Wanita Hamil di Kamp Interniran Penjajah Jepang
Para tahanan perempuan Belanda di kamp interniran di masa penjajahan Jepang di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Penjajahan Jepang tak melulu membawa luka bagi kaum bumiputra. Tuan, puan Belanda dan orang Indo-Belanda (Sinyo-Noni) ikut merasakannya. Mereka dipaksa Jepang menempati posisi terendah dalam hierarki masyarakat Nusantara. Padahal, sebelumnya mereka menempati kasta tertinggi.

Penguasa Negeri Matahari Terbit menjebloskan semuanya ke kamp interniran (kamp tahanan). Pria dan wanita tak terkecuali. Mereka disiksa dan dinodai. Bak sampah masyarakat. Wanita hamil apalagi.

Perlakukan penjajah Belanda kepada kaum bumiputra tak dapat ditolerir. Mereka acap kali melanggengkan rasisme. Kaum bumiputra kerap dianggap rendah. Bahkan, sering kali disamakan dengan binatang. Narasi itu bertahan lama. Sekalipun kaum bumiputra diperas mereka bak sapi perah.

Namun, semua berubah ketika Jepang ingin menduduki Hindia-Belanda (Kini: Indonesia). Keinginan itu telah direncanakan dalam waktu yang lama oleh Jepang. Agen-agen intelejen Jepang pun disebar di seantero negeri.

Suasana di kamp interniran pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Penempatan itu di siapkan untuk menyiapkan rencana serangan mendadak ke Hindia-Belanda pada 1942. Hasilnya memuaskan. Jepang hanya membutuhkan waktu beberapa bulan saja untuk melumpuhkan kekuatan Belanda.

Kaum bumiputra yang sedari awal membenci Belanda mendukung penuh langkah Jepang. Empunya tanah kelahiran tak sudi menolong Belanda. Kaum bumiputra lalu menggadang-gadangkan Jepang sebagai juru selamat.

Jepang senang bukan main. Sebagai rasa terima kasih, Jepang menempatkan semua orang kulit putih (orang Eropa-Indo Belanda) ke dalam ‘kasta’ terendah di Nusantara. Alias sebagai ras paling hina. Sedang kaum bumiputra disanjung setinggi-tingginya. Kaum bumiputra diminta untuk tak lagi malu-malu berbahasa Indonesia dan berpakaian kedaerahan.  

“Di inti pendudukan Jepang terdapat beragam proyek rasial yang melahirkan hierarki ras baru. Dalam tatanan rasial baru ini, orang Asia dianggap unggul (di puncak hierarki ada orang Jepang, berikutnya orang Indonesia, China, Arab, dan India), sementara bangsa-bangsa non-Asia, termasuk orang Eropa dan Eurasia yang sebelumnya menduduki posisi istimewa, kini harus bertempat di peringkat terendah.”

“Dalam menetapkan dan menjaga hierarki ini, Jepang melaksanakan berbagai macam kebijakan dan proyek. Misalnya, mendirikan kamp-kamp interniran untuk mengisolir orang Eroapa dan Eurasia, wakalupun pada praktiknya lebih banyak orang Eurasia ketimbang Eropa yang berakhir di kamp interniran. Alasannya bisa jadi terkait dengan fakta bahwa kebudayaan Jepang menjunjung tinggi ‘homogenitas rasial’ dan kemurnian rasial,” ungkap L. Ayu Saraswati dalam buku Putih: Warna Kulit, Rasa, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2013).

Kamp Interniran

Penjajahan Jepang di Nusantara memang relatif singkat. Namun, pengaruhnya luar biasa. Utamanya bagi orang Belanda. Kamp interniran sengaja didirikan oleh Jepang untuk mengisolir segenap orang Eropa (Belanda) dan Indo-Belanda.

Banyak yang mencoba menyelamatkan diri. Keturuan Indo-Belanda apalagi. Mereka yang dulunya bangga terlahir sebagai ras Eurasia, yang cenderung menutupi asal-usul nenek moyangnya mencoba pura-pura menunjukkan sisi keindonesiaannya.

Namun, Jepang tak mudah dibodohi. Tekad mereka kuat. Mereka ingin mempermalukan dan memenjarakan seluruh kelonialis kulit putih di Tanah Nusantara. Tanpa terkecuali. Pria dan wanita semuanya digiring untuk masuk ke kamp interniran.

Di dalam kamp interniran mereka diperlakukan layaknya binatang. Kaum pria dipaksa kerja dan siksa. Sedang segenap wanitanya –wanita rupawan apalagi—‘dikaryakan’ untuk memuaskan berahi tentara Jepang.  Karenanya, kamp interniran dipenuhi dengan banyak wanita hamil.

Anak-anak Belanda di dalam kamp tahanan interniran masa penjajahan Jepang di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Status hamil tak membuat Jepang mengendorkan kuasanya. Mereka tetap harus menetap di kamp interniran. Bila perlu sampai anaknya lahir—jika tak diaborsi-- dan menjadi penghuni kamp interniran. Perlakuan keji itu baru berakhir ketika Belanda membonceng sekutu ke Nusantara pada 1945.

 “Di sini perempuan-perempuan dikumpulkan untuk kesenangan orang-orang ini. Pada awal tentara Jepang masuk di kota besar Indonesia, bangsa Belanda, khususnya laki-laki ditawan. Sebagian perempuan-perempuan mereka, istri atau anak-anak perempuan tawanan ini dikumpulkan di beberapa tempat atau daerah yang luas, di rumah-rumah bagus.”

“Satu kelompok rumah yang berada di satu daerah mentereng, dipagari dengan tembok tinggi sebagai satu kesatuan. Dalam beberapa "perkampungan" ini ada di antara wanita wanita itu yang tinggal untuk keperluan anggota-anggota tentara Jepang. Inilah nasib sebagian perempuan orang sipil dan serdadu Belanda itu,” tegas B.M. Diah sebagai disusun Dasman Djamaluddin dalam buku Catatan B.M Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-45 (2018).