JAKARTA – Memori hari ini, 56 tahun yang lalu, 15 Juli 1966, heroisme Soeharto menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) disambut gegap gempita oleh dunia barat. Majalah kesohor TIME pun menempatkan sosok The Smiling General sebagai sampul, dengan judul INDONESIA: The Land the Communists Lost.
Soeharto dianggap laksana pahlawan setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S). Narasi TIME menyebutkan pembantaian terhadap segala hal yang berafiliasi dengan komunis sebagai berita terbaik dari Asia untuk dunia barat. Alias sebuah bukti kebencian barat terhadap komunisme.
Penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal TNI AD memancing amarah segenap bangsa Indonesia. Mereka –utamanya mahasiswa-- mengutuk dalang dari peristiwa yang langgeng dikenal sebagai G30S. Sebuah peristiwa yang terkenal keji. Yang mana, peristiwa itu dikomandani oleh pasukan militer.
Mereka berkumpul di satu tempat. Lubang Buaya, Jakarta Timur namanya. Mereka yang telah bersiap lalu dibagi ke dalam tujuh kelompok pasukan. Ketujuhnya memiliki misi menculik tujuh jenderal. Hidup atau mati.
Mereka yang dijemput antara lain Menteri Pertahanan Jenderal A.H. Nasution dan Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani. Sisanya adalah staf umum Angkatan Darat, mulai Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Supriapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiardjo, dan Brigadir D.I. Panjaitan.
Dari tujuh target, hanya satu orang yang gagal ditangkap: Jenderal A.H. Nasution. Meski begitu, anaknya Ade Irma Suryani jadi korban. Ia terkena peluru militer G30S. Tak mendapatkan A.H. Nasution, ajudannya Pierre Tendean justru ditangkap.
“Kelompok ketujuh yang ditugasi menangkap sasaran paling penting, Jenderal A.H. Nasution, kembali dengan ajudannya saja. Di tengah kekalutan penggerebekan, pasukan menembak anak perempuan Nasution yang berumur lima tahun dan seorang prajurit kawal yang berada di depan rumah sebelahnya, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) Johannes Leimena. Nasution berhasil melompat tembok belakang kediamannya dan bersembunyi di rumah tetangga, yaitu Duta Besar Irak,” ungkap John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008).
Sejumlah jenderal yang diculik kemudian ditemukan meninggal dunia dalam sumur Lubang Buaya. Pemerintah Indonesia belum mau berspekulasi siapa dalangnya. Namun, Soeharto muncul bak juru selamat. Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) ambil kendali.
Ia menganggap pemberontakan yang membunuh sejumlah jenderal top Indonesia adalah PKI. Narasi itu sebagaimana yang sering dituliskan kemudian oleh Pemerintah Orde Baru (Orba). Soeharto tancap gas. Segala macam orang yang berafiliasi dengan PKI ditumpas. Pembantaian pun tak terelakkan.
Pembantaian kaum komunis inilah yang membuat kerja Soeharto diapresiasi. Sekalipun Soeharto bukan pemimpin negara. Ia dielu-elukan bak pahlawan oleh dunia barat. Majalah TIME yang terbit pada 15 Juli 1966, salah staunya. Wajahnya pun dipampang di halaman muka majalah.
“Sangat mengherankan dunia Barat membisu terhadap salah satu pembantaian manusia terbesar sejak Perang Dunia II. Ketika itu perang dingin sedang memuncak, nyawa orang komunis dipandang tidak penting, mungkin ini bisa menjadi salah satu penjelasannya.”
“Majalah Time pada 15 Juli 1966 menyebut dengan pongahnya tentang pembantaian manusia dan digulingkannya Sukarno sebagai: berita terbaik bagi dunia Barat selama tahunan di Asia. Kemungkinan lainnya ialah kampanye pihak militer yang sangat efektif,” tutup Saskia E. Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan (2010).