JAKARTA – Memori hari ini, 23 tahun yang lalu, 19 Juli 1999, mantan Presiden Indonesia Soeharto terkena stroke ringan (mild stroke). Ia dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan. Keluarga Cendana pun berbondong-bondong mendatangi rumah sakit. Demikian pula pejabat lainnya.
Peristiwa membawa kedukaan mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Apalagi Soeharto terserang stroke tepat setahun setelah dirinya lengser. Karangan bunga pun membanjiri RSPP.
Kepemimpinan Soeharto sebagai orang nomor satu Indonesia penuh dengan liku. Militer dijadikan alat kuasa dalam masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Segala yang berseberangan dengannya dikucilkan. Sedang yang merasa senada dengan Soeharto didukung. Karenanya, tiada ruang untuk kritik.
Kalaupun memaksa memberi kritik, tentu ada konsekuensi. Dari penjara hingga dicekal. Kondisi itu diperparah oleh sederet anak-menantu (dikenal sebagai Keluarga Cendana) yang ikut berbisnis dengan memanfaatkan popularitas Soeharto. Tiada yang tak mungkin bagi Keluarga Cendana. Tiada pula yang menolak jika mereka ingin melanggengkan bisnis segala bidang.
Sebagian rakyat Indonesia pun geram. Resensi ekonomi 1997-1998 puncaknya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang siginfikan – jika tak mau dikata minus. Pemerintah terpaksa melanggengkan utang luar negeri. Nyatanya solusi itu tak cukup membantu. Resesi ekonomi pengaruhnya besar. Sendi-sendi perekonomian luluh lantak. Puluhan bank rontok, ribuan perusaah ambruk, dan jutaan pekerja kehilangan sumber nafkah.
Namun, elite politik –termasuk Keluarga Cendana—dianggap kurang peka. Alhasil, rakyat Indonesia pun melawan. Demostrasi di mana-mana. Bahkan, gelora demonstrasi itu membuat Soeharto lengser dari jabatannya sebagai orang nomor satu Indonesia.
“Demonstrasi mahasiswa semakin marak. Seperti biasanya diatasi dengan tindakan represif. Tindakan represif paling fatal terjadi pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa Trisakti terbunuh dan puluhan lain luka-luka dalam demonstrasi berdarah di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Situasi itu kemudian turut memicu terjadinya berbagai kerusuhan di Jakarta pada 13-14 Mei 1998.”
“Tampak pemerintah tak berdaya. Mahasiswa bertindak dengan melakukan pendudukan Gedung DPR-MPR dengan tujuan menurunkan Presiden Soeharto. Hanya dalam sembilan hari setelah serangkaian kejadian yang menegangkan dan mengerikan di Jakarta dan berbagai kota lainnya, akhirnya Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Habibie pun dilantik menggantikannya sebagai masa transisi,” ungkap M. Umar Syadat Hasibuan dalam buku Revolusi Politik Kaum Muda (2008).
Orba pun tumbang. Era reformasi berlangsung. Semenjak itu, Soeharto jauh dari peta perpolitikan Indonesia. Lama tak tersiar kabar, Soeharto justru membawa kabar dirinya sakit. Tepat setahun setelah lengser Soeharto terserang stroke ringan.
Penyakit itu membuat Soeharto dilarikan ke RSPP. Ia pun didamping oleh Keluarga Cendana. Dari anak, menantu, hingga cucu. Berita sakitnya Soeharto membuat elite politik berduka. Demikian pula rakyat Indonesia. Rumah sakit tempat Soeharto dirawat kemudian dibanjiri karangan bunga.
“Ia dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina RSPP. Orang nomor satu di Indonesia ini menjalani perawatan di ruang V'VIP 604 di lantai enam Gedung B RSPP. Sejumlah karangan bunga pun berdatangan. Awal stroke ringan itu terjadi pági hari, sekitar pukul 10.30. Tiba-tiba ia merasakan sakit di sekitar leher dan bahu bagian belakang. “
“Sekitar pukul 10.30, Soeharto langsung dibawa dengar ambulans, yang memang tersedia di kediamannya ke RSPP. Dugaan Soeharto terkena stroke ringan juga diperkuat keterangan Prof. Dr. Feik Heyder dari Semarang. Heyder membenarkan bahwa para dokter vang merawat mantan Presiden Soeharto di RSSP itu menghuhunginya di Semarang untuk ikut memonitor,” tutup Femi Adi Soempeno dalam buku Prabowo Titisan Soeharto? (2008).