Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 45 tahun yang lalu, 7 juli 1977, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan Museum Bahari. Museum itu menempati lokasi bekas bangunan pergudangan rempah milik maskapai dagang Belanda, VOC. Peresmian itu disambut hangat oleh segenap warga Jakarta. Kehangatan itu tak lain karena warga Jakarta bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dan sarana rekreasi dalam satu waktu. Pun peresmian ini digadang-gadang sebagai sumbangsih Ali Sadikin yang terakhir, sebelum bebas tugas.

Sumbangsih Ali Sadikin bagi DKI Jakarta cukup besar. Ia bahkan acap kali disebut-sebut sebagai salah satu gubernur terbaik yang mampu membidani Jakarta. Di tangannya, Jakarta laksana mempercantik diri. Sekalipun anggaran pambangunan Jakarta begitu kecil.

Pria yang akrab disapa Bang Ali mendobrak semuanya. Ia menjadi sosok yang berani pasang badan untuk gagasan baru. Judi dan prostitusi, salah satunya. Ia melegalkan bisnis maksiat. Nada-nada penolakan tak kalah besar. Namun, Ali Sadikin tak lantas mundur.

Tampak depan Museum Bahari di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. (Wikimedia Commons)

Ajian Bang Ali nyatanya berhasil. Pemasukan Jakarta meningkat berkali-kali lipat. Lagi pula pendapatan itu digunakan oleh Bang Ali untuk mengembangkan Jakarta dari The Big Village menjadi Metropolitan. Fasilitas publik pun dibangun, dari rumah sakit, sekolah, hingga masjid.

Tak hanya itu, Bang Ali menyisihkan pendapatan Jakarta untuk melanggengkan pemugaran bangunan-bangunan yang memiliki nilai historis. Bang Ali kala itu mengingat amanat dari Presiden Soekarno yang mengungkap bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.

“Di samping itu, dilakukan juga pendokumentasian proses pembangunan yang selama ini dilakukan di Jakarta. Sewaktu itu pula kami mulai dengan mengadakan pemugaran atas gedung-gedung peninggalan masa lampau.”

“Kriteria pemugaran didasarkan atas nilai arsitektur maupun nilai sejarah dan perjuangan bangsa. Maka kami pugas Gedung Kebangkitan Nasional, Gedung Sumpah Pemuda, Gedung Joang 45, Gedung Arsip Nasional, Gedung ex Departemen Sosial di Jalan K.S. Tubun Np. 4, Gedung Cut Mutiah, bangunan ex-rumah Moh. Husni Thamrin dan lain-lain,” terang Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Halaman dalam Museum Bahari yang merupakan bekas pergudangan milik VOC dari abad ke-17. (Wikimedia Commons) 

Bang Ali paham benar jika Jakarta amat kekurangan sarana edukasi dan rekreasi. Karenanya, bangunan tua yang telah dipugar tak lantas ditinggal setelahnya. Bang Ali berinisiatif bangunan tua difungsikan sebagai museum. Sebab, museum memiliki dua fungsi: edukasi dan rekreasi.

Ia lalu menginisiasi pendirian banyak museum. Antara lain Museum Sejarah Jakarta, Museum Seni Rupa, Museum Sastra Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Museum Wayang, hingga Museum Tekstil. Baru di akhir jabatannya sebagai gubenur Jakarta, Ali Sadikin menggagas Museum Bahari.

Museum itu menempati lokasi bangunan bekas pergudangan rempah milik VOC dari abad ke-17. Ia pun meresmikan Museum Bahari pada 7 Juli 1977. Peresmian yang bertepatan dengan Hari Jadi Kota Jakarta ke-450 disambut hangat oleh segenap warga Jakarta.

“Tahun berikutnya, giliran Museum Senirupa dan Keramik yang menempati lokasi bangunan bercorak Neo-Yunani, bekas kantor pengadilan kolonial, dengan latar muka terdiri dari deretan pilar bergaya Doric kolosal. Proyek terakhir Sadikin, yang dirampungkan tahun 1977, adalah Museum Bahari yang menempati lokasi bangunan bekas pergudangan VOC abad ke-17.”

“Museum museum tersebut menambah jajaran museum generasi pertama yang dibangun selama periode kolonial. Di penghujung 1970-an, Jakarta menjadi kota pemilik museum terbanyak di seluruh Asia Tenggara,” tutup Remy Madinier dalam buku Revolusi Tak Kunjung Selesai (2012).

Peresmian Museum Bahari oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menjadi catatan sejarah hari ini 7 Juli 1977.