JAKARTA - Era penjajahan Jepang tak selamanya buruk. Kehadiran Jepang di Nusantara mampu memberikan nafas baru bagi kaum bumiputra. Derajat kaum bumiputra terangkat karenanya. Jepang banyak mendidik kaum bumiputra untuk bangga dengan kemampuan sendiri.
Andil Jepang dalam membentuk mental calon polisi bumiputra, misalnya. Negeri Matahari terbit mampu membentuk keterampilan polisi bumiputra menggunakan senjata api. Keterampilan itu bermanfaat besar kala Indonesia melakoni Perang Revolusi (1945-1949).
Kolonialisme Belanda di Indonesia membawa nestapa bagi segenap kaum bumiputra. Belanda memperlakukan kaum bumiputra tak manusiawi. Mereka tak hanya diperlakukan bak sapi perah, tapi juga injak-injak harga dirinya.
Narasi tertuang jelas karena derajat kaum bumiputra kerap disamakan dengan binatang. Semua berubah ketika Jepang datang. Penjajah Belanda kelimpungan menghadapi Jepang yang unggul dalam segala bidang. Dari pasukan hingga persenjataan.
Apalagi kehadiran Jepang didukung penuh oleh seisi Nusantara. Jepang dianggap sebagai juru selamat yang mampu mengakhiri penjajahan Belanda. Dukungan kepada Jepang beralasan. Kaum bumiputra sudah lama tak suka dengan laku hidup penjajah Belanda.
Kaum bumiputra kala itu terus mendapatkan perlakuan tak manusiawi penjajah Belanda. Jepang pun senang bukan main dengan dukungan kaum bumiputra. Sebagai balas jasa, Jepang mulai meninggikan derajat kaum bumiputra.
Orang Eropa yang dulunya jadi masyarakat kelas satu justru dipaksa menempati strata terendah dalam masyarakat. Orang-orang Eropa diburu. Mereka paksa masuk kamp interniran. Semenjak itu segenap tuan-tuan kulit putih mulai merasakan kehidupan bak bangsa terjajah.
"Rakyat benci kepada Belanda. Lebih‐lebih lagi karena Belanda lari terbirit‐birit dan membiarkan kita tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari ketakutan."
"Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan‐tuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang mendepaknya keluar. Di samping itu, tuan‐tuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu bertekuk‐lutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka," terang Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2000).
Berdayakan Polisi Bumiputra
Boleh jadi kuasa Jepang di Nusantara tak lama. Namun, dampaknya luar biasa. Utamanya, bagi eksistensi polisi dari kalangan bumiputra. Jepang tak pernah membedakan pendidikan polisi seperti yang terjadi di masa penjajahan Belanda.
Segenap calon polisi bumiputra diberikan hak untuk mengikuti pendidikan yang seharusnya. Jepang menginstuksikan seluruh tenaga instrukturnya terlatih untuk memberikan pengajaran yang sungguh-sungguh, termasuk perihal menggunakan senjata api.
Kondisi itu jauh berbeda dengan zaman Belanda. Kala zaman Belanda calon polisi bumiputra yang dapat menggunakan senjata api hanya kalangan terbatas. Pun kebanyakan di antaranya tak dibolehkan memegang senjata api. Konon, Belanda ketakutan karena polisi bumiputra berpotensi melanggengkan pemberontakan.
Semua berubah pada masa Jepang. Barang siapa yang ingin menjadi polisi, perihal penggunaan senjata api jadi pelajaran wajib. Pelajaran itu paling berguna bagi kaum bumiputra. Hoegeng Imam Santoso (kemudian jadi Kapolri yang menjabat dari 1968 hingga 1971) jadi saksinya.
Ia yang ikut pendidikan polisi di Magelang menyaksikan sendiri betapa majunya polisi bumiputra di era penjajahan Jepang. Sekalipun ia juga mengakui rakyat Indonesia juga sengsara karenanya. Hoegeng mengapresiasi langkah Jepang yang membuka kesempatan lebar untuk calon polisi bumiputra menguasai penggunaan segala macam senjata api.
Dampaknya signifikan. Utamanya, saat Indonesia merdeka dan menjalani Perang Revolusi (1945-1949). Kaum bumiputra banyak yang memilih angkat senjata melawan niatan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
“Melalui kursus ini, Hoegeng memiliki apresiasi khusus terhadap sistem pendidikan Jepang yang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pemuda bumiputra untuk mempergunakan senjata. Sebuah hal yang mustahil terjadi di zaman Belanda.”
“Pendidikan terkait senjata dilanggengkan lewat institusi Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta), Barisan Prajurit Pembantu Jepang (Heiho), sekolah Gyugun (perwira militer), termasuk Sekolah Polisi. Kemampuan mempergunakan senjata sangat terasa manfaatnya di kemudian hari, saat Perang Kemerdekaan (1945-1950) berlangsung,” terang Aris Santoso dan kawan-kawan dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).