Perjanjian Damai Kesultanan Banten dan VOC Ditandatangani dalam Sejarah Hari Ini, 10 Juli 1659
Reruntuhan Keraton Surosowan yang merupakan sisa peninggalan Kesultanan Banten. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 361 tahun yang lalu, 10 Juli 1659, Kesultanan Banten dan maskapai dagang Belanda, VOC menandatangani perjanjian damai. Perjanjian damai itu dilakukan karena kedua belah pihak sama-sama terkena imbas perang yang merugikan.

Sebelumnya, Kompeni kerap menjadikan Banten sebagai target penjajahan. Semuanya karena Banten kesohor sebagai salah satu bandar lada di Nusantara. Alhasil Kompeni pun memilih melanggengkan perang. Sekalipun kurang berhasil dan diganti jadi siasat politik adu domba.

Kompeni pernah percaya diri dapat menguasai seisi Nusantara.Uang dan kuasa jadi musababnya. Apalagi Kompeni memiliki armada perang sendiri. Kekuatan itu membuat Kompeni tak segan-segan melanggengkan perang di berbagai wilayah Nusantara.

Semua itu dilakukan untuk menguasai perdagangan rempah.Barang siapa yang tak mau bekerja sama sesuai dengan niatan Kompeni maka diajak perang. Itulah yang kemudian dilanggengkan VOC di Jayakarta (kini: Jakarta)

Lukisan karya Kang Alam yang menggambarkan sosok Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa terbesar Kesultanan Banten pada 1651-1683. (Wikipedia)

Vasal Kesultanan Banten itu ingin dikuasai oleh Kompeni.Keinginan itu kemudian makin menjadi-jadi karena Kompeni merasa Jayakarta cocok dibangun sebagai negeri koloni. Perang pun dilancarkan. Kompeni akhirnya menang dengan susahpayah pada 1619.

Kemenangan itu membuat Kompeni mengubah Jayakarta menjadi Kota Batavia. Narasi kemenangan itu membuat Kompeni besar kepala. Kompeni justru mulai melirik wilayah lainnya untuk dikuasai. Kesultanan Banten, utamanya.

Keinginan itu disinyalir karena Kompeni kepicut dengan perdagangan lada yang ada di Banten. Mereka tak ingin Kesultanan Banten menjual lada ke semua pihak, selain VOC. Namun, melanggengkan opsi perang bukan perkara muda.Sebab, penguasa Banten, bukan musuh yang mudah ditaklukkan.Jaringan Sultan Ageng Tirtayasa berada di mana-mana.    

“Pada masa itu Banten diperintah Sultannya yang terhebat, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), yang berusaha keras memodernkan negaranya dan menjadikannya pusat kegiatan Muslim di seluruh Kepulauan Indonesia. Dia mengirimkan putranya ke Mekah dengan perintah untuk pergi dari sana ke Turki dengan harapan menjalin hubungan baik dengan kekuatan utama Islam.”

Reruntuhan Benteng Speelwijk, sisa kejayaan VOC pada masa lalu di Kesultanan Banten. (Wikimedia Commons)

“Pada saat itu juga, Sultan dan putranya mencoba menghimpun pengikut di kalangan para penasihat dan petualang Eropa. Sultan tua mulai membangun kediaman baru, Keraton Tirtayasa, yang menariknya, dia bangun seperti kota Belanda kecil, rumah-rumahnya dibangun rapi sepanjang kanal. Keyakinan Jawa kuno bahwa penyerapan pengetahuan rahasia musuh adalah pertahanan terbaik terhadap kekuatannya mungkin telah membuat dia melakukan hal itu,” terang Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).

Rencana penaklukkan Banten pun dilanggengkan VOC. Kompeni awalnya melanggengkan siasat perang. Nyatanya, siasat itu tak berhasil. Kesultanan Banten justru telah banyak bersiap menghalau VOC. Sultan Ageng Tirtayasa sudah meminta bantuan ke seantero negeri untuk melawan Belanda.

Peperangan itu kemudian membuat korban di antara kedua belah pihak bejibun. Pun pada akhirnya Kesultanan Banten dan Kompeni sepakat melanggengkan perjanjian damai gencatan senjata pada 10 Juli 1659.

Suatu perjanjian yang membuat keduanya tak saling mengusik sampai beberapa waktu ke depan. Kemudian, VOC mulai mengubah siasatnya dari perang menuju politik adu domba dengan memihak kepada anak Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji.  

“Dalam masalah politik kenegaraan, Sultan Ageng Tirtayasa dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke dalam kekuasaan Banten adalah cita-cita utama, dan karenanya ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada tahun 1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas.”

“Pada tahun 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia. Pada tahun 1657 Belanda menawarkan perjanjian damai, namun perjanjian itu hanya menguntungkan Belanda, sehingga ditolak oleh sultan. Pada tahun 1558 mulailah perang besar. Perang ini berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata,” Tri Hatmadji  dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten (2007).

Kesepakatan damai antara Kesultanan Banten dan VOC menjadi bagian catatan sejarah hari ini, 10 Juli 1659.