Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 50 tahun yang lalu, 7 September 1972, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menetapkan Jembatan Kota Intan sebagai benda cagar budaya. Keputusan itu dinilai segenap masyarakat Jakarta sebagai langkah bijak. Sebab, nilai sejarah dari jembatan yang jadi ikon Kota Tua begitu besar. Keunikannya apalagi.

Jembatan itu jadi bukti bahwa Batavia (kini: Jakarta) pernah menjadi pusat perdagangan besar milik maskapai dagang Belanda, VOC. Pun sekaligus pengingat akan perih penjajahan Belanda di tanah Betawi.

Menata Jakarta, bukan menata kata. Itulah yang dilakukan Ali Sadikin dalam membangun Jakarta. Ali Sadikin tanpa banyak bicara mampu menempatkan kepentingan warga di atas segalanya. Komitmen itu terbukti kala ia memilih untuk melestarikan Kota Tua.

Ia menyadari nasib Kota Tua yang dulunya pernah dipuja-puji ragam bangsa sedang terlantar. Tak main-main, 30 tahun sudah Kota Tua terlantar. Upaya revitalisasi, baik dari pemerintah pusat ataupun DKI Jakarta tak pernah keluar gaungnya. Ali Sadikin mencoba mendobraknya. Kota Tua pun masuk dalam kalender tempat sejarah dan budaya yang akan direvitalisasi oleh pemerintah.

Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin berfoto bersama para wartawan saat perayaan ulang tahunnya yang ke-49 pada 8 Juli 1976. (Dok. Khastara Perpusnas)

Pria berjuluk Kennedy dari Timur itu yakin Kota Tua memiliki arti penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Ia mulai menggalakkan pemeliharaan gedung-gedung tua di Kota Tua. Gedung-gedung yang memiliki sejarah panjang segera direvitalisasi. Setelahnya, gedung-gedung itu dijadikan ragam museum.

Tujuannya jelas. Demi mencerdaskan anak bangsa. Kehadiran museum di Kota Tua menjadi daya tarik penting dari pariwisata Jakarta. Berkatnya pula, saban hari Kota Tua selalu ramai dikunjungi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara.

“Menyadari pentingnya peranan museum, Pemda DKI Jakarta mendirikan berbagai macam museum Sejarah Jakarta, Museum Seni Rupa, Museum Sastra Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Museum Wayang, Museum Tekstil. Pada akhir jabatan saya mulai dirintis Museum Bahari. Sampai tahun 1976, museum yang diurus oleh Pemda DKI Jakarta berjumlah tujuh buah.”

“Di samping itu ada museum-museum yang didirikan dan diurus oleh instansi pemerintah lainnya, seperti Museum Pusat, Museum Sasmita Loka, Museum A. Yani, Museum Sejarah ABRI (Satria Mandala), Museum Lobang Buaya, dan Museum Monumen Nasional. Pada akhir jabatan saya dirintis usaha untuk mendirikan Museum Maritim, Museum Prasasti, dan berbagai museum lainnya,” terang Ali Sadikin dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Langkah Ali Sadikin dalam membangkitkan kembali gairah wisata Jakarta tak lantas berhenti. Ia pun banyak menetapkan benda-benda peninggalan masa keemasan Batavia di Kota Tua sebagai benda cagar budaya. Penetapan itu dilakukan supaya benda cagar budaya dapat terus lestari. Sekalipun Ali Sadikin ke depannya tak lagi menjabat orang nomor satu Jakarta.

Jembatan Kota Intan pada masa sekarang. (Wikimedia Commons)

Jembatan Kota Intan, misalnya. Jembatan yang dibangun pada masa pemerintahan VOC ikut menarik minat Ali Sadikin. Dulunya tiap kapal datang membawa rempah, jembatan itu bisa membelah diri. Ali Sadikin yakin gambaran Jembatan Kota Intan yang indah dapat terus menjadi ikon dari pariwisata Jakarta.

Sebagaimana dilansir laman Kemendikbud, Ali Sadikin pun menetapkan Jembatan Kota Intan sebagai benda cagar budaya pada 7 September 1972. Penetapan itu semakin melambungkan nama Ali Sadikin sebagai gubernur terbaik yang pernah memimpin Jakarta. Apalagi legasinya dapat dilihat dan dirasakan hingga hari ini.