setelah segala asap dan debu kebahagiaan itu mengendap,” ungkap Budiman Sudjatmiko dalam buku Anak-Anak revolusi: volume 2 (2013).